News

Komisi I DPR Klaim KUHP Baru Sejalan Kebutuhan Masyarakat dan Tuntutan Zaman

DPR telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam rapat paripurna Selasa (6/12/2022). Peraturan perudang-undangan ini dinilai sebagai upaya nyata bangsa Indonesia dalam mengganti tatanan hukum positif agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman.

Penilaian tersebut datang dari Anggota Komisi I DPR Krisantus Kurniawan. “KUHP suatu negara merupakan ekspresi peradaban bagi negara yang bersangkutan. Penggantian tatanan hukum tersebut merupakan penggantian atau perubahan secara mendasar dan rasional,” tuturnya dalam Webinar bertema ‘Urgensi Pembaruan KUHP’ di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut politisi asal pemilihan Kalimantan Barat itu, pembaruan Hukum Pidana merupakan upaya untuk mengganti tatanan Hukum Pidana Positif (Ius Constitutum) dengan tatanan hukum pidana yang dicita-citakan (Ius Constituendum).

“Pada akhirnya pembaruan hukum pidana harus secara nyata diwujudkan melalui kebijakan atau politik hukum pidana,” ujarnya.

Dia menegaskan, hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri, yaitu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana.

Tentu saja, ia menambahkan, pembaharuan hukum pidana itu sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

“Maka pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach),” tuturnya.

Ismail Cawidu, akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan hal senada. Saat ini, kata dia, dalam penegakan hukum pidana di Indonesia masih menggunakan KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht atau peninggalan Belanda tahun 1946.

“Hal ini berakibat pada banyaknya jenis perbuatan pidana yang belum diatur dalam KUHP saat ini. Sehingga KUHP lama sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini yang sangat dinamis akibat perubahan sosial, teknologi informasi namun masih melesatarikan adat ketimuran,” tuturnya.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta itu menilai KUHP baru disusun dengan mendasarkan pemikiran pada aliran klasik, yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif (faktor lahiriyah) dan faktor subjektif (pendekatan bathiniyah).

“KUHP baru ini tidak lagi membedakan antara tindak pidana kejahatan dan pelanggaran dan mengakomodir hukum-hukum yang masih hidup dan berlaku di tengah masyarakat. Ini jauh lebih maju dibandingkan KUHP lama dan masih berlaku saat ini,” paparnya.

Algooth Putranto akademisi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta justru menegaskan hal berbeda. Menurut dia, tiga tahun ke depan menjadi ajang pertaruhan bangsa Indonesia antara pihak yang setuju maupun yang tidak setuju dengan KUHP baru.

“Sejak disahkan DPR pada 6 Desember, pertarungan dialektika tentang KUHP baru sudah bukan lagi di jalanan atau di ruang akademis. Pertarungan sudah bergeser ke Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini para penentang harus mempersiapkan diri dengan baik dan pemerintah harus berbesar hati dengan perdebatan ini,” ungkap dia.

Pengajar Ilmu Komunikasi yang menekuni pertarungan dialektika Ruang Publik itu menegaskan pemerintah seharusnya mengurangi upaya menguasai ruang public (public sphere) secara tidak sehat dengan menggunakan buzzer seperti halnya ketika menghadapi aksi demonstrasi para penentang KUHP di 2019.

“Biarkan masyarakat berdialektika, upaya mendistorsi dialektika akan membuat masyarakat sipil semakin tidak percaya dengan upaya pemerintah. Biarlah masyarakat berdebat secara sehat. Justru di situ letak indahnya proses demokrasi,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button