Kanal

Kisah Jenderal Hoegeng yang Kehabisan Beras, Hedonisme Polri, dan Akhir Drama Sambo

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Jenderal Sigit. Mengubah habit yang sudah mandarah daging bukan perkara mudah. Publik terus menuntut watak Polri yang dulunya militeristik berubah jadi humanis. Gaya hidup mewah menjadi sederhana. Masyarakat juga mendesak dihapuskan budaya KKN menjadi budaya yang bersih, profesional dan  transparan.

Andai mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang kita kenal sebagai teladan bagi polisi masih hidup, dia pasti akan menangis sejadi-jadinya, menyaksikan beragam drama yang diperankan para juniornya belakangan ini.

Rentetan peristiwa mulai dari dugaan pembunuhan oleh Irjen Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 133 jiwa, tertangkapnya Irjen Teddy Minahasa terkait kasus narkoba, hingga gaya hidup hedon para perwira polisi, menjadi cermin betapa institusi Polri kita tengah dalam persoalan besar dan serius. Polri tidak dalam keadaan baik baik saja. Citra dan kepercayaan publik terhadap polisi remuk berkeping-keping. Boleh disebut sangat buruk.

Memang sudah banyak yang menulis kisah heroik Jenderal Hoegeng. Tapi rasanya, masih begitu relevan kita mengingat lagi sosok Kapolri periode 1968-1971, yang lebih memilih hidup melarat ketimbang menerima suap, korupsi, apalagi menjual narkoba. Langka dan sulit ditemukan di era sekarang.

Pria yang pernah dinobatkan sebagai the man of the year 1970 ini pensiun tanpa punya rumah, kendaraan, ataupun barang mewah. Rumah dinas menjadi milik Hoegeng atas pemberian dari Mabes Polri. Sejumlah kapolda akhirnya patungan membeli mobil Kingswood, yang kemudian menjadi satu-satunya mobil yang dia miliki.

Pernah dituturkannya, setelah berhenti sebagai Kapolri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang bisa dimakan oleh keluarga, karena di rumah sudah kehabisan beras. Untuk kita ketahui, uang pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp 10 ribu, itu pun hanya diterima Rp 7.500,-.

Kisah Hoegeng yang sampai kehabisan beras ini begitu miris dan sangat kontras dengan gaya hidup hedon yang kini dipertontonkan sebagian insan bhayangkara.

Ini pula yang menjadi salah satu sorotan anggota Komisi III DPR Adies Kadir saat Rapat Dengar Pendapat bersama Kapolri pada 24 Agustus 2022 lalu.

“Kalau kita lihat di bawah Pak, tingkat Direktur, Kapolres, seperti raja-raja kecil di daerah. Perilaku-perilaku seperti ini sudah sudah luar biasa seperti raja. Sudah mulai pakai cerutu, sudah mulai pakai wine, mobilnya juga sudah mewah-mewah. Kemudian juga kita lihat perilaku istri-istrinya, pakai tas hermes, sudah gonta-ganti,” papar Adies.

Memang, tambah Adies, itu ranah pribadi mereka. Namun, seharusnya gaya hidup tersebut tidak dipamerkan ke publik. “Tidak usah upload-upload sehingga membuat masyarakat nyinyir. Masyarakat jadi melihat, oh ternyata begini ya Polri,” ucapnya.

Tindakan pamer barang mewah oleh anggota Polri dan keluarganya ini dalam pandangan Anggota Komisi III lainnya Johan Budi SP, dapat menyakiti perasaan masyarakat.

“Saya lihat polisi-polisi yang di bawah ini Pak, Kapolres, Kapolsek mulai menikmati hidup hedon. Jadi, kalau bukan Kapolresnya, Kalpolseknya, istrinya Pak di medsos, pamer sepeda harga Rp300 juta dan sebagainya. Ini menyakitkan Pak,” kata Johan Budi.

Presiden Jokowi sendiri sudah mencium gelagat buruk di tubuh Polri, sehingga perlu mengumpulkan seluruh pejabat utama Polri, Kapolda, dan Kapolres di Istana Negara, Jumat (14/10/2022) lalu.

Jokowi berulang kali dan mewanti wanti soal gaya hidup mewah, tingkat kepercayaan publik yang menurun, hingga keluhan masyarakat kepada Polri. Kata Jokowi, jangan sampai dengan situasi yang sulit ini, ada letupan-letupan sosial, karena adanya kecemburuan sosial ekonomi.

“Hati-hati. Saya ingatkan yang namanya Polres, Kapolres, yang namanya Kapolda, yang namanya seluruh pejabat utama, perwira tinggi, ngerem total masalah gaya hidup. Jangan gagah-gagahan karena merasa punya mobil bagus, atau motor gede yang bagus. Hati-hati, hati-hati, saya ingatkan hati-hati,” tegas Jokowi

“Saya terlalu banyak mendapatkan laporan, sehingga kembali lagi gaya hidup, urusan kecil-kecil, tetapi itu bisa mengganggu kepercayaan terhadap Polri. Urusan mobil, urusan motor gede, urusan yang remeh-temeh saja, sepatunya apa, bajunya apa, dilihat masyarakat sekarang ini,” jelas Jokowi.

Kotak Pandora

Saat para petinggi Polri berkumpul di Istana, khalayak dikejutkan dengan berita penangkapan Irjen Teddy Minahasa yang diduga mengkonsumsi narkoba, bahkan menjual 5 kilogram sabu sabu yang tak lain adalah barang bukti penangkapan narkoba saat Teddy menjabat Kapolda Sumatera Barat. Walaupun belakangan Teddy membantah semua tudingan itu, mata publik sudah semakin terbuka betapa akut persoalan di tubuh Polri.

Banyak pihak menduga, penangkapan Teddy yang baru saja didapuk menjadi Kapolda Jawa Timur itu, adalah buntut dari persaingan internal para perwira tinggi Polri. Perseteruan antara gank Kaisar Sambo 303 dengan kelompok yang konon ingin perbaikan di tubuh Polri.

Penangkapan boss judi online Medan Apin BK Medan yang disebut masuk dalam lingkar “Konsosrsium 303 Kaisar Sambo”, seolah semakin menegaskan anggapan tersebut. Apin BK, tersangka judi online asal Medan ditangkap setelah dua bulan kabur ke Singapura usai markas judinya digerebek polisi. Apin sendiri dicokok di Malaysia sehari setelah Teddy Minahasa ditangkap. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mungkin Polda Sumut bisa kecolongan dan membuat Apin bisa lolos ke luar negeri?

Cerita Sambo yang perkaranya Senin (17/10/2022) mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, tetap menarik untuk kita cermati. Berbagai kalangan memandang, kasus Sambo ini seperti membuka kontak pandora di tubuh Polri.

Seorang Sambo sejauh ini masih menunjukkan kedigjayaannya. Dia terang terangan melawan institusi yang membesarkannya. Selain mengajukan banding atas pemecatan dirinya, Sambo dalam eksepsinya di PN Selatan, dengan yakin menolak dakwaan Jaksa dan minta dirinya dibebaskan. Perkara Sambo sendiri baru berhasil disidangkan 100 hari setelah kasus ini disidik.

Belakangan beredar kabar soal “Buku Hitam” yang selalu dibawa Sambo kemana mana. Ingatan publik langsung tertuju ke kasus “Buku Merah” yang sempat menjadi buah bibir, karena diduga memuat aliran dana lagi lagi ke petinggi Polri.

Jejaring Sambo saat memimpin Satgasus diduga masih bekerja. Uang triliunan rupiah yang dihasilkan Konsorsium 303 Kekaisaran Sambo, diduga dinikmati banyak orang. Lirik lagu Bengawan Solo gubahan Gesang, “Air megalir sampai jauh, akhirnya ke laut” sepertinya pas untuk menganalogikan betapa banyak kelompok yang menikmati uang hasil praktik terlarang ini.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah merilis adanya aliran uang mencapai Rp 155 triliun dari Konsorsium 303 Kaiasar Sambo ke beberapa anggota Polri hingga pelajar.

Itu sebabnya Pengamat kepolisan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto meminta pengusutan kasus ini tidak hanya dilakukan oleh Polri semata.

“Tak hanya Polri, KPK juga harus bergerak untuk menelesuri aliran dana itu bila menyangkut nama-nama pejabat atau mantan pejabat baik Polri maupun non-Polri bila ada indikasi keterlibatan TPPU yang merupakan salah satu bentuk kejahatan korupsi,” kata Bambang kepada wartawan, Kamis (22/9/2022) lalu.

Gerak Cepat Kapolri

Kita layak memberikan apresiasi atas langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam upaya merehabiltasi kinerja dan nama baik Polri. Mencopot Kapolres Malang dan Kapolda Jatim yang dianggap bertanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan adalah salah satu langkah kecil Kapolri.

Berikutnya, keputusan Kapolri membatalkan pengangkatan Irjen Teddy Minahasa sebagai Kapolda Jatim sekaligus menetapkan Teddy sebagai tersangka kasus narkoba, juga menuai banyak pujian. Lalu, Selasa (18/10/202) Kapolri mengganti sembilan Kapolda dengan pejabat baru. Bisa jadi ini rekor dalam sejarah mutasi di tubuh Polri.

Apakah itu cukup? Pastinya belum. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Jenderal Sigit. Mengubah habit yang sudah mandarah daging bukan perkara mudah. Ini paling tidak sejakan dengan penilaian Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti. Tuntutan agar Polri mampu mengubah watak dan budaya sudah tertulis sejak era reformasi Polri.

Masyarakat terus menuntut watak Polri yang dulunya militeristik berubah jadi humanis dan menghormati HAM. Gaya hidup mewah dengan tampilan yang arogan menjadi sederhana. Masyarakat juga mendesak dihapuskan budaya KKN warisan Orde Baru menjadi budaya yang bersih, profesional, transparan, dan akuntabel.

“Namun memang, sulit mengubah watak dan budaya dalam sekejap. Butuh pengawasan secara terus-menerus agar reformasi kultural berjalan on the right track,” kata Poengky seperti dikutip VOI, Kamis (8/9/2022).

Akhirnya, kita terus menanti langkah tegas Kapolri dalam mereformasi tubuh Polri. Kita mesti mengingatkan lagi komitmen Kapolri yang pernah menyitir pepatah ‘ikan busuk mulai dari kepala’. “Kalau pimpinannya bermasalah, maka bawahannya akan bermasalah juga,” ucap Kapolri pada suatu kesempatan.

Nah, bukankah Kapolri adalah orang nomor satu, pucuk pimpinan tertinggi di jajaran Korps Bhayangkara. Trunojoyo Satu.

Terakhir, saya ingin mengutip kata kata Jenderal Hoegeng yang begitu melegenda. “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.”

Wiguna Taher (Pemimpin Redaksi Inilah.com)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button