Hangout

Mengenang Cormac McCarthy Setelah Sang Pengarang Pergi

Satu lagi penulis besar, yang menggedor kesadaran kita akan dunia yang penuh cacat cela dan kekerasan, Cormac McCarthy, telah berpulang. Ia pernah disebut sebagai salah satu dari empat novelis besar Amerika pada masanya, bersama Philip Roth, Don DeLillo dan Thomas Pynchon. Kritikus Harold Bloom menyebut novel McCarthy “Blood Meridian” (1985), “buku terbesar sejak terbitnya “As I Lay Dying” karya William Faulkner.

Baru Selasa, 13 Juni lalu, ia berpulang. Pergi pada usia 89, di saat di beberapa bagian bumi buku mulai ditinggalkan orang. Tetapi kaum terpelajar mana yang bisa melupakan McCarthy, penulis 12 novel serta sekian banyak skenario film dan naskah drama itu? Di sini ia dikenal melalui setidaknya tiga novelnya yang telah difilmkan, “All the Pretty Horses”, “The Road”, dan film pemenang Oscar, “No Country for Old Men”.

Mungkin anda suka

McCarthy yang dikenal sebagai sebagai penulis cerita dengan setting wilayah Appalachia dan area barat-daya Amerika, selain banyak menulis novel ‘post- apocalyptic’, adalah pribadi yang tertutup. Karya-karya fiksi Mc Carthy senantiasa mengambil sisi gelap tentang kondisi manusia, dan seringkali mengerikan. Dia menghiasi novelnya dengan scalpings (pengambilan kulit kepala yang menjadi budaya Indian ratusan tahun lalu), pemenggalan, pembakaran, pemerkosaan, incest, necrophilia (kesukaan tak normal untuk berhubungan intim dengan mayat) dan kanibalisme.

“Tidak ada kehidupan tanpa pertumpahan darah,” katanya kepada The New York Times, dalam sebuah wawancara langka di 1992. “Menurut saya gagasan bahwa spesies ini dapat diperbaiki dengan cara tertentu, bahwa setiap orang dapat hidup dalam harmoni, adalah gagasan yang sangat berbahaya,”kata dia.

Karakter-karakter dalam novelnya pun tergolong ‘’outsiders”, seperti juga penulisnya. Dia memilih hidup tenang di New Meksiko, dan cenderung menjauhi arus utama sastra dan para pegiatnya. Meskipun tidak terlalu tertutup seperti Thomas Pynchon, McCarthy tidak pernah menulis uraian untuk sampul buku penulis lain. Dia juga tidak pernah membuka kelas jurnalisme atau mengajar menulis, dan hanya memberi sedikit wawancara.

Yang khas, McCarthy jarang menggunakan tanda baca, bahkan mengganti sebagian besar koma dengan “dan”, untuk menciptakan polysyndetons (kiasan yang mengacu pada beberapa konjungsi, terutama yang sama, secara cepat). Yang ganjil, dia tidak menggunakan tanda kutip untuk dialog. Erik Hage—kritikus sastra dan penulis ulasan buku pada Harvard Review Online–mencatat bahwa dialog McCarthy sering kekurangan atribusi, tetapi , “Entah bagaimana … pembaca tetap berorientasi pada siapa yang berbicara.”

Namun demikian, Saul Bellow—sastrawan AS peraih Hadiah Pulitzer, Nobel Sastra, dan National Medal of Arts, serta satu-satunya penulis yang memenangkan National Book Award for Fiction tiga kali berturut-turut–memuji “penggunaan bahasanya yang sangat kuat dan “mematikan”. Sementara Richard B. Woodward—penulis kritik seni untuk The New York Times,  menggambarkan tulisannya sebagai “mengingatkan pada gaya-gaya Ernest Hemingway di awal kariernya.” Namun, tidak seperti karya-karya sebelumnya seperti “Suttree” dan “Blood Meridian”, sebagian besar karya McCarthy setelah 1993 menggunakan kosa kata yang sederhana dan terbatas.

Orang Indonesia tampaknya mengenal McCarthy dari tiga novelnya. Dari “All the Pretty Horses,” yang memenangkan Penghargaan Buku Nasional AS pada 1992, juga “The Road” yang memenangkan Hadiah Pulitzer pada 2007, serta “No Country for Old Men,” yang memenangkan Academy Award untuk film terbaik pada tahun 2008. Film yang disutradarai Joel dan Ethan Coen itu segera memberi citra dunia kepada aktor Javier Bardem, sebagai pembunuh bayaran nihilistic, yang memilih menggunakan pistol baut pneumatik yang biasa digunakan untuk ternak saat mengirim korbannya ke alam barzakh.

Oh ya, McCarthy sendiri dalam beberapa tahun terakhir banyak dibahas sebagai calon pemenang Hadiah Nobel Sastra. Kritikus Harold Bloom menamainya sebagai salah satu dari empat novelis besar Amerika pada masanya, bersama Philip Roth, Don DeLillo dan Thomas Pynchon. Bloom juga menyebut novel McCarthy “Blood Meridian” (1985), mimpi buruk orang Barat,  dan “buku terbesar sejak  “As I Lay Dying” karya William Faulkner.

Dari 12 novelnya, The New York Times mencatat ada tujuh yang ‘’istimewa’. Ketujuh novel itu adalah :

Suttree” (1979)

Banyak cendikiawan menganggap buku ini sebagai novel Selatan terbesar McCarthy. The New York Times menulis, buku itu bercerita tentang kehidupan karakter yang menjadi judul buku di sepanjang Sungai Tennessee, dalam semangat “Huckleberry Finn yang terkutuk”. Setelah meninggalkan kehidupannya yang istimewa, Suttree menghabiskan hari-harinya dengan memancing, memasuki dalaman kota Knoxville yang kumuh untuk bergaul dengan para pemabuk, penipu, dan orang-orang aneh. Usahanya untuk terhubung secara lebih bermakna dengan orang lain selalu berakhir dengan bencana. Dengan hampir 500 halaman, novel ala piqaresque—prosa fiksi yang menggambarkan petualangan seorang nakal, tetapi “pahlawan yang menarik” dari kelas sosial rendah—itu adalah novel McCarthy terpanjang, dan mencerminkan ketinggian humor sinisnya.

Pada sebuah ulasan di The Times (NYT), 1979, salah seorang penulis besar AS era ini, Jerome Charyn, menulis bahwa,“Buku ini datang kepada kita seperti banjir yang mengerikan. Bahasanya menjilat, memukul, melukai, penuh dengan puing-puing puitis yang bermasalah.” (Sutree) adalah pribadi tangguh, tanpa kerapian yang membosankan. McCarthy hanya memiliki sedikit belas kasihan, untuk karakternya itu atau dirinya sendiri.”

“Blood Meridian” (1985)

Epik bumi hangus ini secara luas dielu-elukan sebagai mahakarya McCarthy. Sebuah kisah yang menantang dan penuh kekerasan dari seorang pengembara remaja yang dikenal sebagai “anak”, yang melintasi Amerika Selatan dan ke Meksiko pada pertengahan abad ke-19 . Sepanjang jalan, dia bergabung dengan psikotik Glanton geng, pemburu kulit kepala yang awalnya berkomitmen untuk menangkis serangan Apache tetapi malah berbalik untuk membunuh tanpa pandang bulu hampir setiap orang Indian atau Meksiko yang mereka temui.

Tema berat novel ini-–Manifest Destiny, kemenangan nihilisme atas moralitas-– dilengkapi dengan citra dan kalimat yang tak terlupakan, seluas langit gurun.

“All The Pretty Horses” (1992)

Buku ini adalah angsuran pertama trilogi perbatasan McCarthy, yang meliputi “The Crossing” (1994) dan “Cities of the Plain” (1998). Ini pun ditengarai sebagai novel terobosannya secara komersial. Kisah seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang berkendara ke Meksiko dengan seorang teman setelah diusir dari peternakan di Texas tempat dia dibesarkan. Novel ini memiliki kualitas elegi dan tutur kata yang sederhana, yang sebagian besar tidak dimiliki oleh fiksi McCarthy sebelumnya,  yang kasar penuh duri.

“All…” adalah novel yang mengharukan, tetapi tidak sentimental, tentang kesadaran manusia, tentang lanskap alam, tentang kuda, dan tentang perpindahan yang terlibat dalam pergerakan Amerika ke arah barat.

“No Country for Old Men” (2005)

Novel McCarthy ini diubah menjadi film yang tak akan terhapuskan dari ingatan public oleh Coen Brothers. Di luar itu, buku ini adalah sepotong cerita yang berani, sangat layak untuk ditinjau ulang. Bercerita tentang kesepakatan penjualan narkoba yang salah, di saat Joe menemukan lebih dari 2 juta dolar dalam tas kulit.

Buku ini juga bercerita tentang sheriff kota kecil yang meditative, serta pembunuh brutal, Anton Chigurh, yang mengirim korbannya dengan senjata ternak pneumatik. “No Country for Old Men” tak hanya benar-benat mengerikan, namun juga liris, meliputi meditasi gelap berlumur darah tentang kekerasan yang dilakukan manusia terhadap manusia. Novel ini disebut-sebut merupakan karya McCarthy yang paling mudah dibaca.

“The Road” (2006)

Novel postapocalyptic penuh renungan ini merinci perjalanan seorang ayah dan putranya yang masih kecil, setelah bencana alam besar yang tidak ditentukan kapan terjadinya. Mereka menghadapi horor demi horor, tetapi novel ini juga memilukan dalam sisi kemanusiaannya.

“Pekerjaanku adalah menjagamu,” kata pria itu kepada bocah itu. “Ayah ditunjuk untuk melakukan itu oleh Tuhan. Ayah akan membunuh siapa saja yang menyentuhmu.” Di akhir novel, tampaknya sang ayah juga akan mati. Novel yang dianugerahi Pulitzer ini sangat manusiawi, sekaligus mengerikan.

“The Passenger” dan “Stella Maris” (2022)

Enam belas tahun setelah “The Road”, McCarthy merilis dua novel baru yang sangat berbeda dari apa pun yang pernah dia terbitkan. Karya-karyanya ini mengeksplorasi bidang studi ilmiah dan metafisik misterius yang telah lama menjadi obsesi McCarthy: fisika kuantum, filosofi matematika, dan teori tentang sifat kesadaran.

Dalam “The Passenger,” McCarthy menceritakan kisah tragis Bobby Western, seorang penyelam dan penyelamat, yang dihantui oleh kehilangan saudara perempuannya Alicia, seorang jenius matematika yang cantik dan bermasalah, yang meninggal karena bunuh diri.

Sebuah novel pendamping, “Stella Maris,” berfokus pada Alicia, dengan narasi yang terungkap sebagai dialog antara Alicia dan dokternya di sebuah rumah sakit jiwa di Wisconsin pada tahun 1972. Dalam percakapan mereka, Alicia mengungkapkan bagaimana pengejarannya terhadap teori matematika revolusioner membuatnya bertanya-tanya akan realitas, dan membuatnya gila.

“Membaca “Stella Maris” setelah ‘The Passenger’ seperti mencoba mempertahan-kan mimpi yang Anda alami,” tulis Dwight Garner, kritikus The New York Times. “Ini adalah mimpi yang luar biasa dan meresahkan, selaras dengan alam semesta yang statis.” [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button