Market

Rutin Impor, Ombudsman: Kebijakan Pasokan Beras Kian Berisiko

Lembaga Ombudsman menyayangkan kebijakan pemerintah dalam impor beras tidak berdasarkan perencanaan jangka panjang. Akibatnya, daya tawar Indonesia di mata negara produsen beras lemah saat banyak negara menghentikan ekspor berasnya.

Kebijakan importasi beras oleh pemerintah Indonesia dianggap belum mencerminkan kebutuhan pangan untuk lima tahun ke depan. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, kebijakan importasi beras membutuhkan perencanaan untuk jangka panjang. Kebijakan impor yang matang dianggap dapat memastikan cadangan beras pemerintah (CBP) selalu tersedia.

“Kebijakan importasi ini masih sifatnya reaktif. Impor lebih didorong untuk pemenuhan konsumsi, bukan untuk penguatan cadangan pangan,” ujar Yeka dalam paparan di sebuah diskusi, Minggu (19/11/2023) di Jakarta.

Yeka mengharapkan, pengadaan CBP seharusnya menjadi kunci intervensi pasar saat produksi beras di dalam negeri kurang. Adapun, sejak tahun 2000 – 2023, kata Yeka, rata-rata impor beras yang dilakukan Indonesia sebanyak 1 juta ton per tahun.

“Tapi kalau sekarang, ini [produksi] kurang, putuskan impor, barang datang, ternyata harga sudah naik di pasar internasional,” kata Yeka.

Artinya, kebijakan impor yang bersifat reaktif atau mendadak impor berisiko dipengaruhi oleh gejolak pasar beras global, di antaranya seperti restriksi ekspor beras oleh India dan negara lainnya hingga harga beras di negara eksportir juga telah melonjak.  

Kemudian, pada akhir tahun saat produksi dalam negeri diprediksi merosot, pemerintah akhirnya mengeluarkan kuota penugasan impor tambahan sebanyak 1,5 juta ton untuk kebutuhan beras pada akhir 2023 dan awal 2024 seiring prediksi panen raya yang akan mundur. Bahkan, kuota impor tahun depan disebut mencapai 2 juta ton untuk kebutuhan penyaluran bantuan beras hingga Juni 2024.

Yeka berharap ke depan, pemerintahan selanjutnya dapat merancang kebutuhan importasi beras untuk 5 tahun ke depan. Misalnya, kata dia, Indonesia bisa meneken kontrak dagang beras dengan suatu negara produsen untuk mensuplai CBP dalam rentang waktu tertentu. Bila nantinya Indonesia justru kelebihan beras, Yeka memandang adanya peluang untuk ekspor beras.

“Siapapun yang menang, kalau bisa pemerintahan selanjutnya itu paling tidak sudah ngomong dengan Thailand, aku belanja ya [beras] 5 juta ton untuk 5 tahun ke depan, jadi kita jelas punya captive market,” tuturnya. Dengan perencanaan kebijakan importasi jangka panjang, menurut Yeka, dapat memperbaiki tata kelola impor beras yang lebih terbuka dan transparan. “Kami berharap di tahun politik ini, kewibawaan pemerintah ini akan ditentukan oleh CBP [cadangan beras pemerintah],” kata Yeka. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button