Empati

Rossy dan Rian, Pelopor Pendidikan Gratis Anak Jalanan

Kamis, 10 Nov 2022 – 10:22 WIB

Pendidikan Anak Jalanan

Kegiatan di Sekolah Darurat Kartini (Foto: Tangkapan layar Instagram @duamawarmerah)

Pendidikan bagi anak jalanan sejatinya tanggung jawab negara. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi, setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.

Ironisnya, anak jalanan yang berkeliaran di bawah kolong jembatan masih sering tertangkap mata. Kita tidak pernah menyadari atau mungkin tidak peduli tentang apa yang ada di dalam benak anak-anak itu.

Ada yang bermimpi ingin jadi dokter, koki, montir, suster dan lain sebagainya. Mimpi-mimpi ini ditangkap oleh Sri Rossyati (72) dan Sri Irianingsih (72)

Melihat ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin, Rossy dan Rian—sapaan mereka—mendirikan Sekolah Darurat Kartini, sekolah gratis bagi anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga tidak mampu.

Ibu guru kembar, demikian masyarakat mengenal dua perempuan hebat ini. Tidak terhitung berapa banyak murid yang sudah mereka antar menjadi manusia yang lebih baik.

Tidak terhitung pula harta benda yang sudah diberikan kepada para manusia pinggiran ini. Meski pun begitu, ibu guru kembar tetap ikhlas menjalaninya karena yakin semua itu adalah jalan kehidupan yang harus dilalui

Pilihan untuk peduli kepada mereka yang kurang beruntung, ternyata tidak lepas dari peran orangtua keduanya. Ayah dari ibu guru kembar yang seorang teknisi di Perusahaan Jawatan Kereta Api (sekarang PT KAI) adalah seorang yang keras namun berhati lembut.

Pendidikan Anak Jalanan
Rossy dan Rian (Foto: Tangkapan layar Instagram @duamawarmerah)

Ia seringkali mengajak kedua putrinya itu bersepeda menyusuri rel dan melihat kemiskinan di sepanjang jalurnya. Sambil menatap wajah anak kembarnya, sang Ayah menitipkan pesan, “Itu tugasmu nanti ya kalau sudah besar.”

Perjalanan keduanya masuk ke dunia pendidikan anak, berawal dari Rossy. Saat itu ia ikut suami yang ditugaskan di Kalimantan. Di sana, suaminya membuka praktek sederhana di bawah sebuah pohon rindang.

Rossy menyaksikan betapa anak-anak kelihatan begitu lusuh dan tidak bersekolah. Dari situ muncul ide, saat orangtua mereka menunggu diperiksa dokter, ia mengajarkan anak-anaknya menulis dan membaca.

Jika Rossy pertama kali mengajar di Kalimantan, Rian mengajar pertama kali ketika berada di Lombok, yang kebetulan juga sedang mengikuti suaminya bertugas di sana. Selama mengajar itu, Ibu Kembar sama sekali tidak menarik bayaran kepada murid-muridnya.

Dirikan Lembaga Pendidikan Anak Jalanan

Di tahun 1990, Rossy mengajak Rian pindah ke Jakarta dan mendirikan Sekolah Darurat Kartini. Dari awal, keduanya menggunakan uang pribadi untuk membeli seragam, perangkat belajar, dan makanan setiap hari.

Sekolah Darurat Kartini kali pertama dibangun di kolong tol Ancol. Sekolah ini dimulai dari jenjang TK sampai dengan SMP. Mereka disatukan dalam satu ruangan yang berselimut kayu dengan satu kipas yang memutar, tergantung di tengah ruangan tersebut. Selama berdiri, sekolah tersebut sudah jadi langganan korban penggusuran tapi keduanya tidak pernah menyerah.

Jadi korban penipuan pun juga pernah mereka alami. Terselip sebuah kisah, ketika salah seorang anak didik mereka yang ingin punya keterampilan montir, mereka pun tergerak untuk mencari orang yang bisa mengajari anak didiknya.

Ketika bertemu orang yang dirasa cocok mengajar, keduanya langsung memberikan bayaran di muka untuk ongkos kursus keterampilan selama satu tahun ke depan. Tapi apa daya, beberapa hari berselang orang tersebut menghilang bersama uang bayarannya. Tidak mau mematahkan semangat anak didiknya, mereka pun berinisiatif mengikuti kursus montir untuk bisa mengajari anak didiknya dan akhirnya anak didiknya diajari oleh mereka sendiri. Sungguh dedikasi yang luar biasa!

Terhitung tiga dekade, Rossy dan Rian mengabdikan diri pada dunia pendidikan anak dari kaum marginal. Bukan hanya itu, mereka bahkan juga berusaha mengangkat harkat serta martabat anak jalanan dan gelandangan agar bisa hidup dengan layak.

Maka tidak berlebihan jika kita menyematkan gelar pahlawan kepada keduanya, karena pahlawan yang sesungguhnya bukan lagi sosok mengangkat senjata melawan penjajah. Melainkan sosok yang mau berusaha menjadi orang yang berguna bagi sekitarnya. Selamat hari pahlawan!

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button