Kanal

Kesempatan Kedua di Mihrab Baginda

“Barang siapa menziarahi aku sepeninggalku nanti, seakan-akan ia menziarahi aku saat aku masih hidup.” (HR at-Thabrani dan ad-Daruquthni)

Setelah mengunjungi Sayyidina Hamzah di Jabal Uhud, saya melanjutkan kunjungan saya ke Rasulullah di Masjid Nabawi. Malam itu, suasana begitu hening, sepi, dan sunyi. Sekitar pukul 01.00 dini hari. Raudhah dan makam Nabi baru saja dibuka, petugas kebersihan masih sibuk menyelesaikan tugas mereka. Saya beruntung bisa masuk di saat-saat seperti itu.

Berjalan perlahan di koridor Masjid Nabawi, dari pintu Babussalam, saya menikmati setiap detik di tempat yang suci ini. Hatiku berdebar kencang, meski suasana malam begitu tenang. Burung-burung di atas atap masjid berkicau, seolah memberi sambutan selamat datang.

Di Raudhah dan di depan makam Nabi, setelah menghela nafas panjang, saya mengucapkan salam kepada Baginda Nabi. “Assalamualaikum Ya Sayyidi, Ya Rasulallah,” ujar saya dengan lirih. “Sebelumnya, saya telah mengunjungi pamanmu, saudara laki-laki ayahmu. Saya menyampaikan salam kepadanya. Sekarang, saya mengunjungimu, semoga Engkau ridha.”

Seperti tidak memperdulikan kehadiran seorang pemuda botak seperti saya, para penjaga hanya sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut gelombang orang-orang yang kemungkinan akan datang. Sebentar lagi, setelah pintu dibuka, orang-orang akan membanjiri tempat ini. Saya beruntung bisa datang lebih awal.

Bagi saya, kesempatan kedua saya untuk mengunjungi Madinah dalam musim haji tahun ini adalah sesuatu yang luar biasa. Saya diberi kesempatan untuk kembali ke “kota” dan “rumah” Nabi sebelum jamaah haji dari seluruh dunia bergerak dari Mekkah ke Madinah. Saya bisa merasakan suasana Madinah yang tenang dan sunyi. Meskipun rindu tetap menyelimuti hati dan menggebu-gebu di dalamnya.

358146956 815766536580013 5558349036247450050 N - inilah.com

Di ruangan istimewa ini, saya juga menyampaikan salam dari orang-orang tercinta kepada Baginda Nabi. Dari ayah, ibu, adik-adik, guru, dan sahabat-sahabat saya. Mungkin terlihat sederhana, tapi bagi saya ada rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Memang, semua ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan yang meluap di dalam hati saya. Tetapi saya tahu Rasulullah “mendengar” salam tersebut dan “menjawab”nya dengan cara yang khusus. Saya tidak mendengarnya dengan telinga, tetapi dengan hati saya. Saya yakin akan hal itu.

“Izinkan saya datang kembali, Ya Rasul. Izinkan saya datang bersama istri, ibu, ayah, keluarga, dan guru-guru saya. Saat ini, salam terbaik mereka untukmu, Ya Rasul. Mereka adalah orang-orang yang mengajari saya untuk mencintaimu. Mereka yang memperkenalkan saya pada cahayamu,” bisik saya.

Malam itu, apa lagi yang bisa saya minta? Setelah momen di Padang Arafah, mungkin ini adalah momen terbaik lainnya dalam perjalanan haji saya kali ini.

Demikianlah, kunjungan khusus ini sekaligus menjadi cara saya untuk berpamitan kepada Baginda. Saya akan segera pulang ke tanah air beberapa hari lagi. Kehidupan harus terus berlanjut dengan tugas-tugas besar yang baru. Semoga Allah dan Rasulullah ridha. Semoga kelak saya termasuk di antara orang-orang yang duduk di Majelis Rasulullah di surgaNya.

Di beranda Masjid Nabawi, setelah berziarah dan mengungkapkan segala perasaan, air mata mulai mengalir dari mata saya. Tangan saya bergetar. Jika tidak ada undangan dan perkenan dari Tuanku, bagaimana mungkin hamba ini bisa sampai ke sini? Bagaimana mungkin saya bisa mendapatkan kebaikan dan berkah yang luar biasa ini.

“Assalamualaikum, Ya Sayyidi, Ya Rasulullah. Saya pamit pulang.”

Saya hanya bisa bersyukur. Pada akhirnya, hidup adalah tentang bersyukur, bukan? Betapa banyak yang telah kita terima, tetapi betapa sedikit yang telah kita berikan? Maka ayat tersebut menggema dengan kuat: “Fabiayyi ala-i rabbikuma tukadziban.” Nikmat Tuhan yang mana lagi yang ingin engkau dustakan?

“Barang siapa datang hanya untuk menziarahi aku, niscaya aku punya hak atas Allah sebagai pemberi syafaat untuknya.” (HR at-Thabrani)

Terima kasih, Ya Rasul. Terima kasih. Terima kasih seperti apa yang pantas saya sampaikan?

Kami merindukanmu, Ya Rasul / Rindu yang tak terperi / Terpisah jarak ribuan tahun darimu, Ya Rasul / Namun terasa Engkau di sini…

Serasa Engkau di sini!

Madinah, kota yang saya cintai.

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button