Terkait Incremental Capital Output Ratio (ICOR), ada yang salah kaprah dari pernyataan Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023).
“Saat debat Cawapres, Gibran bilang “Kita ingin indeks ICOR kita turun ke 4 persen hingga 5 persen, sehingga investasi akan naik dan menumbuhkan trust dari calon investor,” kata Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, Jakarta, Selasa (26/12/2023).
Menurut Anthony, pernyataan anak sulung Presiden Jokowi yang masih menjabat Wali Kota Solo itu, jelas kesalahan fatal. “Pernyataan ini sangat keliru, dan merupakan kesalahan sangat fatal. Dengan kualitas seperti ini, terbayang nasib suram bangsa Indonesia,” kata Anthony.
Alasannya, kata Anthony, pertama, ICOR merupakan angka rasio, bukan persentase. Seharusnya disebut dalam angka bulat, bukan persentase.
Kedua, kata dia, investasi identik dengan incremental capital yang menentukan tambahan output produksi (ekonomi). Di mana, incremental output. Ketiga, rasio keduanya, investasi (incremental capital) dan penambahan output (incremental output), dinamakan ICOR (Incremental Capital Output Ratio).
“Artinya, indeks ICOR bukan penentu investasi. Itu terbalik, Yang betul, investasi dan output itu, menentukan ICOR. Karena itu, pernyataan ICOR turun maka investasi akan naik, namanya asal bunyi atau asbun, alias zonk,” tandasnya.
Asal tahu saja, semakin tinggi angka ICOR maka semakin tidak efisiens sebuah investasi. Dari masa ke masa, angka ICOR berbeda. Celakanya, kepemimpinan Jokowi yang gencar membangun atau investasi, justru tinggi angka ICOR-nya. Artinya semakin tidak efisien atau besar kebocorannya. Jangan heran jika korupsi lebih marak.
Di era SBY, angka ICOR berada di kisaran 4,5 persen. Sedangkan zaman jokowi melejit di kisaran 6,2 persen-6,5 persen.
Untuk kawasan ASEAN, ICOR Indonesia cukup tinggi (terburuk). Di mana Malaysia dengan ICOR 4,5; Filipina 3,7; Thailand 4,4; dan Vietnam dengan ICOR 4,6.
Beri Komentar (menggunakan Facebook)