News

Rawan Disusupi, KPU Diminta Buat Panduan Teknis Iklan Politik di Media Sosial

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat panduan yang rinci soal iklan politik di media sosial.

Panduan teknis tersebut, sambung dia, perlu dimuat dalam sebuah Peraturan KPU (PKPU) khusus. Hal ini perlu dilakukan agar iklan politik di media sosial tidak disusupi, dan tepat sasaran.

“Jadi bisa disesuaikan tuh iklan ini, konten ini mau disasar ke siapa? ke pemilih pemuda kah, pemilih yang ada di provinsi manakah, pemilih yang seperti apa,” ujar Amalia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2023).

Selain itu, KPU juga diminta mengawasi nama akun pengiklan, besara uang untuk iklan tersebut dan siapa target iklan. “Karena iklan politik yang ada di Meta itu iklan yang bertarget. Bahkan si pengiklan itu bisa pilih komponen yang mau ditarget apakah orang Jawa, ini concern Jawa nih misalnya karena ini orang sering menulis pakai bahasa Jawa, itu kan bisa ditarget.” jelas dia.

Amalia menekankan iklan politik di media sosial sejatinya lebih sulit dikontrol tidak seperti iklan di media mainstream. Sehingga, menurutnya, akan sangat berbahaya jika tidak diatur tolok ukur akuntabilitas dan transparansinya. “Sebenarnya iklan politik itu berbahaya dan perlu ada standar transparansi khususnya yang perlu dibuka oleh Facebook,” tegas Amalia.

Selain itu, KPU juga perlu mengatur tanggung jawab dan transparansi media sosial dalam moderasi konten. Amalia menyampaikan agar konten yang berbahaya dapat ditindak. “Kan kita ingin setidaknya konten yang berbahaya atau illegal, setidaknya platform melakukan tindakan yang bisa mencegah viralitas konten yang berbahaya. itu seperti apa transparansinya. KPU seharusnya bisa mengatur itu,” tegas dia.

Sementara, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, kode etik kampanye di media sosial penting agar kampanye di media sosial memiliki acuan yang jelas.

Lebih jauh, pihaknya juga mendorong Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk berkomitmen memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam moderasi konten.

“Persoalan ini telah menyebabkan polarisasi, konflik, dan penurunan kepercayaan publik terhadap pemilu dan demokrasi. Fakta juga menunjukkan bahwa ujaran kebencian berdampak negatif pada kelompok marjinal, termasuk memicu potensi kekerasan dan ancaman fisik lainnya” jelas Adinda.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button