News

Kasus Ferdy Sambo dan Urgensi Penonaktifan Sementara Kapolri!

Sebulan lebih kasus pembunuhan Brigadir Yosua terjadi, polisi belum juga bisa membuka kepada publik motif di balik pembunuhan tersebut. Sementara dalam alur logika para penulis top cerita kriminal dunia, mulai dari Edgar Allan Poe, Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, Ellery Queen (Frederick Dannay), Mickey Spillane, John Grisham, Mo Hayder, Tess Gerritsen hingga yang mendunia di kekinian, Stieg Larsson, tak pernah alpa menyertakan motif seseorang menjadi pelaku kejahatan.  Bahkan bila sebuah kejahatan terjadi karena perilaku impulsive pun, itulah yang mereka tuliskan sebagai pertanggungjawaban pada logika pembaca.

Pada sisi ini kealpaan Polri itu bisa dipersoalkan. Saya menuliskan “belum bisa membuka kepada publik”, karena belum tentu Polisi belum menemukan motif yang menjadi raison d’etre sejati dari pembunuhan itu.  Hanya, setelah terpeleset parah dengan mengumumkan cerita hasil rekayasa pelaku sebagai versi resmi Polri di awal-awal kasus tersebut, keengganan Polri untuk segera mengumumkan motif di balik kejahatan itu, tampaknya jauh dari pertimbangan bijak.

Pertama, mengekspos kebenaran motif kejahatan tersebut benar-benar sama dan sebangun alias kongruen dengan menghentikan cerita-cerita hoaks yang beredar mengiringi bergulirnya penyidikan kasus tersebut. Sementara, di sisi lain pun perikan-petikan clue di media sosial kita dari, antara lain, Menkopolhukam Mahfud MD, pengacara Kamarudin Simanjuntak, pengacara Deolipa Yumara, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas HAM, tak henti menghujani publik dengan berton-ton rasa kepenasaran. Membiarkan beredarnya clue-clue, hingga spekulasi–misalnya yang terakhir ini—soal adanya urusan LGBT, hanya akan merangsang para pemberita cum penulis fiksi mengarang aneka versi cerita.

Kedua, membiarkan produksi hoaks itu terus berlangsung pun secara langsung akan (terus) menggerus kredibilitas Polri. Misalnya, berkaitan dengan lamanya penyidikan tanpa kemajuan berarti, yang kemajuan penyidikan tersebut diumumkan pihak Polri sendiri. Jangan kemudian membuat ketidakpercayaan publik kian membesar, apalagi dengan mengait-ngaitkannya dengan tersangka yang merupakan petinggi Polri.

Membiarkan terus berlangsungnya produksi spekulasi di masyarakat, sementara saat ini pun beredar luas kabar adanya kedekatan antara tersangka FS dengan Kapolri, tentu saja sangat kontraproduktif.  Sedikit mengingatkan, bukankah perkembangan terakhir, yakni bahwa menurut Bharada E, FS-lah pelaku pertama yang menembak Brigadir Yosua pun kita dapatkan dari Komnas HAM, bukan Polisi?

Yang belum tentu terhapus dari benak publik, Polisi perlu 28 hari untuk bisa menetapkan tersangka pertama pembunuhan tersebut. Kemudian terjadilah eksodus besar-besaran sekian banyak personel Polri ke (Divisi) Pelayanan Masyarakat (Yanma). Sekian hari lagi diperlukan untuk memutuskan bahwa FS telah melanggar kode etik karena menghilangkan perangkat CCTV yang merupakan barang bukti. Itu pun, sebagaimana bisa kita dapatkan di medsos, disebut-sebut begitu alot, dan baru diputuskan Kapolri, konon, setelah ada seorang jenderal polisi berbintang tiga yang mengancam mengundurkan diri bila FS tidak segera di-“Tersangka”-kan.

Belum lagi via medsos kita pun mendapatkan cerita dramatis di balik proses dibuat ‘bertapa’-nya FS di Mako Brimob Kelapa Dua selama 20 hari sejak Sabtu (6/8) itu. Medsos mengulas, untuk itu perlu turunnya tiga jenderal polisi menghadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di rumah dinas, guna melaporkan bukti-bukti pelanggaran kode etik serta indikasi pidana FS, pada Jumat malam (5/8/2022). Ketiga jenderal polisi itu, menurut kabar medsos, adalah  Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri dan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto.

Usai itu pun, FS belum bisa dijemput dari rumah pribadinya di Jalan Saguling, Duren Tiga, pada Sabtu (6/8/2022) dini hari. Konon, Tim Brimob yang datang menjalankan misi penjemputan melihat puluhan personel Polri dari sebuah kesatuan, berjaga-jaga di sekitar rumah. Tak ingin terjadi bentrokan yang kontraproduktif, Tim Brimob memilih mundur. FS baru bisa dibawa ke Mako Brimob usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri. Ia dibawa ke Mako Brimob dari Bareskrim sekitar pukul 17.44 WIB, dengan iring-iringan kendaraan pasukan Brimob.

‘Kesalahan’ Kapolri

Bila awal pekan ini anggota Komisi III DPR, Benny Kabur Harman, mengusulkan agar Kapolri diberhentikan sementara, menurut kami ide tersebut punya argumen yang kuat. Setidaknya, selama proses penyelidikan-penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Yosua ini pun, Kapolri terlihat public seperti gamang mengambil keputusan. Itu telah terbuktikan dengan perlunya 28 hari hanya untuk menentukan tersangka pertama kasus ini. Akan halnya FS sendiri, belum ada penegasan dari Polri tentang statusnya, kecuali sebagai tersangka dugaan pelanggaran etika berupa penghilangan barang bukti tersebut. Setidaknya dari interpretasi saya yang awam hukum terhadap sekian banyak berita kasus tersebut.

Benny sendiri bahkan meneguhkan usulan itu dengan argument bahwa selama ini Mabes Polri telah membohongi publik lewat keterangan yang berbeda. Pada awal laporannya, kata Benny, Polri melalui Divisi Humas menyebut bahwa Yosua mati akibat tembak-menembak dengan Bharada E. Kemudian terkuak bahwa versi tersebut sepenuhnya merupakan versi para pelaku untuk merekayasa peristiwa.

Apalagi hingga saat ini pun Polri belum memutuskan nasib Irjen FS dalam keanggotaan Polri. Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Agung Budi Maryoto, yang merespons pertanyaan DPR soal kapan Irjen FS dipecat dari keanggotaan Korps Polri, hanya menjawab bahwa  sidang Komisi Kode Etik dan Profesi (KEPP) untuk memutuskan nasib keanggotaan Irjen FS itu segera digelar. ”Paling tidak, pekan depan,” ujar Komjen Agung.

Kami sendiri percaya, motif dari usulan Benny Harman tak lain merupakan refleksi kepeduliannya terhadap citra Polri. Dia, tampaknya, ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi Polri yang karena kasus ini dinilai lamban. Ada spekulasi kuat di masyarakat bahwa FS adalah orang kepercayaan Kapolri, dan itulah yang membuat kelambanan sebagaimana yang terjadi saat ini bisa terwujud. Tentu saja sukar untuk mengonfirmasi kebenaran soal ‘kedekatan’ ini. Bagaimanapun hubungan sosial adalah hal yang sukar ditera dan diukur, karena sedemikian nisbinya hal tersebut.

Yang lebih memiliki standar, tampaknya adalah perilaku yang seolah “membiarkan” atau paling tidak “lalai dan membiarkan” kelambanan yang tak perlu itu terjadi. Dalam Mahkamah Internasional, terutama yang berkaitan dengan pembunuhan etnis suatu (suku) bangsa, dikenal istilah guilty by omission.  Seseorang dianggap bersalah karena dianggap ‘membiarkan’ sesuatu kejahatan terjadi. Tetapi susahnya, lambannya Polisi menangani kasus ini pun, belum tentu bisa kita anggap kejahatan, bukan?

Tetapi jelas, secara etika, tidak pada tempatnya seorang pemimpin membiarkan pengusutan yang harusnya menjadi prioritas, justru berjalan lamban, hingga memunculkan spekulasi yang pada akhirnya juga terbukti merintangi jernihnya upaya menjadikan kasus tersebut segera tuntas dan clear. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button