Kanal

Jenderal Bintang Tiga di Pengamanan Pernikahan: Inflasi Nilai Pati TNI?

Mungkin bisa menjadi kebanggaan, bahkan jumlah undangan yang disebar pada pernikahan pangeran Inggris, yakni Pangeran Charles dengan Lady Diana, Pangeran William dengan Kate Middleton, serta Pangeran Harry dengan Meghan Markle, hanya seperberapa undangan grand wedding di Solo kemarin. Resepsi Charles-Diana, 29 Juli 1981, yang disebut “Wedding of the Century” hanya mengundang  3.500 relasi untuk hadir pada misa kongregasi di Katedral Santo Paulus. Sementara Pangeran William-Kate cuma menebar 1900 undangan. Pangeran Harry-Meghan Markle lebih sedikit lagi: 600 undangan.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Telat memirsa berita bahwa pengamanan pernikahan Kaesang Pangarep dengan Erina Gudono–yang telah berlangsung sukses—dipimpin seorang jenderal bintang tiga, menurut saya tidak lantas membuat ajakan untuk memikirkan ulang hal tersebut akan sia-sia. Dalam keterbatasan manusia, proses untuk terus menyangsikan apakah kita semua telah memperlakukan semua lembaga di negara ini secara adil dan proporsional, akan merangsang kita untuk terus berupaya berbuat efektif, bijak dan adil.

Kecuali nash-nash agama yang telah qath’i (pasti) berdasarkan—menurut Imam Asy-Syatibi– asal-usul historis (al-wurud) serta penunjukan kepada makna (ad-dalalah) atau kekuatan argumentatif makna itu sendiri (al-hujjiyah), tampaknya segala hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan kemanusiaan memang sebaiknya senantiasa kita pertanyakan atau ragu-ragukan (tasykik). Dari sana, apalagi bila diiringi diskursus yang bertanggung jawab, diharapkan dari waktu ke waktu kita akan terus mendapatkan kebaikan dari inovasi.

Sebagaimana diketahui, pengamanan pernikahan Kaesang-Erina baru-baru ini dipimpin oleh Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogab-wilhan) II, Marsdya TNI Andyawan Martono Putra. Dalam perhelatan tersebut, Marsda Andyawan bertindak sebagai panglima komando tugas gabungan terpadu atau Pangkogasgabpad. Sebagai marsda, Andyawan adalah seorang jenderal TNI berbintang tiga, alias letnan jenderal kalau di TNI Angkatan Darat.

Pada sisi inilah fakta tersebut banyak diperbincangkan, meski dalam ruang publik yang terbatas. Di grup-grup WhatsApp, misalnya. Umumnya, yang dipertanyakan adalah proporsionalkah seorang jenderal bintang tiga mengurusi perkara pernikahan, bahkan kalau pun secara faktual yang datang ke perhelatan tersebut adalah para manusia creme de la creme alias very very very (atau lebih banyak lagi) Important Person sekali pun?

Kalau diskusi itu beredar di antara orang-orang yang lebih serius, mereka juga umumnya mempertanyakan apakah pengerahan personel tentara yang menurut Panglima TNI (saat itu), Jenderal Andika Perkasa, mencapai 11.800 personel, apakah itu pun masih sesuai aturan? Kepada wartawan, Jenderal Andika mengatakan, jumlah anggotanya yang terlibat pada perhelatan itu mencapai 9.600 personel. Dengan dukungan sekitar 2.200 personel Polri, “Total dengan Polri yang di bawah Komando Gabungan Terpadu Pengamanan VVIP ada 11.800,”kata dia, seperti ditulis CNN Indonesia, 8 Desember lalu.

Pasalnya, dalam Undang-undang no 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama pasal 7, ditegaskan bahwa “Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”

Ayat dua pasal itu merinci tugas pokok tersebut dengan : “Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

  1. Operasi militer untuk perang.
  2. Operasi militer selain perang, yaitu untuk:
  3. mengatasi gerakan separatisme bersenjata;
  4. mengatasi pemberontakan bersenjata;
  5. mengatasi aksi terorisme;
  6. mengamankan wilayah perbatasan;
  7. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
  8. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
  9. mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya;
  10. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
  11. membantu tugas pemerintahan di daerah;
  12. membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
  13. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;… dan seterusnya.

Barangkali, pengerahan personel TNI dalam perhelatan pernikahan kemarin itu bisa ditarik sebagai bagian dari tugas pokok no 5, no 7 dan no 10. Barangkali, bahkan no 11 pun masih relevan.

Masalahnya hanya pada rasa etis publik, betapa pelibatan personel sebanyak itu (lebih dari 11 ribu) dan jenjang pangkat setinggi bintang tiga, tidakkah dengan gampang mengesankan di hati warga akan sesuatu yang kurang proporsional?  Bahkan wajar bila menyeruak satu pikiran apakah hal tersebut bukan tidak mungkin mengisyaratkan terjadinya inflasi nilai seorang jenderal? Bila hal yang dikuatirkan itu tidak terjadi, paling tidak fakta di lapangan seperti itu mulai memunculkan pikiran tersebut, meski mungkin dalam lingkup yang kecil, bahkan mungkin hanya terbatas di dunia maya.

Apalagi bila undang-undang tersebut ditelusuri lebih jauh. Misalnya, mempertanyakan pengerahan personel tersebut berdasarkan aturan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI, yang dalam UU 34/2004 diatur dalam Pasal 17.

Ayat 1 Pasal 17 menegaskan bahwa “Kewenangan dan Tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.” Ayat 2 pasal itu menggariskan bahwa, “Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Lebih lanjut, pada pasal selanjutnya UU tersebut, Pasal 20 ayat 2 menyatakan,”Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Menyadari keterbatasan kapasitas dalam urusan hukum, saya tak hendak ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya dengar, baca di medsos dan obrolan publik, tersebut. Namun,bagaimana pun pertanyaan-pertanyaan tersebut riil mengemuka, sehingga tampaknya akan sangat bijak kalau dijawab bersama oleh kita semua. Bukankah dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut kita menyadari bahwa pada sebagian kalangan publik, tidak ada hal-hal yang ‘remeh’ dan ‘biasa’, sepanjang itu menyangkut adab-adab bernegara.

Pernikahan Kaesang-Erina memang spektakuler

Ditinjau dari pelibatan personel keamanan dan jumlah tamu yang diundang, pernikahan Kaesang-Erina kemarin memang spektakuler. Dari riset sederhana hanya dengan bantuan Google pun bisa terungkap bahwa pernikahan Kaesang melibatkan undangan yang lebih banyak dibanding pernikahan siapa pun anak presiden Indonesia pasca-Reformasi. Itu pun dengan catatan sulitnya mengakses data pernikahan Tommy Suharto—Regita (Tata) Cahyani, 30 April 1997. Apologi versi pemalasnya tentu saja menyoal bahwa saat pernikahan itu Indonesia belum lagi memasuki beranda era digital. Apalagi memasukinya.

Jumlah undangan yang disebar untuk perhelatan pernikahan Kaesang-Erina disebutkan berjumlah 6.000. Jumlah undangan ini terbanyak di antara pernikahan anak presiden Indonesia yang ada.

Sebagai perbandingan, jumlah undangan jumlah tamu undangan pernikahan Agus H Yudhoyono dan Anissa Pohan, yang berlangsung di Istana Bogor pada 9 Juli 2005, mengundang jumlah tamu yang hanya sepertiga jumlah tau Kaesang, yakni 2.000 undangan.

Enam tahun kemudian, 24 November 2011, untuk resepsi pernikahan Edie Baskoro (Ibas) Yudhoyono dengan Aliya Rajasa di Jakarta Convention Center (JCC), Presiden SBY mengundang 3.000 tamu. Jumlah itu masih setengah jumlah tamu Kaesang-Erina. Laman Okezone.com pada 11 Juli 2011 menulis agak lain dengan mengangkat data jumlah undangan resepsi tersebut pada angka 3.500 undangan.

Pernikahan putri alm Presiden Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid dengan Dhohir Farisi, bahkan lebih ‘sederhana’ lagi. Resepsi pernikahan yang digelar 18 Oktober 2009 di  Gedung Sampoerna Strategic Square, itu dihadiri sekitar 1.500 undangan.

Mungkin bisa menjadi kebanggaan, bahkan jumlah undangan yang disebar pada pernikahan pangeran Inggris, yakni Pangeran Charles dengan Lady Diana, Pangeran William dengan Kate Middleton, serta Pangeran Harry dengan Meghan Markle, hanya seperberapa undangan grand wedding di Solo kemarin. Resepsi Charles-Diana, 29 Juli 1981, yang disebut “Wedding of the Century” hanya mengundang  3.500 relasi untuk hadir pada misa kongregasi di Katedral Santo Paulus. Sementara Pangeran William-Kate cuma menebar 1900 undangan. Pangeran Harry-Meghan Markle lebih sedikit lagi: 600 undangan.

Tapi, namanya juga raja dan ratu sehari. Kenangan tentang pernikahan, dalam sisi-sisi tertentu, adalah hak prerogatif mempelai. Terserah mereka, sepanjang urusannya menjadi tanggung jawab mereka. Itu pun kalau bisa. [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button