Kanal

Satu Jokowi, Berguncang Dunia

Alhasil, sekali lagi, masuk akal jika Sukarno menjadikan Aidit sebagai anak ideologisnya. Pada diri Aidit, barangkali, Sukarno melihat reinkarnasi dirinya. Namun sisi lain, tanpa tedeng aling-aling, Aidit berani menguasai panggung dan memuntahkan kritik tajam kepada Sukarno. “Negara salah urus,” serang Aidit tanpa sungkan, “Akibat pemimpinnya punya banyak istri.”

Oleh     :  Reza Indragiri Amriel*

“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Begitu seru Sukarno.

Dan kebanggaan sekaligus penghormatan Sukarno pada kedahsyatan energi pemuda, oleh sebagian penafsir sejarah, terwakilkan pada kedekatan istimewa antara Bung Karno dan D.N. Aidit.

Respek Sukarno pada Aidit jelas bukan main-main. Siapa tokoh yang mampu mengubah nasib PKI, kalau bukan Aidit. Dari partai yang sekarat pasca menggunting dalam lipatan di tahun 1948, PKI menjelma sebagai partai berkaliber elit pada Pemilu 1955. Dengan jumlah anggota PKI mencapai jutaan orang, praktis Indonesia menjadi “negara komunis” terbesar di dunia setelah Cina dan Uni Soviet.

Alhasil, sekali lagi, masuk akal jika Sukarno menjadikan Aidit sebagai anak ideologisnya. Pada diri Aidit, barangkali, Sukarno melihat reinkarnasi dirinya.

Tapi Aidit, dengan segala kematangan yang ia punya, pantang membebek. Satu sisi, ia menikmati status sebagai representasi kaum muda revolusioner progresif. Ia, sebagaimana kebanyakan orang pada masa itu, tentu juga berbesar hati bisa dipercaya oleh Bung Besar sebagai salah satu menterinya.

Namun sisi lain, tanpa tedeng aling-aling, Aidit berani menguasai panggung dan memuntahkan kritik tajam kepada Sukarno. “Negara salah urus,” serang Aidit tanpa sungkan, “Akibat pemimpinnya punya banyak istri.”

Ketajaman pikiran plus kekuatan nyali juga Aidit demonstrasikan saat ia menyusun daftar Dewan Revolusi. Diudarakan melalui RRI beberapa jam setelah peristiwa jahanam 1 Oktober, struktur pemerintahan Indonesia itu sama sekali tidak mencantumkan nama Sukarno.

Orang paling kuat se-Indonesia, yang kharismanya bersinar di seantero negeri berhaluan timur, yang menjadi sasaran pembinasaan politik oleh negara-negara Barat, ternyata dinihilkan begitu saja oleh Aidit.

Sejarah laksana roda. Dia berputar, mengulang-ulang kisahnya.

Dan situasi di tahun 50an hingga 60an itu seperti datang kembali tahun ini. Adalah Jokowi yang menjadi tokoh sentralnya.

Pemunculan Jokowi mengubah nasib PDIP di percaturan politik nasional. Pasalnya, sedahsyat apa pun seorang Megawati, ia tetap tidak kuasa melawan keperkasaan Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati terpuruk di Pilpres, PDIP juga kehilangan tajinya. Tapi Jokowilah yang menjadi Ratu Adilnya. Kursi RI-1 didudukinya dan PDIP kembali menemukan kejayaannya.

Jokowi seketika didaulat sebagai dewa penyelamat. Betapapun demikian, ia tetap rendah hati menerima status sebagai petugas partai. Setidaknya untuk beberapa lama.

Jokowi berpikiran jauh ke depan. Sejak jauh-jauh hari ia telah menyusun alur regenerasi kepemimpinan pasca Februari 2024.

Ketajaman intuisi politiknya pula yang membuat Jokowi mampu membaca dinamika yang kabarnya tidak begitu sehat di PDIP, partai yang telah ia sehatkan itu. Dan, walau Jokowi tidak ada hubungan dengan Aidit, namun tabiat politiknya memiliki kemiripan pada satu aspek: menolak membebek. Walau bertitel petugas partai, Jokowi pantang membebek.

Jokowi memang tidak menggunakan diksi sefrontal Aidit. Tapi Jokowi tentu yakin, ia harus melancarkan terjangan  terhadap kekuatan-kekuatan yang ia pandang kontra revolusioner, tak terkecuali–dalam konteks pilpres 2024–yang “bergentayangan” di dalam tubuh PDIP. Dan jurus Jokowi itu terlalu hebat untuk dibendung.

Jokowi melihat tanda-tanda PDIP salah urus, dan itu berbahaya bagi visinya tentang Indonesia masa depan.

Anggaplah, di permukaan, Jokowi melakukan makar terhadap trah Sukarno selaku “pemilik dan pewaris” PDIP. Tak beda dengan pengkhianatan Aidit terhadap Sukarno. Tapi di balik “kejahatan politik” itu, terkandung idealisme dan visi Jokowi secara bersamaan. Bahwa, PDIP harus diluruskan, Indonesia harus diselamatkan.

Katakanlah, Jokowi adalah pelaku kanibalisme politik. Anak durhaka. Kacang lupa kulit. Manuvernya sungguh-sungguh vivere pericoloso (menyerempet-nyerempet bahaya. Bahasa Italia yang lebih umum adalah “vivere pericolosamente”—red Inilah.com). Ia memalingkan kepala dari segala bentuk drama, senitron (itu keliru ucapannya di HUT Golkar), dan tindak-tanduk baper politik lainnya. Publik bisa membaca itu tertuju kepada siapa.

Kentara sudah. Jokowi menolak patuh. PDIP dibuatnya runtuh, hukum dibikinnya kisruh, peta politik diaduknya hingga keruh. Namun Jokowi seolah mewejangani kita. Bahwa, dalam sebuah revolusi, itu semua tak lebih “een rimpeltje in de oceaan” — riak kecil di tengah ombak samudra.

Habis perkara?

Belum. Masih perlu ditunggu episode pamungkas sendrapolitik Jokowi: berjaya dalam politik riang gembira, atau justru bergemoy sendirian dan menjadi orang paling kesepian? Allahu a’lam. [  ]

*Pembelajar psikologi, penikmat sejarah

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button