Hangout

Sherpa, Porter Tangguh Gunung Everest

Seorang sherpa atau pemandu pendakian Gunung Everest di Nepal berhasil menyelamatkan nyawa Ravichandran, pendaki asal Malaysia. Sherpa dikenal tangguh dan banyak membantu para pendaki Gunung Everest. Siapa sebenarnya sherpa ini?

Ravi, sapaan akrab Ravichandran, berhasil diselamatkan ketika berada di Zona Kematian Gunung Everest setelah digendong dan diseret dalam kantong tidur selama kurang lebih enam jam oleh seorang sherpa bernama Gelje Sherpa. Ia membantu Ravi selamat dari kamp III ke kamp dasar.

Peristiwa ini terjadi pada 18 Mei 2023, di mana Gelje Sherpa memutuskan menyelamatkan nyawa Ravi dengan menggendongnya turun 1.900 kaki selama enam jam dari puncak Gunung Everest, sebelum akhirnya bertemu pemandu lain yang membantunya.

Tapi siapa sherpa, dan apa sebenarnya yang mereka lakukan yang membuat mereka sangat ahli dan kuat untuk mendaki gunung? Mengutip NPR, sherpa merupakan sebutan untuk penduduk Khumbu-Valley, Taman Nasional di sekitar Everest. Kelompok etnis Nepal ini berjumlah sekitar 150 ribu. Mereka terkenal karena keterampilan memanjat gunung dan kekuatan serta daya tahan yang unggul di ketinggian.

Sherpa dikenal selama beberapa generasi, memiliki genetik alami untuk beradaptasi di lingkungan sekitar Everest. Dalam sebuah laporan, sherpa yang terkuat bisa bertahan hingga 8.000 meter (23.000 kaki). Sebagian besar sherpa akan membutuhkan oksigen di atas kamp IV.

Mereka bertugas untuk mengamankan rute pendakian, memperbaiki jalur, mengangkut persediaan, dan memandu klien ke puncak Everest dan puncak Himalaya lainnya. Sherpa bertindak sebagai pemandu dan kuli angkut, serta melakukan segalanya mulai dari membawa beban hingga mendirikan kemah. Di Indonesia pekerjaan yang dilakukan seperti sherpa ini disebut dengan porter.

Mungkin sherpa yang paling terkenal adalah Tenzing Norgay, yang pada tahun 1953 menjadi salah satu dari dua orang pertama yang mendaki Gunung Everest bersama Edmund Hillary. Keduanya berhasil menakhlukkan Everest pada 29 Mei 1953. Tenzing di usianya yang ke-19 sudah memulai ekspedisi pertamanya sebagai porter, tepatnya pada tahun 1933.

Dua tahun setelahnya, tepatnya tahun 1935, Tenzing menemani ekspedisi pengintaian Eric Shipton ke Everest. Dalam beberapa tahun berikutnya Tenzing aktif mengambil bagian dalam ekspedisi Everest dari pendaki lainnya. Atas prestasinya, Tenzing dianggap sebagai pahlawan legendaris di Nepal dan India. Ia pun menerima banyak penghargaan dari pemerintah Nepal hingga medali dari Raja Inggris, George VI.

Secara fisik, tubuh sherpa punya anomali tersendiri jika dibandingkan manusia yang lain. Seorang profesor biologi dari Universitas California, Amerika Serikat, Rasmus Nielsen, menyebut secara fisik tubuh para sherpa sudah beradaptasi dengan ketinggian, seperti tipisnya oksigen.

Laporan Berkeley News dan Washington Post pada 2019, mengungkap sebuah studi genetika tentang sherpa. Studi pada 2010 mengidentifikasi lebih dari 30 faktor genetik yang membuat tubuh orang Tibet cocok untuk dataran tinggi. Sherpa juga disebut memiliki EPAS1 atau ‘gen atlet super’, yang mengatur produksi hemoglobin tubuh, memungkinkan efisiensi yang lebih besar dalam penggunaan oksigen.

Berapa besar risikonya? Grayson Schaffer, editor senior dan penulis majalah Outside, menulis dalam sebuah artikel tahun lalu bahwa 174 sherpa pendaki meninggal saat bekerja di pegunungan Nepal (selama beberapa dekade).

Schaffer menulis, seorang sherpa yang bekerja di atas Base Camp di Everest hampir 10 kali lebih mungkin meninggal daripada nelayan komersial –profesi yang oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS dinilai sebagai pekerjaan nonmiliter paling berbahaya di AS.

“Lebih mungkin untuk mati daripada prajurit infanteri selama empat tahun pertama perang Irak. Sebagai lemparan dadu bagi seseorang yang membayar untuk mencapai puncak, bahaya pendakian mungkin dapat dirasionalisasi. Tetapi sebagai statistik keselamatan tempat kerja, angka kematian 1,2 persen keterlaluan. Tak ada industri jasa lain di dunia yang begitu sering menimbulkan kematian dan melukai pekerjanya demi keuntungan membayar klien,” tulis Schaffer.

Mengapa sangat berbahaya? Mendaki Gunung Everest bukan lagi ranah individu pendaki elite. Ini adalah bisnis besar yang bernilai ratusan juta dolar bagi negara. Ekspedisi dimulai dari sekitar US$30.000 (sekitar Rp445 juta) dan dapat mencapai US$100.000 (sekitar Rp1,48 miliar) per orang. Izin berkisar harga dari US$25.000 (sekitar Rp371 juta) untuk pendaki individu hingga US$70.000 (sekitar Rp1,04 miliar) untuk tim tujuh orang.

Dan seperti yang ditulis Jon Krakauer, penulis Into Thin Air, di The New Yorker, sherpa tidak diberi oksigen botolan sebanyak itu, karena sangat mahal untuk dibeli dan disimpan di atas gunung. Mereka cenderung lebih mudah menyesuaikan diri daripada orang Barat. Sherpa hampir tidak pernah diberi dexamethasone sebagai profilaksis, karena mereka tidak memiliki dokter pribadi di desanya yang akan meresepkan obat berdasarkan permintaan.

“Dan mungkin yang paling penting, sherpa melakukan semua pekerjaan berat di Everest, secara harfiah dan kiasan. Perusahaan pemandu yang sebagian besar milik asing menugaskan pekerjaan yang paling berbahaya dan menuntut fisik untuk staf sherpa mereka, dengan demikian mengurangi risiko bagi pemandu dan anggota Barat mereka, yang ranselnya jarang menampung lebih dari botol air, kamera, jaket ekstra, dan makan siang.”

Apa yang ada untuk melindungi mereka dan keluarga mereka? Dalam artikelnya Schaffer mencatat bahwa agen perjalanan Nepal diwajibkan oleh undang-undang untuk membeli asuransi jiwa dan penyelamatan bagi kuli angkut mereka. Para sherpa yang bekerja di atas base camp mendapatkan US$4.600 (sekitar Rp68 juta) untuk pertanggungan kematian dan US$575 (sekitar Rp8,5 juta) untuk pertanggungan medis; porter ketinggian rendah diasuransikan dengan US$3.500 (sekitar Rp52 juta), tulis Schaffer. Selain itu, setiap ekspedisi menanggung sherpa-nya, secara kolektif, dengan asuransi penyelamatan minimal US$4.000 (sekitar Rp59,4 juta).

Berapa bayarannya? Sherpa yang memimpin atau membantu ekspedisi ke Everest memperoleh sekitar US$5.000 (sekitar Rp74 juta) selama dua bulan musim pendakian di Nepal, jauh di atas pendapatan rumah tangga per kapita tahunan negara tersebut yang mencapai US$430 (sekitar Rp6,4 juta). Tetapi untuk mendapatkan uang itu, sherpa melakukan banyak perjalanan bolak-balik, membuat mereka menghadapi risiko besar. Sementara para pemandu Barat dapat menghasilkan sebanyak US$50.000 (sekitar Rp743 juta) selama musim tersebut.

Bayarannya akan terus makin tinggi karena sherpa tak hanya menjadi pemandu. Mereka juga menyediakan berbagai fasilitas seperti perlengkapan pemandu, penginapan, kedai kopi, hingga Wi-Fi agar pendaki tetap mendapat sinyal di atas pegunungan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button