Market

Sektor Hulu Migas Penentu Masa Depan Industri Petrokimia

Ketua Umum Federasi Industri Kimia Indonesia, Suhat Miyarso mengatakan industri petrokimia yang bahan bakunya berasal dari hulu migas, masuk kategori industri hijau, berperan penting dalam pengembangan industri dalam negeri.

“Karena berbagai produk petrokimia diperlukan untuk industri di hilir. Mulai dari furnitur rumah tangga, pipa air, kabel listrik, kemasan makanan dan minuman, otomotif, peralatan medis, perlengkapan pertanian, hingga alat perikanan,” paparnya, Jakarta, Senin (8/5/2023).

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun, kata dia, mendorong hilirisasi di industri petrokimia. Upaya ini dinilai strategis karena dapat menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur hilir penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi.

Hingga Oktober 2022, kata Suhat, ekspor dari industri kimia menunjukkan capaian yang gemilang, yakni sebesar US$18,5 miliar (kurs Rp15.000/US$), setara Rp277,5 triliun. Naik 20 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sedangkan pada 2023 ditargetkan naik lagi menjadi US$25 miliar (Rp375 triliun).

“Adapun, kapasitas produksi petrokimia nasional saat ini berkisar 7,1 juta ton per tahun (2022) dan impor produk kimia yang juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada 2020,” ungkapnya.

Pertamina sendiri sudah memasang target untuk menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton pada 2022, menjadi 8 juta ton pada 2027, melalui sejumlah proyek. Pemerintah sendiri menargetkan Indonesia dapat menjadi negara produsen petrokimia nomor satu di ASEAN.

Kebutuhan petrokimia nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor konstruksi di Indonesia.Beberapa faktor seperti permintaan pasar, produksi petrokimia domestik, harga bahan baku, dan persaingan global juga dapat mempengaruhi volume kebutuhan petrokimia di Indonesia.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui pentingnya peran industri hilir migas. Sektor ini bernilai strategis dalam meningkatkan multiplier effect untuk industri hilir, seperti pupuk dan petrokimia.

“Kementerian ESDM sudah memberikan dukungan harga gas pada industri tertentu agar kompetitif sehingga banyak sektor hilir yang mampu bersaing dan mengekspor produknya. Kebijakan tersebut perlu diapresiasi dan diharapkan hilir dari kegiatan hulu migas dapat berkembang sehingga tidak hanya berkontribusi pada pendapatan negara, tetapi juga memberikan efek penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi makro,” ujar Menko Airlangga

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sangat mendukung upaya pemerintah yang memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. Langkah ini bertujuan untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi.

Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas, Agus Budianto mencontohkan, insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk gas yang sedang dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat.

Dengan insentif yang diberikan pemerintah, Kontraktor KKS (sebagai produsen) dapat menyesuaikan harga gas dari US$5 per MMBTU menjadi US$4 per MMBTU sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut.

Klaster industri petrokimia memang menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam program industri 4.0. Sektor itu turut menjadi fondasi industri nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button