Kanal

Mengapa Anies dan KPK Seperti Dijadikan Prometheus?

Oleh: Fernando Emas 

Prometheus adalah salah satu dari sekian banyak dewa yang dimiliki oleh orang Yunani. Prometheus merupakan dewa non-Olympian, namun dianggap sebagai dewa penting.

Prometheus sendiri dalam mitologi Yunani adalah manusia baik yang mencuri api milik raja diraja para dewa, Zeus, dan diberikannya kepada manusia.

Api—yang konon juga bisa ditafsirkan sebagai ilmu pengetahuan itu disembunyikan para dewa yang memang dekaden. Mereka tak ingin kaum manusia memiliki api yang bisa membuat dominasi para dewa berakhir. Zeus menghukum Prometheus dengan mengikatnya pada sebuah batu di gunung wilayah Kaukasia.

Selama dibelenggu di sana, perutnya digerogoti sampai habis oleh burung elang. Lukanya akan pulih untuk kembali digerogoti secara abadi.

Kisah Prometheus sendiri dimulai pada zaman para Titan, periode waktu sebelum munculnya Zeus dan dewa-dewa Olympian lainnya. Itu sebab, Prometheus adalah dewa Titan.

Prometheus putra dari generasi pertama Titan Iapetus dan Oceanid Clymene. Dia juga merupakan saudara dari Menoetius, Atlas dan Epimetheus. Masing-masing putra Iapetus memiliki kelebihan khusus.

Nama Prometheus dapat diterjemahkan sebagai pemikiran sedangkan nama Epimetheus berarti “renungan”. Prometheus lahir pada waktu para Titan memerintah, dengan Titan Cronus adalah dewa tertinggi di alam semesta. (seperti dikutip dalam tulisan, Mengapa Anies Dijadikan Promotheus?)

Selaras dengan hal itu, kisah Prometheus sendiri dapat kita analogikan seperti apa yang terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dan nasib yang melekat label politik identitas Anies Baswedan.

Kejadian persisnya, seperti keluhan atau curhatan dari Ketua KPK Firli Bahuri yang mengeluh lantaran dicurigai terkait pemanggilan Anies Baswedan di kasus Formula E.

Sejumlah pihak mengkritik KPK terkait pemanggilan Anies terkait kasus Formula E hingga muncul isu kriminalisasi. Boleh juga KPK merasakan stigma yang dibangun sistematis dan massif untuk kelangsungan kerja pembrantasan korupsi.

Pemanggilan Anies tersebut dikritik sejumlah pihak karena diduga politis dalam upaya penjegalan capres Anies, kesannya! Kembali ke cerita Mahfud MD, awalnya, Mahfud MD cerita Firli yang merasa isu pemanggilan Anies itu menjadi ribut hingga muncul tudingan menjegal Anies.

Penyematan Prometheus terhadap langkah KPK saat menangani dugaan korupsi kasus Formula E sendiri terjadi lantaran mencuatnya nada-nada sumir terkait dengan pemeriksaan kasus beraroma tak sedap dalam perhelatan balap mobil listrik tersebut.

Lembaga antirasuah pimpinan Firli Bahuri itu dianggap menjegal upaya pencapresan dari eks Gubernur DKI Jakarta tersebut pasca menangani kasus ini.

Serangan silih berganti datang para pendukung Anies saat lembaga antirasuah tersebut mulai merangsek masuk menangani kasus formula E. Hal ini membuat penanganan kasus Formula E sendiri mandek dan terkesan jalan di tempat.

Padahal KPK sendiri tidak mungkin bertindak dan melakukan penanganan sebuah perkara tanpa berdasarkan SOP yang jelas. KPK pasti masuk dan mulai menyelidiki suatu perkara dengan landasan serta pijakan hukum.

Persepsi publik yang menimpa KPK, selayak Anies yang mendapatkan labelisasi politik identitas. Mantan rektor Paramadina tersebut kerap diserang dengan labelisasi soal Politik identitas.

Mengutip tulisan Widdi Aswindi, Praktisi dan Penggiat Survei Publik, labelisasi Anies terhadap politik identitas tidak jelas datang dari mana. Yang pasti Anies kemudian ditelikung sebagai tokoh pengusung politik identitas.

Ujug-ujug saja ia ditahbiskan sebagai “Bapak Politik Identitas” bahkan tanpa argumentasi yang cukup masuk akal buat publik.

Nasib, Anies dan KPK serupa, meski kerap dihadap-hadapkan dan seolah dibentur-benturkan. Anies dan KPK saat ini layaknya Prometheus dewa non-Olympian yang memang terkesan dan dirasakan mereka seperti halnya terdampak bau kentut yang senyap dalam sebuah tongkrongan manusia, tercium bau tapi saling tuding siapa yang menghembuskan aroma tak sedap!

Demokrasi tanpa akal dan risiko ibarat bacaan yang menjadi sindiran Anies, “How Democracies Die, Demokrasi Telah Mati?

Fernando Emas adalah Direktur Rumah Politik Indonesia & Akademisi Universitas 17 Agustus 1945

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button