Kanal

Sepertiga Malam Bersama Syaikh Haitsam

Kebanyakan di antara kita menganggap istilah ‘sepertiga malam’ sebagai waktu sebelum fajar tiba, sebelum subuh. Padahal istilah sepertiga malam ada karena malam memang bisa dibagi tiga: sepertiga malam pertama, sepertiga malam kedua, dan sepertiga malam ketiga. Bila terbiasa bangun tahajjud menjelang subuh, itu artinya sepertiga malam yang ketiga, saat malam hampir habis di penghujungnya.

Kita dianjurkan memperbanyak ibadah di sepertiga malam. Bagi saya, sepertiga malam yang manapun itu. Satu-satunya kegiatan yang bisa melampaui nilai ibadah di sepertiga malam adalah menuntut ilmu. Para ahli ilmu memahami ini. Imam Syafii, Imam Ghazali, dan para pemikir Muslim lainnya menggunakan waktu malam untuk menuliskan manuskrip kitab-kitab mereka.

Pada malam kelima di Madinah, saya beruntung dipertemukan dengan Syaikh Haitsam, seorang ahli ilmu yang tawadhu, dengan kecintaan luar biasa kepada Allah dan Rasulullah. ‘Min ahlil Madinah’. Pada malam itu, saya menghabiskan sepertiga malam bersamanya, berbincang tentang banyak hal, terutama tentang satu nama, ayah kaum mu’minin di seluruh dunia, Rasulullah SAW.

“Rasulullah menyebut istri-istrinya sebagai ummul mu’minin. Kita bisa menemukan informasi ini pada hadits-hadits shahih, bukan? Jika ada ibunya orang-orang beriman, kira-kira siapa yang menjadi ayahnya?” Tanya Syaikh Haitsam.

Saya tersenyum, menganggukkan kepala. Rasanya tak perlu saya jawab pertanyaan itu. Kita semua tahu jawabannya.

“Dulu kaum mu’minin pengikut Rasulullah memanggil istri-istri beliau dengan sebutan ummul mu’minin, apakah itu berlaku untuk zaman dahulu saja? 14 abad yang lalu? Atau sekarang juga masih berlaku? Apakah sekarang mereka tetap ummul-mu’minin dan abul-mu’minin?” Syaikh Haitsam melanjutkan pertanyaannya.

“Masih, Syaikh.” Jawab saya. Ada kembang api yang indah meledak dan bercahaya di kepala saya. Mungkin ini yang disebut orang-orang sebagai ‘mind-blowing’ itu.

Syaikh Haitsam tersenyum. Senyum yang lembut dengan tatapan mata yang teduh. Ia menganggukkan kepalanya, seolah memberi persetujuan pada jawaban saya.

353446420 799227694900564 6292061349823101972 N - inilah.com

“Itulah sebabnya kita semua nyaman berada di Madinah. Di Masjid Nabawi. Karena kita pulang ke rumah. Orang-orang mu’min dari seluruh dunia pulang ke rumahnya, menemui ayah dan ibu mereka. Madinah adalah rumahnya orang-orang yang beriman,” kata Syaikh Haitsam.

Saya baru pertama kali mendengarkan penjelasan semacam ini. Sungguh ini penjelasan yang hebat. Sederhana tetapi betul-betul menggambarkan apa yang saya rasakan tentang Madinah: rindu, ketenangan, kebahagiaan. Seandainya kita semua pernah menangis di Madinah, di Masjid Nabawi, di Makam Rasulullah, di Raudhah, atau saat memandang Kubah Hijau, kita tahu itu bukan tangis kesedihan, tetapi tangis cinta dan rindu, juga penyesalan. Seperti anak yang ‘curhat’ habis-habisan di rumahnya sendiri, di depan ayah dan ibunya.

“Benar, Syaikh. Saya nyaman di Madinah. Seperti berada di rumah sendiri. Rasanya nyaman sekali. Rasanya tak ingin kemana-mana lagi. Dan nanti kalau saya sudah kembali ke negara saya, saya akan selalu dan terus menerus merindukan Madinah,” ujar saya.

Syaikh Haitsam tersenyum. “Alhamdulillah,” timpalnya. “Hatimu tahu tempatnya pulang.”

Saya hampir menangis mendengar kalimat itu. Angin Madinah terasa sejuk malam itu. Kami duduk berdua di pelataran Masjid Nabawi, di depan pintu 7. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Jemaah sudah tidur dan beristirahat di hotel. Seharusnya saya merasa lelah, setelah aktivitas seharian, tetapi perbincangan dengan Syaikh Haitsam terlalu berharga untuk saya lewatkan.

“Tahukah kamu?” Tanya Syaikh Haitsam. “Tidak ada satupun orang yang diizinkan datang ke Madinah, kecuali atas izin Rasulullah. Beliau sendiri yang mengeluarkan visa kunjungan itu, dengan batas waktu tertentu, akses tertentu. Orang-orang diizinkan datang ke rumah Rasulullah karena beliau berkenan menerima, karena kedekatan masing-masing mereka dengan Rasulullah. Bisa karena rasa rindunya, bisa karena tindakan, perilaku, atau perjuangannya yang disukai Rasulullah. Dari miliaran umat Muslim, bukankah banyak yang tak bisa ke Madinah? Termasuk sekarang,” lanjutnya.

Saya pernah mendengar keterangan semacam ini, tapi dari lisan Syaikh Haitsam, rasanya penjelasan ini lebih bernyawa, lebih terasa.

“Semuanya, Syaikh? Semua orang?” Tanya saya, mengkonfirmasi. Saya melemparkan pandangan ke sekeliling.

“Semuanya,” jawab Syaikh Haitsam. Mantap. “Rasulullah yang mengeluarkan visanya. Jangan dikira Rasulullah tidak tahu semua ruh yang masuk ke rumahnya, ke masjidnya, ke mihrabnya. Rasulullah tahu. Satu per satu dari kita disambut dengan cinta, karena kita beriman kepada Rasulullah.”

Saya menghela nafas panjang, membacakan shalawat dalam hati, menggetarkan dada saya. Betapa indah agama ini, betapa indah ajaran Rasulullah.

“Bahkan keberadaan kita di sini, di rumah Nabi, beliau tahu. Bagaimana mungkin beliau tidak tahu? Sementara kita di rumahnya. Beliau tahu,” ucap Syaikh Haitsam.

Tak lama, seorang perempuan Arab menghampiri kami. Sebelumnya, ia sedang berkumpul bersama keluarganya di arah tenggara tempat kami duduk. Tengah malam di Masjid Nabawi memang lebih tenang, banyak keluarga Madinah berkumpul di pelataran masjid, untuk sekadar bercengkrama dan berbincang.

“Assalamu’alaikum, Ya Syaikh, apakah Anda mau kopi? Kami sedang minum kopi,” tanya perempuan itu. Perkiraan saya, usianya sekitar 45 tahun.

Syaikh Haitsam tersenyum. “Alhamdulillah. Dengan senang hati,” jawabnya.

Perempuan tadi tampak sangat bahagia mendengar jawaban Syaikh Haitsam. Ia pun melanjutkan pertanyaan, “Dengan gula atau tanpa gula?” tanyanya.

“Tanpa gula. Terima kasih,” kata Syaikh Haitsam. Ia kemudian memberi isyarat apakah saya ingin kopi tanpa gula atau dengan gula. Syaikh Haitsam tidak berkata-kata, hanya memandang saya, tetapi saya mengerti apa yang ingin beliau sampaikan.

“Saya juga tanpa gula,” jawab saya. Kemudian melemparkan pandangan kepada perempuan tadi. Ia membalas senyum saya.

Tak lama kemudian, seorang pria datang membawa teko berisi kopi dengan gelas kecil-kecil. Ia menuangkannya di hadapan kami, lalu menata gelas kertas masing-masing di hadapan kami berdua. “Terima kasih. Syukran,” ucap saya.

Lalu perempuan tadi datang kembali dengan dua piring berisi kue. Tampaknya kue khas Madinah atau Arab Saudi. Mirip cake kelapa, dengan taburan kelapa dan gula di atasnya. Saya tidak tahu namanya. “Silakan, kebetulan kami sedang banyak makanan,” kata perempuan tadi.

Ajaib! Di hadapan saya dan Syaikh Haitsam, tiba-tiba tersaji kopi dan kue, lengkap dengan sendoknya. Saya menatap Syaikh Haitsam. Beliau menatap saya sambil tersenyum. “Silakan dinikmati, jamuan dari Rasulullah. Tuan rumah ingin kita mencicipinya,” kata Syaikh Haitsam.

Bagi saya, ini malam yang luar biasa. Hampir tiga jam kami mengobrol, topik utamanya soal Rasulullah. Saya ingin menuliskan semuanya, tapi rasanya, meskipun saya menuliskan satu buku, saya tak bisa mengungkapkan betapa luar biasanya ilmu yang saya dapatkan malam itu. Ilmu yang sanad, tersambung hingga Rasulullah.

Beberapa saat kemudian, saya berpamitan. “Besok saya harus mendampingi jemaah berangkat shalat Subuh, Syaikh,” ungkap saya. “Kami sedang menjalankan program Arbain.”

Syaikh Haitsam mengangguk. “Nikmatilah shalat di Masjid Nabi. Nilainya tak terkira. Tak seperti yang kamu mungkin tahu selama ini. Seandainya kamu tahu, siapapun yang shalat di Masjid Nabi, pada hakikatnya Nabilah yang langsung menjadi imamnya,” katanya.

Dada saya tergetar. Tubuh saya tiba-tiba merinding. Mengapa saya baru tahu ini di hari kelima? Seandainya saya memahami hakikat sesungguhnya shalat di Masjid Nabi adalah diimami Rasulullah, tak mungkin saya bermalas-malasan, tak mungkin saya menyia-nyiakan momen-momen bersama Rasulullah itu.

Sebelum berpisah, saya meminta berfoto dengan Syaikh Haitsam. Dalam sepertiga malam, beliau telah menjadi guru saya, memperkenalkan banyak hikmah dan hakikat tentang Rasulullah. Padahal, kami baru pertama kali mengenal dan bertemu.

Syaikh Haitsam pulang ke arah barat daya Masjid Nabawi. Ia berjalan cepat. Punggungnya lebar. Saya menatap punggung yang menjauh itu. Entah mengapa, malam ini hati saya dipenuhi rasa bahagia yang tak biasa. Lidah saya tak berhenti membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Ya Sayyidi, Ya Rasulullah…

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button