Market

Migor Langka, Ekonom UI: Hati-hati Terapkan Aturan HET

Ekonom UI, Vid Adrison mengatakan, kelangkaan minyak goreng (migor) kemasan pada 2022 tidak ada kaitannya dengan kartel. Namun bisa lantaran kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang tak terukur.

Hal itu disampaikan Vid saat memberikan paparan sebagai ahli dalam persidangan dugaan kartel minyak goreng di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dikutip Rabu (8/2/2022).

Dirinya menyarankan agar pemerintah cermat dan hati-hati dalam menetapkan aturan harga eceran tertinggi atau HET. Langkah intervensi pasar ini bisa saja malah menciptakan bumerang yang menimbulkan masalah baru.

“Ketika pemerintah menetapkan HET yang jauh di bawah harga produksi, berarti pemerintah memaksa produsen untuk menjual rugi. Siapa yang mau merugi? Jadi, pilihan yang masuk akal adalah menghentikan produksi,” kata Vid.

Vid menerangkan, pada 2022, pemerintah pernah menjanjikan adanya penggantian selisih harga (refraksi) kepada pelaku usaha. Namun, bagi pelaku usaha, hal itu tidak serta merta memberikan jaminan kepastian.

“Perlu dilihat berapa besar biaya selisih harga yang akan dibayarkan pemerintah. Seandainya biaya penggantian yang dibayarkan bisa menutupi ongkos produksi, tetap perlu dilihat dalam jangka berapa lama akan dibayarkan. Apakah satu bulan, enam bulan atau kapan? Ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” tutur Vid.

Menurut Vid, masalah kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng murni disebabkan kebijakan pemerintah mengintervensi pasar dengan mengeluarkan peraturan yang berubah-ubah yang justru tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian. Ketimbang mengatur harga, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui program bantuan langsung tunai (BLT).

“Saya lebih setuju kalau kebijakan yang diambil adalah cash transfer melalui pemberian BLT ke masyarakat, bukan dengan menetapkan HET. Dengan begitu, produsen tetap berproduksi tanpa merugi sehingga pasokan terjaga. Sementara masyarakat tetap mampu membeli walaupun ada kenaikan harga,” jelasnya.

Vid juga menilai, dugaan adanya kesepakatan pelaku usaha untuk menaikkan harga minyak goreng sulit dibuktikan. Adanya keseragaman harga tidak serta merta menjadi bukti adanya kesepakatan di antara produsen dalam menetapkan harga karena ada faktor-faktor umum yang menjadi pembentuk harga.

Misalnya, nilai tukar dan bahan baku yang sama yang digunakan oleh para produsen. Apalagi, dugaan kesepakatan ini melibatkan banyak sekali pihak.  Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Para terlapor dituding melanggar atas dua hal, yaitu membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022. Perbuatan para terlapor diduga menyebabkan kelangkaan minyak goreng kemasan di pasar domestik.

Mantan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan, menyampaikan, kelangkaan minyak goreng disebabkan kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa dalam mengatur pasar tanpa ada badan atau lembaga khusus yang menanganinya, seperti Perum Bulog. Terbukti Permendag 11/2022 diterbitkan pada 16 Maret 2022 untuk mencabut peraturan HET (Permendag 6/2022), keesokan harinya minyak goreng langsung tersedia di pasar.

Selain itu, kelangkaan minyak goreng juga disebabkan oleh gangguan distribusi yang kendalinya tidak berada di pihak produsen. Menurut Oke, berdasarkan data dashboard Kemendag yang berisi self declaration pelaku usaha mengenai realisasi DMO, selama kurun Januari-Maret 2022 produsen dan ekportir sudah menyalurkan minyak goreng ke distributor utama (D1). Namun, barang itu ternyata tidak ada di pasar sehingga hal ini menunjukkan ada masalah di level distribusi di bawahnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button