Kanal

Korupsi di Era Reformasi Semakin Menggila dan Solusinya


Era reformasi sudah berlangsung 26 tahun. Pertanyaannya, apakah reformasi telah membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan? Dahulu, masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan mengajukan beberapa tuntutan, salah satunya adalah untuk memberantas praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sekarang, pertanyaannya adalah apakah bangsa kita telah berhasil memberantas ketiga praktek yang tidak terpuji tersebut? Data dan fakta menunjukkan bahwa kita telah gagal mengenyahkannya.

Mahfud MD, saat menjabat sebagai Menko Polhukam, mengatakan bahwa tindak korupsi di era reformasi jauh lebih hebat dan lebih dahsyat dibanding zaman Orde Baru. Jika di zaman Orde Baru korupsi hanya tampak di lembaga eksekutif, kini sudah merebak ke lembaga legislatif dan yudikatif. 

Di masa reformasi, kita melihat beberapa kasus korupsi besar, seperti yang dilakukan oleh Surya Darmadi dengan kerugian negara sekitar Rp 78 triliun, kasus Asabri sekitar Rp 23 triliun, dan Jiwasraya dengan kerugian negara sekitar Rp 17 triliun. Dari ketiga kasus tersebut, kerugian negara sudah mencapai sekitar Rp 118 triliun. Angka tersebut, jika disatukan dengan kerugian yang diakibatkan oleh penyelewengan dana BLBI (Rp 138 triliun), maka total kerugian negara berjumlah sekitar Rp.256 triliun. Sebuah angka yang sangat besar dan fantastis.

Dalam beberapa minggu terakhir, kita dikejutkan lagi oleh praktek korupsi yang benar-benar super mega yang terjadi di PT Timah Tbk yang telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp.271 triliun. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dari empat kasus korupsi sebelumnya. Pertanyaannya, mengapa hal ini masih bisa terjadi? Pertama, karena akhlak dan moralitas dari para pelakunya memang telah sangat buruk dan jeblok. 

Kedua, karena sistem pengawasan yang masih sangat lemah. Ketiga, karena adanya peluang bagi para pelaku untuk berkolusi dan mengembangkan sikap nepotisme untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya dan kroni-kroninya. Keempat, lemahnya penegakan hukum. Kelima, rendahnya hukuman yang sudah pernah diberikan kepada sang koruptor.

Untuk itu, ke depan, bagi bisanya kita menghapus atau meminimalisir praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme maka teori NK (Niat dan Kesempatan) menjadi sangat relevan karena faktor niat dan kesempatan ini telah menjadi faktor utama bagi terjadinya praktek KKN tersebut. Untuk mencegah terjadinya praktek moral hazard tersebut, kita harus melakukan beberapa hal: Pertama, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dari warga bangsa sehingga mereka benar-benar tahu dan menghayati bagaimana buruknya hukuman dari tindakan tercela yang mereka lakukan nanti di hari akhir.

Kedua, kita harus membuat dan membangun sebuah sistem pengawasan yang canggih sehingga akan sangat sulit bagi para pihak untuk melakukan praktek haram dan ilegal serta tidak terpuji tersebut. Ketiga, sistem hukum yang ada harus bisa membuat yang bersangkutan untuk bisa dimiskinkan dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, berupa hukuman mati, agar hal demikian bisa menimbulkan ketakutan bagi yang lain untuk melakukan tindakan yang sangat merugikan bangsa dan negara. 

Tanpa hal-hal demikian, praktek KKN di Indonesia tidak akan bisa diberantas sehingga nasib bangsa dan negara kita akan sangat terganggu oleh ulah perbuatan mereka, dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi pada bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini.

Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button