Kanal

Langkah KPK, Cak Imim, dan Hukum sebagai Alat Politik

Hanya rakyat yang naif atau mungkin bodoh yang percaya bahwa pemeriksaan Muhaimin Iskandar tidak berhubungan dengan politik. KPK diindikasikan masuk ke dalam wilayah haram ranah politik praktis. KPK sudah menjadi subordinat penguasa, yang bisa dengan mudah menjadikannya alat kepentingan politik.

Oleh: Didik J Rachbini

Mungkin anda suka

Politik Indonesia gaduh dan semakin tidak mudah ditebak karena samar dan sangat tersembunyi di balik taktik pimpinan politik partai dan penguasa. Setelah Muhaimin Iskandar menyeberang ke kubu Nasdem atau koalisi perubahan, KPK langsung turun gunung untuk memeriksanya. Tindakan hukum berimpit dengan proses politik sehingga tidak bebas dari persepsi bahwa ini adalah tindakan politik di ranah hukum atau hukum dipakai sebagai alat politik.

Apa yang tersirat dan tersurat dari kejadian ini? Calon pemimpin dalam politik dan demokrasi liberal dan terbuka seperti sekarang mesti benar-benar bersih.  Jika tidak, maka kasus hukumnya pasti menjadi makanan empuk politik praktis dan publik.  Ini sudah pasti menjadi syarat bagi elit pemimpin yang jumlahnya sedikit. Dari 280 juta penduduk seharusnya muncul sedikit figur pemimpin terseleksi, yang tanpa cacat atau paling sedikit cacatnya. 

Begitulah sejatinya proses demokrasi yang harus dijalankan untuk memilih pemimpin yang bersih. Langkah maju dan sekaligus pilihan figur tidak bersih di gelanggang politik terbuka adalah kesalahan fatal. Kelemahannya akan menjadi makanan kampanye negatif di dalam pilpres nanti dan sekarang sudah dihadang kasus hukum, yang legal absah tanpa melihat aspek cawe-cawe politik di dalamnya. 

Baca Juga:

Indonesia, Politik Sandera, dan Cak Imin

Kalau calon pemimpin tidak bersih, maka pemimpin politik yang tampil akan menjadi pesakitan atau pasien “rawat jalan”, yang setiap saat bisa dijebloskan kamar darurat menjadi pasien “rawat inap”.  Demokrasi menjadi ketoprak atau drama telenovela seperti yang terlihat sekarang. Aktor kuat yang berada di balik layar dapat dengan mudah mengendalikan politisi-politisi pesakitan, yang menjadi “pasien rawat jalan” dan bisa setiap saat masuk kamar rawat darurat.

Muhaimin Iskandar dalam drama politik ini sangat lemah sehingga mudah masuk kerangkeng dan tidak bisa berkiprah lagi di dalam kancah politik yang terbuka dan cukup brutal ini. Jadi calon pemimpin bagaimana pun keadaannya memang harus betul-betul bersih karena 280 juta rakyat atau setidaknya 200 juta pemilih menempatkannya pada titik panas atau hotspot.

Ketika berimpit dengan proses politik, ada pertanyaan, apakah langkah KPK ini bermuatan politik? KPK sendiri pasti akan menjawab ini proses hukum.

Meskipun pimpinan KPK membantah seribu kali dan sampai bibirnya robek sekalipun bahwa pemeriksaan Muhaimin murni hukum, rakyat yang melek politik tidak akan pernah percaya hal tersebut. Hanya rakyat yang naif atau mungkin bodoh yang percaya bahwa pemeriksaan itu tidak berhubungan dengan politik. Inilah kesimpulan dari langkah KPK sekarang ini dan terkait dengan rententan langkah dan proses yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya setelah KPK dikerdilkan sedemikian rupa secara politik oleh kekuasaan.

Dari historis perilaku pimpinan KPK selama ini, ada indikasi kuat jawaban tersebut adalah kebohongan yang vulgar. KPK diindikasikan masuk ke dalam wilayah haram ranah politik praktis, yang implikasi politik rezim selanjutnya akan vulgar juga memanfaatkan KPK sebagai alat politik. 

Baca Juga:

Mengapa Cak Imin Pilihan Tepat Cawapres Anies Baswedan?

Dengan langkah vulgar plus historis yang lebih vulgar juga, selanjutnya KPK benar-benar menjadi alat politik penguasa. KPK sudah menjadi subordinat penguasa dalam hal ini pemerintah, yang bisa dengan mudah dijadikan alat kepentingan politik.  Hal itu bermula dari mandemen UU KPK, yang ditentang masyarakat luas dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Bahkan secara ekspresif mahasiswa melakukan demonstrasi yang masif secara nasional untuk menentang amandemen UU KPK tersebut.  Bahkan sudah terjadi korban meninggal tetapi rezim ini terus melakukan pelemahan KPK, yang menjadi alat penguasa pada saat ini. 

Peristiwa ini tidak berdiri sendiri.  Arus politik bawah tanah berkelindan sangat kuat dengan hukum dan arus itu mengendalikan banyak hal termasuk hukum dan politik praktis sekaligus pada masa menjelang pilpres dan pileg. Di dalam politik, para aktornya bisa berperan sebagai aktor baik dan sekaligus aktor jahat secara bersamaan. Aktor jahat yang mengendalikan permainan di titik panas dan kritis seperti sekarang ini dan bisa melabrak hukum yang menjadikan sebagai alatnya.

Cara berpolitik brutal seperti ini dengan menjadikan hukum sebagai alat politiknya. Ini merusak demokrasi yang kemudian akan mewariskan risiko dendam dan perkelahian politik secara terus menerus.  Jika rezim berganti baru, maka rezim baru yang berbeda pandangan akan siap mengambil tindakan balas dendam. Setiap pergantian rezim akan selalu ada dendam dan balas dendam yang merusak demokrasi. Ini terjadi karena hukum dan keadilan dirusak oleh kekuasaan politik.

Dan yang lebih penting untuk dicermati, biasanya penguasa yang otoriter selalu menjadikan hukum sebagai alat politik untuk meredam lawan-lawannya. Jika kita membiarkan ini terus berlalu, maka sama saja dengan membiarkan penguasa otoriter memperkuat dirinya dengan melemahkan hukum. 

Didik J Rachbini adalah Rektor Universitas Paramadina

Baca Juga:

KPK Warning Lukas Enembe, Jangan Giring Opini Publik

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button