News

Kontroversi ‘Sesat’ Al Zaytun: Debat Panas Antara KH Cholil Nafis dan Helmi Hidayat

Perdebatan antara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis dan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Helmi Hidayat terkait polemik penistaan agama yang terjadi di Ma’had Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat menambah ketegangan di ruang publik Indonesia. Polemik ini dipicu oleh perdebatan di acara televisi Catatan Demokrasi tvOne pada Selasa (27/6/2023) malam tentang legitimasi Perguruan Tinggi Islam Al Zaytun sebagai entitas yang ‘sesat’ atau tidak.

Cholil berpendapat bahwa beberapa praktek di Al Zaytun, seperti perempuan menjadi khatib Jumat dan metode salat mereka, bertentangan dengan ajaran mainstream Islam. Untuk itu MUI telah mengeluarkan fatwa no 38 tahun 2023 yang membatasi perempuan menjadi khatib Jumat hanya bagi perempuan. Jika perempuan menjadi khatib untuk laki-laki, menurutnya, itu adalah sesat. Ia juga merasa bahwa ada indikasi penodaan agama di Al Zaytun yang perlu ditangani oleh penegak hukum.

“Enggak mungkin kita di luar dalil itu maka permintaan kepada kita dan otoritas ya kalau bicara otoritas kepada kita yang kita akan sampai ke pada publik dan kepada pemerintah itu…jadi yang sudah kita mendapatkan informasi utuh dan kita sampaikan,” kata Cholil.

Di sisi lain, Dosen UIN Jakarta, Helmi Hidayat, menyatakan keberatannya terhadap label ‘sesat’ yang ditujukan kepada Al Zaytun atau individu manapun. Dia berpendapat bahwa penentuan siapa yang sesat atau masuk neraka hanyalah hak Allah SWT, dan manusia tidak berhak untuk menjatuhkan label tersebut.

“Saya orang pertama yang barangkali di Indonesia ini menyatakan prihatin dan karena itu tidak setuju ada kata-kata sesat dan noda agama atau penodaan agama… yang menentukan orang masuk neraka itu cuma satu pemilik neraka Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak ada satupun di antara kita yang hadir di sini di luar sana di Indonesia di dunia ini yang berhak menyatakan seorang manusia sesat nanti di akhirat…” kata Helmi.

Debat ini memicu diskusi yang lebih luas tentang standar dan kriteria apa yang digunakan untuk menentukan ‘kesesatan’ dalam konteks Islam di Indonesia. Lebih lanjut Cholil menjelaskan bahwa MUI telah melakukan penelitian dan proses pengumpulan informasi sebelum mengambil keputusan. Namun, Helmi tetap menegaskan bahwa penilaian tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan menghargai perbedaan pendapat.

Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas perdebatan publik di Indonesia tentang peran dan batas otoritas keagamaan, dan bagaimana otoritas tersebut dapat dan seharusnya digunakan dalam menentukan ortodoksi dan heterodoksi dalam konteks keagamaan yang plural. Meskipun belum ada kesimpulan dari perdebatan ini, diskusi tersebut telah menghasilkan refleksi yang penting tentang peran dan tanggung jawab lembaga keagamaan dalam masyarakat.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button