Market

Rasio Nyaris 40 Persen, RI Perlu Pemimpin Ngerem Utang Bukan Gaspol


Per November 2023, utang pemerintahan Jokowi menggunung hingga Rp8.041 triliun atau nyaris 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Memang masih aman dari perspektif undang-undang. Namun cukup mengganggu APBN. Dan, negara bakalan sulit terbebas dari utang itu.

Soal utang ini, sempat menjadi salah satu pokok bahasan dalam Debat Capres yang digelar KPU pada Minggu (7/1/2024). Capres nomor urut 01, Anies Baswedan menyebut, utang pemerintah maksimal 30 persen dari PDB, agar aman.

“Kita harus bisa mencapai maksimal angka 30 persen dari GDP (gross domestic product), sehingga kita aman di bawah 30 persen,” ujar Anies.  

Sedangkan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto punya pandangan berbeda. Dia bilang, rasio utang terhadap PDB Indonesia, boleh-boleh saja mencapai 50 persen. Itu tidak akan berdampak kepada keuangan dan perekonomian.

“Yang penting utang itu produktif, itu saya setuju. Tapi kita bisa (utang luar negeri) sampai 50 persen, enggak ada masalah. Kita tidak pernah default. Kita dihormati di dunia,” katanya.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira membenarkan bahwa ambang batas rasio utang maksimal 60 persen dari PDB. Hal itu diatir dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Kata dia, aturan itu mengikuti aturan disiplin fiskal dalam Perjanjian Maastricht di Uni Eropa. Dalam perkembangannya, banyak negara di Eropa meragukan klausul tersebut.

Dalam realitasnya, banyak negara yang rasio utang terhadap PDB di bawah 60 persen, terkena krisis juga. “Jadi di Eropa sendiri, rule of thumb 60 persen mulai banyak digugat oleh para ekonom dan pengambil kebijakan,” tambahnya.

Di dalam negeri, kata Bhima, jika Indonesia memiliki utang luar negeri mendekati 60 persen dari PDB, itu justru berbahaya. “Bukan berarti pemerintah bisa mendorong agar rasio utang mendekati batas yang dibolehkan undang-undang,” kata Bhima, Selasa (9/1/2024).

Bhima menjelaskan risiko jika Indonesia memiliki rasio utang luar negeri yang tinggi. Menurutnya, perekonomian negara tidak akan sehat ketika harus membayar utang luar negeri beserta bunganya setiap tahun. “Kalau dengan rasio utang saat ini saja bunga utang nyaris Rp 500 triliun, tahun ini maka porsinya (utang) terhadap belanja sosial kan sudah lebih dari 100 persen. Itu tidak sehat,” tegas dia.

Disebutkan bahwa utang luar negeri yang besar akan meningkatkan beban bunga yang harus dibayarkan. Selain itu, besarnya utang negara juga akan menyempitkan ruang fiskal atau mengurangi pendapatan yang mendanai program negara.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button