News

Mobil Listrik di Indonesia, Solusi Palsu untuk Kebaikan Lingkungan

Bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan belum lama ini mengkritik kebijakan pemerintah terkait pemberian subsidi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sehubungan dengan percepatan percepatan program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai (KLBB).

Bagi mantan Gubernur DKI Jakarta ini, upaya pemerintah menggenjot industri mobil listrik melalui pemberian subsidi bukan solusi masalah lingkungan hidup seperti polusi udara, terlebih ketika pemilik kendaraan listrik adalah kalangan yang tidak memerlukan subsidi.

Mungkin anda suka

Anies menyebut emisi karbon mobil listrik per kapita per kilometer lebih tinggi dari emisi karbon bus berbahan bakar minyak (BBM). “Kenapa itu bisa terjadi? Karena bus memuat orang banyak sementara mobil (listrik) memuat orang sedikit,” ujar Anies pada Mei 2023 lalu.

Lantas dia juga menceritakan pengalamannya saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI. Menurut Anies, pemberian subsidi yang kurang tepat justru hanya akan menambah kemacetan di jalanan. Jadi, Anies menekankan, yang didorong ke depan adalah demokratisasi sumber daya yang diarahkan agar sumber daya yang dimiliki negara diberikan melalui sektor-sektor yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat banyak. “Bukan semata-mata mendapatkan perhatian dalam percakapan sosial media.”

Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Fanny Tri Jambore Christanto menyoroti program kendaraan listrik sebenarnya tidak menjadi solusi bagi transisi energi di Tanah Air yang lebih baik.

“Karena kan kita tahu bahwa untuk upaya pengembangan kendaraan listrik itu (perlu) berbagai bahan ekstraksi di dalam, akhirnya semakin banyak kebutuhan pengembangan kendaraan listrik kebutuhan ekstraksinya juga semakin luas,” ujar Fanny kepada Inilah.com di Jakarta, dikutip Minggu (18/6/2023).

Artinya, menurut Fanny, akhir pada hulu dari kebutuhan material ini adalah bahan-bahan pertambangan yang sekarang di dunia ada berbagai macam bahan mineral yang ditambang untuk berbagai kebutuhan. “Baik nikel, litium, jadi semakin banyak pengembangannya justru akan semakin mengarah kepada kerusakan lingkungan, ketimbang transisi energi yang lebih baik,” terangnya.

Ia pun menggarisbawahi bahwa sebenarnya tujuan transisi energi itu untuk menurunkan emisi, namun kalau ekstraksi nikel semakin luas akibat kebutuhan kendaraan listrik ini maka artinya semakin banyak lahan akan dialihfungsikan menjadi pertambangan.

Fanny kemudian menyampaikan contoh kasus di Indonesia, yaitu untuk kebutuhan nikel dari satu juta lahan konsesi yang diberikan oleh pemerintah seluas 700 ribu hektare di antaranya ada di dalam kawasan hutan. Jadi, kalau Kawasan hutan ini dibuka, pasti melepaskan emisi yang besar.

Dalam hitungan Walhi, misalnya kalau dari tahun kemarin bila seluruh wilayah konsesi pertambangan itu dialihfungsikan menjadi pertambangan nikel maka sekitar 83 juta ton CO2 atau karbon dioksida akan dilepas.

Dan itu jumlah yang sangat besar, belum lagi kalau kemudian menghitung seluruh proses produksi nikel itu kalau di Indonesia juga masih menggunakan batu bara yang mana juga bagian dari radiofosil yang melepaskan emisi besar.

Walhi mencermati jumlah tersebut sangat besar. Belum lagi bila kemudian menghitung seluruh proses produksi nikel kalau di Indonesia juga masih menggunakan batu bara yang juga bagian dari bahan bakar fosil yang melepaskan emisi besar.

Lebih jauh Fanny membenarkan kritikan yang dilontarkan Anies terhadap kebijakan pemerintah tersebut. “Ya itu betul, tapi belum sepenuhnya atau belum luas apa yang coba diunjukkan dari problem mobil listrik, itu baru hanya di bagian user, pemakai. Belum sampai kepada problem hulu dari mobil listrik,” jelasnya.

Adapun pengamat bidang energi Syamsu Daliend mempertanyakan apakah Indonesia sudah siap beralih ke kendaraan yang berbasis listrik. Menurut Syamsu, kalau bicara kendaraan listrik, yang perlu dilihat itu berarti listrik pengganti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) atau Pompa Bensin alias Pom Bensin.

Persoalannya, ujar Syamsu menegaskan, yang perlu dipertanyakan kemudian adalah pembangkit listrik yang ada di Indonesia jenisnya apa. “Sampai saat ini dalam energy mix hampir lebih kurang 65 persen, bahkan 70 persen itu pembangkit listrik kita dari batu bara,” kata Syamsu kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (18/6/2023).

Otomatis, kata dia, kalau pun berpindah kepada transportasi listrik, polusi memang tidak berkurang karena di Indonesia memakai pembangkitnya dari batu bara.

“ Jadi ada benarnya kalau kita beralih ke mobil listrik, kalau kita melihat dari concern kita ke lingkungan, maka masalah pencemaran tidak serta merta menjadi berkurang, kan begitu. Karena tadi, karena listrik yang di kita ini dihasilkan dari pembangkit yang berasal dari batu bara,” tutur Syamsu.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button