News

Persaingan Ketat China-AS di Arab Saudi

Kesepakatan normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran dengan mediasi China pada Maret lalu menunjukkan kekuatan pengaruh China di Timur Tengah saat ini, khususnya di Saudi. Isu kekuatan hubungan China-Saudi terakhir ini menjadi semakin menarik mengingat secara historis Saudi memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Amerika Serikat (AS).

Setidaknya ada dua faktor terjalinnya hubungan historis tersebut. Pertama, tercapainya kesepakatan keamanan dengan imbalan minyak antara AS dan Arab Saudi. Kesepakatan itu tercapai antara Raja Arab Saudi Abdul Aziz dan Presiden AS Franklin Delano Roosevelt di atas kapal perang USS Murphy di Terusan Suez, Mesir, pada 14 Februari 1945. Transaksi itu menghasilkan komitmen AS menjamin keamanan Saudi dengan imbalan jaminan suplai minyak dari Saudi ke AS.

Kedua, keberpihakan Saudi kepada AS pada masa Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, dengan dalih bahwa ideologi komunis yang diadopsi Soviet merupakan ancaman terhadap eksistensi monarki di Saudi.

Tentu AS merasa kurang nyaman melihat semakin kuatnya hubungan China-Saudi akhir-akhir ini, mengingat AS-China kini terlibat pertarungan cukup sengit di berbagai belahan dunia ini. Oleh karenanya, kini juga ada persaingan AS-China di Saudi, seperti halnya di belahan dunia lainnya.

Presiden AS dan China sama-sama mengunjungi Arab Saudi pada tahun lalu. Presiden Biden mengunjungi Saudi pada Juli 2022. Sedangkan Presiden China Xi Jinping menyambangi Riyadh pada Desember 2022.

AS tentu tidak mungkin bisa menendang China dari Saudi. Dengan kata lain, AS harus menerima fakta bahwa geopolitik dan ekonomi saat ini telah berubah total. Kini, AS tak bisa lagi melihat Saudi seperti dua atau tiga dekade lalu. Sebaliknya, Saudi pun tidak bisa melihat AS seperti dua atau tiga dekade lalu.

Perubahan geopolitik dan ekonomi, yang mendorong hubungan China-Arab Saudi, itu semakin kuat. Selanjutnya, AS harus menerima kenyataan bahwa China menjadi saingannya di Arab Saudi. Sebaliknya, Arab Saudi harus bermain dua kaki antara China dan AS karena Riyadh tidak bisa memilih salah satu dari China dan AS.

Arab Saudi masih butuh AS soal keamanan karena sebagian besar persenjataan negara kerajaan itu masih dipasok dari AS. Selain itu, AS masih punya banyak pangkalan militer di kawasan Teluk, seperti Pangkalan Armada V di Bahrain dan Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar.

Namun, kepentingan ekonomi Saudi terbesar terakhir ini bersama China, bukan dengan AS. Perdagangan Saudi terbesar saat ini dengan Asia Timur, khususnya China. Ekspor terbesar minyak Saudi kini ke Asia Timur, terutama China, bukan ke AS dan Eropa.

Ekspor minyak Saudi ke empat negara Asia saja, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, dan India, pada tahun 2020 mencapai 66 persen dari keseluruhan ekspor minyak Saudi ke seluruh dunia.

China kini menjadi importir minyak terbesar dari Saudi. China saat ini mengimpor minyak lebih dari 3 juta barel per hari dari Saudi dan negara Teluk lain.

Impor Saudi dari China pada 2021 mencapai 20 persen dari keseluruhan impor negara itu dari seluruh dunia. Adapun nilai impor Saudi dari AS pada 2021 hanya sekitar 10 persen yang didominasi senjata dan produk teknologi canggih, dari keseluruhan impor Saudi. Neraca perdagangan China-Saudi tahun 2021 mencapai sekitar US$67 miliar.

Arab Saudi melihat China dan Asia Timur sebagai mitra strategisnya di masa depan seiring dengan bergulirnya megaproyek Visi Arab Saudi 2030. Arab Saudi menyadari bahwa dunia ke depan semakin mengembangkan energi hijau dan mengurangi ketergantungan pada minyak.

Uni Eropa sudah mencapai kesepakatan bahwa semua kendaraan yang terdaftar di Eropa harus bebas dari emisi karbon pada tahun 2035 untuk mencegah polusi dan sekaligus membangun lingkungan hijau. Saudi pun menyadari harus segera melakukan diversifikasi sumber ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada pendapatan dari minyak sebelum terlambat. Itulah, antara lain, pemikiran di balik peluncuran Visi Arab Saudi 2030 dengan visi diversifikasi sumber ekonomi pada tahun 2016 lalu.

Saudi juga melihat bahwa untuk menyukseskan Visi Arab Saudi 2030, mereka kini sangat tergantung pada Asia Timur, khususnya China, mengingat perdagangan terbesar mereka saat ini dengan China. Kesejahteraan yang diraih Saudi sekarang berkat perdagangan dengan Asia Timur, bukan dengan Barat.

Semua faktor ini ada di balik Saudi membuka pintu selebar-lebarnya kepada China. Semua faktor ini pula di balik Saudi dengan tangan terbuka menerima mediasi China untuk normalisasi hubungan dengan musuh bebuyutannya, Iran, pada 10 Maret 2023.

Fakta baru tentang geoekonomi di Saudi dan juga Timur Tengah membuka arena persaingan AS-China di Saudi. Ini tentu tak mudah bagi Saudi. Mereka harus mengantisipasi kemungkinan terburuk, yakni muncul kemarahan AS. Misalnya, AS memberi persyaratan sedemikian rupa kepada Saudi untuk mendapatkan persetujuan penjualan senjata canggih buatan AS ke Saudi.

Karena itu, Saudi mulai tampak melakukan diversifikasi sumber persenjataan canggih yang selama ini sangat tergantung pada AS. Bahkan, Saudi mulai mengimpor senjata dari China yang jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 386 persen dalam beberapa tahun terakhir ini.

Arab Saudi terakhir ini juga mulai mengembangkan industri militernya di dalam negeri dengan bantuan sumber daya manusia dan teknologi dari sejumlah negara maju, seperti Prancis, Inggris, Rusia, China, dan Korea Selatan.

Sejak Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) memangku jabatan sebagai putra mahkota pada tahun 2017, kebijakan luar negeri Saudi semakin cenderung ingin independen, yang secara historis sangat pro-Barat, khususnya AS. Arab Saudi, misalnya, memilih netral dalam isu perang Rusia-Ukraina dan menolak bujukan AS agar memihak Ukraina.

Di bawah kepemimpinan MbS pula, Arab Saudi berubah wajah dengan menjadi lebih otonom. Wajah baru Saudi itu pun dimanfaatkan oleh China untuk semakin bercokol di negeri itu dan mampu bersaing dengan rival utamanya, AS.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button