Market

Klaim Indonesia Untung Besar dari Hilirisasi Nikel, Faisal Basri Ragukan Data Jokowi

Terkait hilirisasi nikel, Presiden Jokowi mengklaim sukses pemerintah menambah penerimaan negara dari Rp17 triliun menjadi Rp510 triliun. Atau meroket 29 kali. Sayangnya, angka-angka itu dibantah ekonom senior Indef, Faisal Basri.

Dikutip dari laman faisalbasri.com, Jakarta, Jumat (11/8/2023), ekonom yang dikenal kritis ini, menyebut angka-angka yang disampaikan Jokowi, tidak jelas sumber dan cara menghitungnya.

“Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China,” kata Faisal.

Jika merujuk data 2014, lanjut Faisal, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, senilai Rp11,865 per US$.

“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah pada 2022 sebesar Rp14.876 per dolar AS. Sehingga, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun,” jelas Faisal.

Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden Jokowi dan hitung-hitungan Faisal, memang benar adanya lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi nikel. Terlihat adanya lonjakan hingga 414 kali lipat. Ini jelas capaian yang sangat fantastis.

“Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri, atau ke negerinya sendiri,” kata Faisal.

Selanjutnya, dia membandingkan hilirisasi nikel dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor, atau bea keluar plus pungutan, berupa bea sawit. “Sedangkan ekspor olahan bijih nikel, sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” tegasnya.

Sebelumnya, Jokowi menyebut adanya kenaikan penerimaan negara dari hilirisasi nikel dari Rp17 triliun menjadi Rp510 triliun. Pernyataan Jokowi ini merespons argumentasi Faisal Basri yang menyebut, China lebih diuntungkan dari hilirisasi nikel. Kira-kira, China untung 90 persen, sisanya yang 10 persen jatah Indonesia.

Saat mencoba LRT Jabodebek di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (10/8/2023), Jokowi justru mempertanyakan asal muasal hitungan Faisal Basri itu.

“Ngitunganya gimana? Kalau hitungan saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industrial downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun,” kata Jokowi.

Menurutnya, nilai ekspor nikel hasil hilirisasi yang meningkat akan menghasilkan pajak yang lebih besar ketimbang sebelum nikel dilakukan hilirisasi.

“Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun lebih gede mana?” jelas Jokowi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button