Kanal

Mengenang Rizal Ramli, Si Raja Kritik

Keberanian Rizal Ramli itu tidak datang tiba-tiba. Dia adalah aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1977/1978 yang suka demonstrasi. Idealisme Rizal Ramli menggelegak setiap kali menyaksikan kehidupan bangsanya tidak baik-baik saja. Dia kritis, dan itu mendarah daging. Bahkan tatkala menjadi Menko Kemaritiman (2015-2016), Rizal Ramli tetap kritis dari dalam Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla.

 

Mungkin anda suka

Oleh    :  Moh. Samsul Arifin

–Aktif di Koperasi IDE, mantan produser eksekutif Beritasatu TV, pemerhati demokrasi—

 

Saya tidak dekat dengan almarhum Rizal Ramli (RR) atau Bang Rizal. Tapi, dua bulan setengah sebelum beliau wafat, pertengahan Oktober 2023 lalu, saya pernah mewawancarainya untuk dokumenter “Belenggu Demokrasi Kriminal”, produksi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Ini melengkapi pertemuan dengannya, kurang dari lima kali antara 2015-2022, saat saya menjadi produser di sebuah televisi swasta. Sebagai ekonom kelas satu, aktivis pro-demokrasi dan kritikus ulung, Rizal Ramli membetot perhatian, terlebih bagi media massa.

Buat saya, pertemuan terakhir dengan Bang Rizal di rumahnya, di Jalan Bangka, Jakarta Selatan, sangat membekas. Waktu itu badannya sudah kurus. Baju yang dikenakannya agak longgar, mungkin lantaran berat badannya susut. Namun, saya sungkan untuk menanyakan soal-soal yang berkaitan dengan tubuh. Walau begitu, ada pertanyaan menggantung di benak saya, “Ada apa dengan RR?”

Pertanyaan itu baru terjawab pada Selasa malam, 2 Januari 2024 ketika kabar lelayu tiba. RR meninggal karena sakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Belakangan diumumkan bahwa Bang Rizal meninggal karena kanker. Kanker adalah jenis “penyakit diam”, sering kali baru terdeteksi ketika sel-sel kanker telah masuk stadium akhir.

Kanker adalah penyakit kuno, yang kata Siddharta Mukherjee dalam “The Emperor of All Maladies”, dulu dibicarakan dengan berbisik-bisik, dirahasiakan. Lalu bermetamorfosis menjadi sesuatu yang mematikan, dan terus berubah bentuk. (Buku ini diterjemahkan Kepustakaan Populer Gramedia menjadi “Kanker, Biografi Suatu Penyakit”, 2020). Dan kalau pun ada kemajuan penting dalam pengobatan kanker, sampai kini bangsa manusia belum menang perang melawannya, meski telah bertempur selama ribuan tahun.

                                                          **

Perjuangan Bang Rizal melawan kanker mungkin singkat. Tapi, tidak dengan perjuangan panjang dan terbesarnya, yaitu menegakkan demokrasi serta tujuan berdemokrasi, dan mencapai kehidupan sejahtera, makmur dan adil. Itulah bagian terbesar perjuangan Rizal selama 69 tahun hidupnya. Dalam percakapan santai di rumahnya, usai rekaman wawancara, 12 Oktober 2023, dia bercerita banyak tentang soal-soal yang mempertautkan Bang Rizal dengan Republik. 

Dari sekian cerita itu, dua hal yang layak dibagi. Pertama, ekonom yang reputasinya disegani dunia internasional itu ternyata adalah aktor di belakang layar yang ikut menentukan pergerakan politik 1997/1998. Dia yang meyakinkan sejumlah tokoh reformasi, bahkan petinggi media massa terkemuka, bahwa rezim otoritarianisme Orde Baru harus diakhiri. 

Selepas 50 tahun Indonesia Merdeka, 1995, Soeharto masih digjaya. Bahkan pada 1997, Soeharto yang menunjukkan gelagat emoh menjadi presiden lagi, “dipaksa” (atau dijerumuskan) oleh lingkaran dalam kekuasaannya untuk maju lagi dalam Pemilu 1997. Alhasil Soeharto terpilih kembali menjadi presiden lewat Pemilu 1997. Di masa jayanya, siapa yang berani melawan Soeharto? Tapi, kata Bang Rizal, dia meyakinkan sejumlah tokoh yang ditemui bahwa “waktunya telah tiba” dan Soeharto harus dilawan.

Saya kira, keberanian Rizal Ramli itu tidak datang tiba-tiba. Dia adalah aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1977/1978 yang suka demonstrasi. Idealisme Rizal Ramli menggelegak setiap kali menyaksikan kehidupan bangsanya tidak baik-baik saja. Dia kritis, dan itu mendarah daging. Bahkan tatkala menjadi Menko Kemaritiman (2015-2016), Rizal Ramli tetap kritis dari dalam Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Beberapa kali dia terlibat polemik dengan anggota kabinet, tidak terkecuali dengan Wakil Presiden. Salah satunya soal megaproyek listrik 35 ribu megawatt. Bagi Rizal Ramli saat itu, proyek ini kelewat muluk, berlebihan, dan tidak realistis. Karena itu dia minta agar proyek dievaluasi. Menurutnya membangun proyek 18 ribu Megawatt saja sudah luar biasa. Di kemudian hari, apa yang dikatakan Rizal Ramli terbukti benar. PLN surplus listrik, dan bingung tenaga listrik itu mau dikemanakan. Terlebih saat merebak Pandemi COVID-19 antara 2020-2022, aktivitas ekonomi melambat, bahkan kita terbelit resesi sehingga permintaan listrik melorot tajam. 

Lantaran suka bikin gaduh, Rizal Ramli cuma setahun berada di kabinet. Presiden Jokowi mencopotnya pada 27 Juli 2016. Bang Rizal kembali berada di luar kekuasaan, dan melakoni peran yang selama ini digelutinya: menjadi oposisi. 

Kedua, Rizal Ramli selalu teguh dalam menampik dan menghindari “konflik kepentingan”. Itulah mengapa dia menolak pengusaha yang merangkap menjadi penguasa. Dia menyebutnya “Peng-peng”, alias pengusaha yang sekaligus penguasa atau sebaliknya. Baginya, seorang tokoh yang berada di kekuasaan (pemerintahan) lebih baik tidak merangkap menjadi pengusaha. Sebab, ketika berada dalam kekuasaan dia memegang kuasa (power) dalam bentuk kebijakan dan pengaruh. Otoritas itu bisa saja disalahgunakan, sehingga menerbitkan keuntungan secara langsung atau tidak langsung pada kegiatan bisnis pejabat yang sekaligus menjadi pengusaha itu. Karena itu konflik kepentingan sebaiknya dihindari sebab negeri kita telah berurusan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) bahkan sejak Orde Baru.

Etika dan moralitas tadi dijaga betul. Saking lurusnya, Rizal Ramli menolak fasilitas uang pensiun menteri. Bagi Rizal, jabatan (menjadi menteri) itu hanya amanah–begitu seperti diutarakan anggota tim komunikasinya, Yosef Sampurna Nggarang. Dia bukan tipe pejabat “aji mumpung”. Sebaliknya, ia meletakkan diri sebagai pejabat publik yang menahan diri untuk tidak membebani uang negara—yang notabene dikumpulkan dari pajak warga negara.

Berkaitan dengan amanah itu, usai wawancara dengannya, Bang Rizal memberikan satu buku kepada saya. Judulnya, “Pemimpin Amanah, From Trusted Leader to Transformative Changes”. Buku karya Iryan Ali Herdiansyah ini tak lain memotret seni memimpin ala Rizal Ramli. Salah satu yang diungkap di buku ini adalah “Noblesse Oblige” (bahasa Perancis, kewajiban kaum bangsawan/elite)—seorang elite itu punya tanggung jawab pada masyarakat di bawah. Dan itulah yang dipegang Rizal Ramli saat menjabat di pemerintahan, aktivis, ekonom dan intelektual: mengerahkan kemampuan dan pengetahuan untuk membantu orang lain sebagai bentuk rasa cinta dan tanggung jawab sebagai pemimpin. 

Alangkah baiknya jika pemimpin negara mengerahkan kemampuan dan pengetahuan untuk kemaslahatan rakyat. Sebab, kekuasaan yang dititipkan rakyat kepada sang pemimpin adalah amanah dari rakyat yang harus ditunaikan serta diper-tanggungjawabkan.

Namun, Rizal Ramli masygul sebab Pemilihan Umum sebagai pesta demokrasi, arena Candradimuka untuk mencari pemimpin terbaik dan Amanah, telah dibelenggu aturan. Misalnya presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Sejak 2009, ambang batasnya telah naik menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. 

Bang Rizal menentang aturan ini, dan  mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar menghapusnya pada 2020 lalu, ketika negeri kita dikoyak Pandemi COVID– 19. Baginya, aturan ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya prosedural, tapi telah menjadi “demokrasi kriminal”. Undang-undang Pemilu membatasi warga negara untuk bermimpi dan berkontestasi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya dibatasi dengan kuota, di mana peran partai politik sangat dominan.

Bang Rizal menegaskan aturan ini punya dampak buruk bagi politik Indonesia, yaitu jual beli “perahu” partai menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah. Asal tahu saja, bukan hanya Pilpres yang terikat dengan threshold. Pilkada pun begitu. UU 10/2016 tentang Pilkada mensyaratkan calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota harus didukung oleh partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di DPRD. 

Yang rada lumayan, dan itu tidak berlaku di Pilpres, calon independen dapat mengajukan diri dalam Pilkada jika memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.

“Mengapa saya berani mengatakan itu karena untuk jadi gubernur, bupati, wali kota harus membayar partai. Dan itu mahal sekali. Misalnya, untuk maju, seorang calon bupati mesti dapat dukungan suara 20 persen itu dari tiga partai. Kalau masing-masing partai minta antara Rp 10-20 miliar, jadinya perlu Rp 60 miliar untuk membeli suara partai. Kalau gubernur bisa Rp100 miliar, di DKI itu Rp300 miliar,” kata Rizal, saat kami mewawancarainya untuk dokumenter “Belenggu Demokrasi Kriminal”.

Ketika aturannya membelenggu, calon pemimpin tersandera partai politik. Sering kali biaya politik yang tinggi menyuburkan praktik korupsi. Itulah yang menurut Rizal Ramli menyebabkan ratusan kepala daerah, bupati, gubernur, wali kota menjadi tersangka kasus korupsi sejak Pilkada langsung dilaksanakan 2005 lalu. Dan untuk membuat perubahan yang sistematis, tidak bisa tidak aturan menyangkut ambang batas dalam pencalonan presiden/wakil presiden serta kepala daerah wajib itu dihapus. “Tidak ada negara demokratis yang menggunakan threshold,”kata peraih PhD dari Universitas Boston, Amerika Serikat, itu.

Sebaliknya dengan tak adanya ambang batas, seleksi kepemimpinan di dalam partai dan negara berlangsung kompetitif. Pikiran dan pandangan menyangkut threshold adalah absurd, terlebih jika itu diniatkan untuk menghalangi tampilnya sosok non-partai mendapat tiket menuju panggung Pilpres. Konstitusi kita (UUD 1945) menyebutkan pencalonan presiden dan wakil presiden harus melalui partai atau gabungan partai politik, dan bukan menetapkan threshold yang dapat menjadi pintu masuk kekuatan oligarki di dalam dan di luar partai politik menguasai kandidasi.

Rizal Ramli, sang kritikus ulung, itu telah pergi. Tapi, tidak dengan nilai-nilai yang diperjuangkan. Ia bakal abadi dan menjadi kaca benggala untuk generasi sekarang dan mendatang yang ingin demokrasi tegak dan kehidupan rakyat lebih sejahtera.

                                                         **

“Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.

Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.”

Sajak “Sebatang Lisong” karya WS Rendra itu, kata Rizal Ramli, dibuat penyair flamboyan tadi untuk mendukung Gerakan Anti Kebodohan yang diorganisasinya bersama Dewan Mahasiswa se-Bandung tahun 1977. Itulah kepedulian Rizal Ramli dkk atas muramnya kondisi pendidikan nasional, ketika delapan juta anak usia SD tidak bisa sekolah. Hasilnya pemerintah mendengar teriakan mahasisawa dan membuat UU Wajib Belajar Enam tahun.   Alfatihah. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button