News

Putusan MK Jadi Bagian Skenario Besar Langgengkan Kekuasaan

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu menyebut bahwa publik tidak bisa melihat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia minimal capres-cawapres murni sebagai putusan yang berdiri sendiri.

“Putusan MK ini adalah bagian dari desain skenario besar atau grand skenario ‘politik pelanggengan kekuasaan’. Pertama memunculkan isu penundaan pemilu,” ujar Masinton dalam keterangan yang diterima di Jakarta, dikutip Selasa (17/10/2023).

Mungkin anda suka

“Kedua utak-atik penambahan masa periode jabatan Presiden, dan yang ketiga adalah menggunakan lembaga negara yang bernama MK,” sambungnya.

Ia pun menyoroti berbagai agenda MK Senin (16/10/2023) terkait judicial review (JR) dengan materi gugatan yang hampir sama, yakni tiga gugatan pertama ditolak, namun di penghujung agenda MK justru tak konsisten dalam putusannya.

“Bahkan hakim-hakim MK yang menyampaikan dissenting opinion seperti Saldi Isra, yang juga Wakil Ketua MK, mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan keputusan MK dengan cepat. Menurut (Saldi), hal tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar,” ujar Masinton.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk  menerima uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). MK memutuskan untuk menerima perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A.

“Menetapkan untuk mengabulkan gugatan perkara sebagian,” ujar Ketua MK Anwar Usman, ketika membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Dalam permohonan yang dilayangkan 3 Agustus 2023, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Diksi berpengalaman sebagai kepala daerah itu lah yang kemudian dikabulkan Hakim MK

Di sisi lain, Wakil Ketua MK, Saldi Isra mengaku sejumlah hakim anggota MK sempat menolak gugatan perkara batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Namun, keputusan tersebut berubah.

Saldi Isra mengungkapkan perubahan sikap MK itu ditandai ketika Ketua MK Anwar Usman menghadiri Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Dia menjelaskan pada RPH untuk memutus perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 tanggal 19 September 2023 dihadiri oleh Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

“Tercatat RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman,” kata Saldi di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Hasil dari RPH saat itu, Saldi menyampaikan salah putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 ditolak dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang.

Kemudian, pembahasan putusan perkara 90-91/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, termasuk Anwar Usman.

“Beberapa hakim konstitusi yang dalam perkara nomor 29-51-55/PUU-XII/2023 yang telah memosisikan pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, tiba-tiba menunjukkan ‘ketertarikan’ dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum perkara 90/PUU-XXI/2023,” tutur Saldi.

Pembahasan jadi lebih alot ketika berubahnya pendapat beberapa hakim konstitusi mengenai hal itu. Saldi mengungkapkan dalam pembahasan ditemukan soal-soal yang berkaitan dengan formalitas permohonan yang memerlukan kejelasan dan kepastian.

“Tidak hanya itu, para pemohon perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian hari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button