Market

Wakil Ketua MPR Bandingkan Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Jokowi dengan SBY

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mengkritisi pertumbuhan ekonomi di dua periode Jokowi, kurang berkualitas. Besaran APBN hingga Rp3 ribu-an triliun tak mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan. Intinya, pertumbuhan ekonomi era Jokowi kurang berkualitas.

Angka pertumbuhan ekonomi, l;anjut Syarief, tak beranjak jauh dari level 5 persen saja. Jauh dengan era SBY. “Kami sendiri ya khususnya dari Partai Demokrat, sudah pengalaman 10 tahun dengan hasil yang cukup lumayan. Bisa diukur, pembangunan yang kita lakukan adalah membangun yang betul-betul orientasinya untuk manusia. Sejauh mana manfaat pembangunan untuk rakyat,” papar Syarief dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Membedah Target Pertumbuhan ekonomi di Tengah Isu Resesi” di persroom DPR, Jakarta, Kamis (23/2/2023).

Pada 2014, kata politikus Demokrat ini, ketika SBY baru menjabat sebagai presiden, angka kemiskinan berada di level 17,6 persen. Dalam sepuluh tahun, kerja keras yang dilakukan berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 10,9 persen. “Artinya turunnya 7 persenan (angka kemiskinan),” bebernya.

Sedangkan di era Jokowi yang sudah 9 tahun berkuasa, kata Syarief, angka kemiskinan turun namun tidak signifikan. Bahkan jauh dari harapan. “Sudah hampir 9 tahun pemerintahan, kemiskinan ekstrim malah naik, sekalipun rata-rata mulai turun kurang lebih 10,5 persen. Kini anggaplah turun 1 persen menjadi 9 persen. Tidak imbang dengan besarnya APBN di era Jokowi yang ldi atas Rp3 ribuan triliun,” imbuh mantan Menteri Koperasi dan UKM era SBY ini.

Begitu pun angka pengangguran, Syarief menjelaskan, pemerintahan SBY berhasil menurunkan dari 9 persen menjadi 5,9 persen. Saat ini, turun tipis menjadi 5,5 persen.

“Era SBY, pengangguran tumbuhnya minus 4 persen. Saat ini, tumbuhnya malah 0,56 persen. Ada tren kenaikan. Sebenarnya, ada sesuatu yang aneh dalam strategi ekonomi kita,” ungkapnya.

Dirinya juga mempertanyakan masih rendahnya pertumbuhan pendapatan per kapita saat 2014 hingga 2022. Di era transisi (2014), pendapatan per kapita rakyat Indonesia kurang lebih US$3.590, atau setara Rp53,85 juta per tahun (kurs Rp15.000/US$). Saat ini hanya tumbuh US$800 menjadi US$4.200 (Rp63 juta) per tahun.

“Mungkin ada beberapa hal yang perlu direformasi. Misalnya, infrastruktur. Pada dasarnya penting, tetapi bukan prioritas. Idealnya, infrastruktur mengikuti pembangunan sumber daya manusia sudah maju. Jangan dibalik,” ungkapnya.

Harus diakui, Presiden jokowi begitu gencar membangun jalan tol. Namun jangan salah, tidak semua yang setuju. Bahkan para sopir angkutan atau logistik berat. Lantaran tarif tol yang begitu mencekik. “Para sopir-sopir mengaku tidak mau masuk tol karena cost-nya terlalu tinggi dibandingkan lewat jalan normal. Begitu pula transportasi. Kereta api Pelambang, rugi terus. Ini infrastruktur betul-betul harus dievaluasi. Termasuk kereta api cepat Jakarta-Bandung,” tuturnya.

Dia pun mengkritisi soal menggunungnya utang di era Jokowi. Saat ini, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi, melejit hingga 40 persen. ‘Era SBY berhasil diturunkan menjadi 24 persen, sebelumnya 56 persen pada 2004. Nah, sekarang naik lagi,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button