Kanal

Polisi Sultan dan Kemilau Bintang di Pundak Perwira Tinggi Polisi

Seorang karib bertanya dengan nada protes kepada saya. “Kenapa ya media media kita itu lebih meributkan gaya hidup polisi. Kok fokusnya ke hedonisme, kenapa gak bahas darimana mereka dapat uang untuk hidup bermewah mewah?”

Mendasar, sederhana, dan mengena sekali pertanyaan kawan saya itu. Mungkin dia ingin merujuk ke pengarahan Presiden Jokowi kepada para pejabat Polri, Kapolda, dan Kapolres di Istana Negara Jumat (14/10/2022) lalu.

Kata Presiden Jokowi, gaya hidup mewah anggota Polri harus “direm” demi tidak menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang sedang susah akibat krisis.

“Saya ingatkan masalah gaya hidup, lifestyle, jangan sampai dalam situasi yang sulit ada letupan-letupan sosial karena ada kecemburuan sosial ekonomi, hati-hati,” ujar Jokowi.

“Jangan gagah-gagahan karena merasa punya mobil bagus atau motor gede yang bagus, hati-hati saya ingatkan, hati-hati,” kata Jokowi lagi.

Dalam pengarahannya itu, tiga kali Jokowi menekankan diksi “hati-hati.” Dalam budaya Jawa, kata hati hati, apalagi diulang berkali kali, adalah suatu bentuk teguran keras. Jokowi sepertinya faham betul jika gaya hidup mewah itu hanya sekadar dampak. Yang perlu ditelusuri lebih dalam lagi adalah bagaimana mereka mendapatkan uang untuk menopang gaya hidup hedonis itu.

Sudah bukan rahasia lagi jika banyak oknum pejabat Polri yang diduga memanfaatkan jabatan mereka untuk berlomba menumpuk harta dengan cara melawan hukum. Praktik suap, dagang kasus, beking judi dan tempat hiburan, sampai menjual narkoba, adalah hal yang jamak terjadi.

Masih ingat kasus Aiptu Labora Sitorus, polisi yang bertugas di Sorong, Papua Barat. Tahun 2013 silam, publik dihebohkan dengan berita rekening gendut dengan transaksi misterius di rekening Labora Sitorus sebesar Rp1,5 triliun.

Uang sebanyak itu konon merupakan hasil dia meraup keuntungan dari praktik pembalakan liar, penimbunan solar, dan pencucian uang. Setelah melalui beragam drama, Labora Sitorus akhirnya dihukum 15 tahun penjara karena kasus pencucian uang, penimbunan BBM dan kayu di Papua Barat.

Polisi Sultan

Soal polisi sultan dengan rekening gendut juga bukan hal yang baru. Banyak polisi memiliki harta kekayaan yang fantastis. Tak masuk akal dibanding gaji polisi yang tergolong biasa biasa saja.

Untuk diketahui, besaran gaji seorang jenderal polisi seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 17/2019 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, berkisar antara Rp3,29 juta hingga Rp5,93 juta. Tergantung lama masa jabatan yang diemban.

Dengan gaji sebesar itu menjadi wajar jika publik bertanya tanya darimana asal kekayaan para jenderal yang tajir itu.

Sosok Irjen Teddy Minahasa misalnya, disebut-sebut sebagai salah polisi terkaya di Indonesia. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), total kekayaan jenderal bintang dua itu mencapai Rp29,9 miliar.

Teddy bukanlah satu-satunya polisi dengan kekayaan melimpah. Irjen Muhammad Iqbal yang saat ini menjabat Kapolda Riau memiliki harta kekayaan Rp27 miliar. Ada pula Irjen Martinus Hukom, Komandan Densus 88 yang memiliki kekayaan Rp17 miliar.

Di jajarann jenderal bintang tiga, ada nama Kabaharkam Polri Komjen Arief Sulistyanto dengan kekayaan Rp14,7 miliar. Ada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar dengan kekayaan Rp 7,1 miliar. Sedangkan Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono memiliki harta Rp10,7 miliar (2 November 2020).

Dan yang paling fantastis adalah kekayaan Komjen Purwadi Arianto yang menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dengan harta senilai Rp43 miliar.

Yang sekarang juga sedang viral dan mengundang perhatian adalah kekayaan Kapolsek Siantar Martoba, Sumatera Utara, AKP Manaek S Ritonga. Dia punya harta Rp11,4 miliar (10 Maret 2022). Jumlah ini lebih besar dari kekayaan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dalam laporannya tanggal 31 Maret 2022 punya kekayaan Rp9,2 Miliar saja.

Darimana pundi pundi kekayaan itu didapat, hanya mereka dan tuhan yang tahu.

Namun pengakuan mendiang Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba yang dieksekusi 30 Juli 2016 lalu sedikit memberi gambaran bagaimana praktik curang di tubuh kepolisian terjadi. Dalam pengakuannya Freddy bercerita, setiap kali mau memasukkan barang haram itu ke Indonesia, dia lebih dulu menghubungi polisi, Badan Narkotika Nasional, serta Bea dan Cukai untuk kongkalikong.

“Orang-orang yang saya telepon itu semuanya nitip (menitip harga),“ kata Freddy seperti disampaikan kepada mantan Koordinator KontraS Haris Azhar saat mengunjunginya di Lapas Nusakambangan 2014 lalu.

Harga yang dititipkan mulai dari Rp10 ribu hingga Rp30 ribu per butir ekstasi. Freddy tak pernah menolak. Sebab dia tahu harga sebenarnya yang dikeluarkan pabrik hanya Rp5.000 per butir. Dengan modal Rp10 miliar Freddy bisa meraup triliunan karena harga satu butir narkoba di pasaran berkisar Rp200 ribu-Rp300 ribu.

Dia bisa membagi puluhan miliar ke beberapa pejabat. Selama beberapa tahun bekerja sebagai penyelundup, dia terhitung menyetor Rp450 miliar ke BNN dan Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri.

Freddy mengaku kecewa karena pada akhirnya ia tetap ditangkap dan barang narkobanya disita. Anehnya, barang-barang itu malah beredar di pasaran. Ia mengetahui hal itu dari laporan jaringannya di lapangan.

Menurut Freddy, setiap pabrik yang membuat narkoba punya ciri masing-masing mulai bentuk, warna, dan rasa. Bosnya yang mengetahui hal itu pun bertanya-tanya. “Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?” ujar dia

Freddy pernah didatangi polisi dan ditawari untuk kabur dari penjara. Awalnya ia tak mau karena masih bisa menjalankan bisnis dalam penjara. Tapi karena tahu polisi itu butuh uang, jadi dia menerimanya. Freddy pun bebas. Namun, beberapa hari kemudian ia ditangkap lagi. Ia sadar sejak awal ia hanya diperas. Freddy pun tak pernah lagi keluar dari penjara hingga ia dihukum mati.

Menagih Komitmen Kapolri

Di mata aktivis HAM Haris Azhar, polisi sebetulnya adalah pembela HAM. Namun mereka menjual kewenangan itu dan akhirnya ketika dipraktikkan siapa yang bisa beli memunculkan diskriminasi.

“Jadi dalam banyak kasus mereka tunduknya pada uang dan kekuasaan. Akhirnya kalau masyarakat nggak punya kekuasaan, nggak punya uang, apakah dia jadi korban, jadi pelapor, jadi tersangka, kalau Anda tidak punya kekuasaan dan uang, Anda wassalam (selesai). Anda akan mengalami kiamat hukum,” kata Haris dalam diskusi Kopi Party Movement bertajuk ‘Quo Vadis Reformasi Total Polri’, Kamis (20/10/2022).

Haris juga menyoroti presiden yang membicarakan gaya hidup Polri, tapi tidak membahas isi rekening dan sumber uang mereka.

“Mestinya kalau mau ngomong, hentikan keterlibatan praktik-praktik bisnis atau menggunakan kewenangan hukum untuk mencari uang, bukan soal gaya hidup. Kalau gaya hidup, tapi kantongnya tetap diisi sama uang-uang yang sumbernya tidak patut kan sama saja bohong,” kata Haris.

Ia juga membahas reformasi kepolisian yang menurutnya tidak hanya bertumpu pada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Sekarang bagaimana cara mereformasi Polri? Kita nggak bisa berharap hanya dari Pak Listyo Sigit,” ujar Haris.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit berjanji akan menindak tegas jajarannya yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan publik kepada Polri.

Pernyataan Kapolri ini menjalankan arahan Presiden Jokowi terkait dengan masalah gaya hidup anggota Polri, memberantas judi online hingga narkoba.

“Kita semua juga sepakat bahwa hal-hal yang sifatnya bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik terkait dengan gaya hidup, hal-hal yang bersifat pelanggaran tentunya ini menjadi arahan dari Bapak Presiden dan kami akan tindak lanjuti untuk melakukan langkah-langkah tindakan tegas,” kata Listyo di depan Presiden Jokowi, Jumat (14/10/2022).

Publik akan menanti Kapolri menjalankan komitmennya ini di lapangan. Sudah ada sejumlah perwira tinggi yang ditindak sebagai bagian dari komitmen itu. Namun, seperti kata mendiang Freddy Budiman, yang banyak ditangkap itu adalah para operator lapangan seperti dirinya, tetapi di balik itu ada godfather yang mengendalikan bisnis haram dan beraragam praktik  terlarang lainnya. Ayo Pak Kapolri…

Wiguna Taher (Pemimpin Redaksi Inilah.com)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button