Market

Menangkal Hantu Bernama Inflasi Tinggi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya kenaikan inflasi mencapai 4,94 persen hingga Juli 2022. Ekonomi Indonesia kini tengah dihantui inflasi yang tinggi. Angka inflasi tinggi ini diperkirakan masih berlanjut pada Semester II-2022 mendatang.

BPS melaporkan kenaikan inflasi pada Juli 2022 tercatat mencapai 0,64 persen. Selain itu juga ada kenaikan Indek Harga Konsumsi (IHK) dari 111,09 pada Juni menjadi 111,8 pada Juli 2022.

“Penyumbang inflasi pada Juli utamanya berasal dari kenaikan harga cabai merah, tarif angkutan udara, bawang merah, bahan bakar rumah tangga, dan cabai rawit,” kata Margo Yuwono, Kepala BPS.

Inflasi pada Juli 2022 sebesar 4,94 persen (yoy) ini merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2015 yakni pada saat itu terjadi inflasi sebesar 6,25 persen (yoy). Andil terbesar berasal dari harga bergejolak yaitu 0,25 persen akibat komoditas cabai merah, bawang merah dan cabai rawit.

Penyumbang kedua adalah komponen harga yang diatur pemerintah dengan andil 0,21 persen karena kenaikan tarif angkutan udara, bahan bakar rumah tangga, rokok filter, dan tarif listrik. Sementara penyumbang ketiga adalah komponen inti dengan andil 0,18 persen serta komoditas pendorongnya adalah ikan segar, mobil, dan sewa rumah.

Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman menyebut ada tiga faktor yang mempengaruhi inflasi, yaitu harga bahan pokok, transportasi, dan konsumsi rumah tangga seperti listrik dan bahan bakar.

“Kami masih memprediksikan inflasi akan terus naik secara substansi maupun mendasar pada semester ke 2 tahun 2022. Ini lebih disebabkan meningkatnya permintaan (demand-pull inflation) menyusul dari pelonggaran PPKM yang membuat masyarakat lebih leluasa bergerak dan kecepatan uang berputar,” kata Oce, sapaan Faisal Rachman.

Meski tren inflasi diperkirakan akan terus naik, namun Oce optimis inflasi akan berada pada 4,60 persen di akhir tahun, sedikit di atas kisaran Bank Indonesia yaitu 3 persen+1. Kondisi perekonomian Indonesia masih akan baik. Apalagi jika dibandingkan dengan awal pandemi.

“Saya rasa tidak akan separah ketika pandemi COVID-19. Karena walau melemah namun perbaikan demand tetap ada,” ucapnya.

Memperkuat Fiskal

Sementara Pakar Kebijakan Publik dan Kepala Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyampaikan, inflasi Agustus 2022 diprediksi akan kembali naik dan berada di level 5-6 persen. Meski demikian, dia memperkirakan inflasi akan terus mendaki akibat lonjakan harga pangan dan energi. Tekanan laju inflasi Indonesia hingga dobel digit atau di kisaran 10-12 berpeluang persen pada September mendatang.

Kondisi serupa pernah dicapai Indonesia pada 2008 lalu yang kala itu tercatat sebesar 11,06 persen.

“Inflasi tinggi akan disumbang oleh komponen bahan makanan dan energi,” kata Achmad, Selasa (2/8/2022).

Dia mengingatkan pemerintah untuk memperkuat fiskal APBN terutama menghimpun penerimaan negara yang tinggi dan sustainable. Penerimaan tersebut, kata dia, digunakan sebagai dana buffer manakala jumlah orang miskin meningkat drastis saat inflasi tinggi terjadi.

Jika penerimaan cukup kuat, negara dapat memberikan tambahan bantuan sosial (bansos) agar daya beli kelompok masyarakat miskin dan rentan tak tergerus secara drastis.

Kedua, dengan mengendalikan impor terutama sektor makanan dan sektor energi. Achmad menilai, impor tak membuat ekonomi berkelanjutan. Bahkan, melalui impor, harga makanan dan harga energi akan sangat mahal karena mengikuti harga dunia yang mengalami kenaikan tinggi akibat konflik Ukraina-Rusia dan krisis energi di Uni Eropa.

Langkah berikutnya adalah dengan memperkuat ketahanan pangan dan energi melalui pemanfaatan sumber daya lahan secara efektif. Menurut dia, Indonesia perlu mendata jumlah lahan tak berguna dan mentransformasikan menjadi lahan pangan yang produktif. Langkah tersebut perlu disertai dengan efektifnya lembaga Badan Pangan Nasional yang memberikan data akurat terkait kondisi pangan Indonesia.

Kemudian, khusus ketahanan energi, Indonesia disarankan perlu mengakselerasi program D100 biodiesel dan konversi minyak nabati menjadi avtur, gasoline, dan solar. Saat ini Indonesia masih tergantung pada impor dari Singapura dan Timur Tengah sehingga perlu melakukan antisipasi manakala harga energi sudah tidak terbendung naik ke level US$200 per barel.

Yang jelas, keuangan negara atau dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih berperan sentral dalam menjaga perekonomian termasuk dari gempuran inflasi tinggi. Terutama menggenjot pendapatan dan memaksimalkan realisasi APBN.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button