Market

Peringati Hari Tani, Partai Buruh Tagih Janji Jokowi Soal Redistribusi Lahan 9 Juta Hektare

Memperingati Hari Tani Nasional (HTN) ke-63 yang jatuh pada 24 September, Partai Buruh memberikan sejumlah catatan kritis kepada pemerintahan Jokowi.

Ketua Dewan Penasihat Partai Buruh, Henry Saragih, memberikan sejumlah catatan kritis terkait nasib petani di era Jokowi. Mulai dari belum terlaksananya janji Jokowi terkait redistribusi 9 juta hektare tanah kepada petani, konflik agraria yang semakin masif, pelemahan reforma agraria lewat UU Cipta Kerja, hingga persoalan klasik seperti kemiskinan, kesejahteraan dan harga pangan yang melambung tinggi.

“Hari Tani diperingati bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960), yang menjadi dasar hukum pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia,” ujar Henry, Jakarta, Jumat (22/9/2023).

“Partai Buruh sebagai partai persatuan perjuangan rakyat, menjadikan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai bagian dari 13 platform perjuangan partai. Partai Buruh meyakini bahwa perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, dengan redistribusi melalui reforma agraria, merupakan jalan untuk mewujudkan negara sejahtera, di mana kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud,” tambah Henry.

Akan tetapi, lanjut Henry, 63 tahun sejak ditetapkannya UUPA pada 1960, persoalan klasik masih terus menghantui petani dan sejumlah masyarakat, baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan. Meskipun Indonesia telah berganti-ganti nakhoda kepemimpinan dan juga kebijakan.

“Presiden Jokowi yang meletakkan Reforma Agraria sebagai agenda politik nasional, untuk mengentaskan kemiskinan dengan menargetkan seluas 9 juta hektare (4,5 juta hektar redistribusi tanah dan 4,5 juta hektar dalam bentuk legalisasi), namun belum terealisasikan setengahnya, hingga masa jabatannya menyisakan waktu satu tahun lamanya,” kata Henry.

Henry mengatakan, redistribusi tanah yang berasal dari tanah eks-HGU, tanah telantar dan tanah negara lainnya, baru terealisasi 1,33 juta hektare. Dari pelepasan kawasan hutan baru tercapai 0,348 juta hektare. Sehingga, total redistribusi baru 1,67 juta hektare. Atau hanya 35 persen dari target 4,5 juta hektare. Padahal, Jokowi sudah keluarkan Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Selain itu, Henry menyoroti persoalan konflik agraria yang semakin masif. Di mana, Komnas HAM, mencatat adanya 623 aduan terkait konflik agraria dalam kurun waktu Januari-Agustus 2023. Secara khusus, di masa pemerintahan Jokowi, kebijakan pembangunan yang bias kepentingan menambah subur konflik agraria.

“Reforma Agraria yang belum berjalan sesuai dengan UUPA 1960 berdampak pada semakin tingginya kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2018), mayoritas petani Indonesia merupakan petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar/keluarga tani, sebaliknya, penguasaan dan kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi pada segelintir orang/pihak/kelompok saja,” kata Henry.

Kemudian, lanjut Henry, lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, rupanya tak hanya memukul kaum buruh semata, melainkan juga berimbas kepada petani. Sebab, telah mengukuhkan kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi dalam merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.

“Kasus perampasan tanah terbaru dengan legitimasi UU Cipta Kerja terjadi di Pulau Rempang, Prov. Kepulauan Riau, di mana Rakyat Pulau Rempang termasuk masyarakat adat yang telah tinggal sejak Tahun 1834, menolak relokasi atas pembangunan kawasan industri di tanah seluas 17 ribu hektare.”

Ironisnya, lanjut Henry, aparat kepolisian setempat, menargetkan pada 28 September 2023, Pulau Rempang harus clean and clear untuk diserahkan kepada investor, dengan nilai investasi Rp381 triliun yang akan terus dikucurkan sampai dengan 2080.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button