News

Kasus Penerbitan SHGB PT Pakuan, BPN Depok Dinilai Langgar Aturan

Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai ada persoalan serius dan permasalahan yuridis yang cukup mendasar di balik penerbitan SHGB oleh BPN Kota Depok.

Hal itu dijelaskan saat menjadi saksi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jawa Barat saat sidang lanjutan kasus dugaan mafia tanah di Kator BPN Kota Depok.

Mantan Kuasa Hukum Jokowi-Maruf Amin saat sengketa Pilpres 2019 itu menjadi saksi ahli yang diajukan oleh prinsipal Ida Farida sebagai penggugat.

“Majelis hakim telah memeriksa serta mengali keterangan yang telah saya sampaikan di bawah sumpah pada persidangan yang terbuka untuk umum,” katanya.

Menurutnya, pihak tergugat dalam perkara ini adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok,berdasarkan register perkara nomor : 101/G/2021/PTUN.BDG.

Yang menjadi objek sengketa adalah BPN kota depok menerbitkan beberapa SHGB atas tanah yang berlokasi di Sawangan, Depok. Padahal, sebidang tanah tersebut secara legal-yuridis adalah hak milik Ida Farida berdasarkan SK-Kinag, tetapi BPN Kota Depok mengeluarkan SHGB atas nama PT. Pakuan Sawangan Golf/PT. PSG.

Ia menjelaskan majelis hakim bisa merujuk pada norma Pasal 66 UU No.30/2014 jika ingin membatalkan beberapa SHGB yang diterbitkan BPN Depok tersebut.

Pasal 66 itu menjelaskan tentang pembatalan keputusan yang terdapat cacat, seperti, wewenang, prosedur dan subtansi. Jika terjadi pembatalan maka harus dibuat keputusan baru dengan mencantumkn dasar hukum pembatalan dan memperhatikan AUPB.

“Keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan, atasan pejabat yang menetapkan keputusan, atau atas putusan Pengadilan,” jelasnya.

Jika dilihat dari perspektif hukum administrasi negara Fahri mengemukakan SK Kinag sebagai dasar argumentasi hubungan hukum dengan Tanah.

SK Kinag ini merupakan produk yang legal serta diterbitkan oleh Kementerian Agraria yang berisi tentang penegasan atas hak pemilik tanah yang berasal dari tanah hak eigendom (landreform).

“Dengan demikian SK Kinag adalah bentuk pengakuan hak atas tanah bagi penerima Re-Distribusi kebijakan landreform tanah oleh negara, sehingga eksistensi SK Kinag yang demikian tentunya merupakan produk hukum yang diterbitkan dengan pijakan yuridis diatasnya, yaitu Undang undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Tanah Partikelir. UU No.1/1985 tersebut menegaskan pengaturan kembali mengenai hak atas tanah partikelir yang dulunya bersumber dari hak eigendom berikut dengan hak pertuanannya,” paparnya.

Salah satu bentuk perwujudan perlindungan itu adalah melalui kewenangan kelembagaan dan wewenang pejabat Kementerian Agraria berupa penerbitan SK Kinag sebagai penegasan pengakuan penguasaan atas tanah.

“Bagi warga negara yang memperoleh SK Kinag tentu mempunyai derajat serta nilai hukum yang sama seperti sertifikat sebagai bentuk pengakuan hak atas tanah,” tandasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Anton Hartono

Jurnalis yang terus belajar, pesepakbola yang suka memberi umpan, dan pecinta alam yang berusaha alim.
Back to top button