Kanal

1 Rumah, 2 Lebaran

“Insya Allah abdi mah Lebarana enjing, kaping 21 April.” Tulis saya di Grup WhatsApp keluarga. Menginformasikan bahwa saya akan berlebaran hari Jumat besok. “Setelah salat Ied, ke Bandung.” Tambah saya.

“Abdi ge enjing.” Timpal adik laki-laki saya. Ia juga besok.

Adik ipar saya membalas berbeda. “Hayu, besok kumpul di Bandung. Yang belum berlebaran, kita buka bersama aja.” Tulisnya.

“Abdi mah masih ngantosan sidang Isbat.” Kata adik perempuan saya. Diplomatis. Padahal ketupat sudah dipesan, kuali opor ayam sudah dijerang.

“Ayah Jumat khutbah di mana?” Tanya adik saya yang lain.

Keluarga kami kerap berbeda dalam merayakan Lebaran. Tetapi itu biasa saja, tak mengurangi sedikitpun kegembiraan kami ber-Idul Fitri. Meski berlatar belakang Nahdlatul Ulama tulen, bahkan sempat menjadi pengurus teras di PWNU Jawa Barat, ayah saya menerapkan demokrasi di dalam keluarga. Anak-anaknya boleh memilih berdasarkan keyakinan masing-masing.

Jauh sebelum kisah demokrasi dalam berlebaran ini terjadi, ayah menyekolahkan tiga anaknya di Pesantren Muhammadiyah. Kekagumannya kepada almarhum KH Miskun Asy-Syatibi, ahli tafsir dari Garut, membuat saya dan dua adik saya yang lain ‘mesantren’ di Ma’had Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Pesantren yang belakangan viral karena santri-santrinya ‘study tour’ sambil umrah ke Makkah dan Madinah itu.

Mungkin ini juga yang menyebabkan saya dan dua adik saya yang lain kerap berlebaran ‘ikut Muhammadiyah’. Sementara satu adik perempuan saya, bersama ayah dan ibu saya, biasanya lebarannya ‘ikut NU’. Di rumah kami biasa terjadi, 1 rumah 2 lebaran. Satu ikut pengumuman Persyarikatan, satu lagi Nurut Umum alias NU.

Di grup WhatsApp yang saya ceritakan tadi, ayah dan ibu saya biasanya tidak ikut berkomentar. Ayah sedang sibuk menyiapkan naskah khutbah Idul Fitri, juga memastikan rumah kami siap untuk didatangi anak-cucu besok. Ibu saya kemungkinan sedang sibuk menyiapkan opor ayam terbaik kesukaan kami, lengkap dengan ketupat, sambal goreng ati, dan bawang goreng kering. “Kurupuk udangna oge tos siap.” Tentu dengan kerupuk udang. Kata ibu saya.

Inilah keluarga kami, 1 rumah 2 lebaran. Yang di waktu-waktu biasa menerapkan tagline “Malam NU, siang Muhammadiyah” untuk menjelaskan situasi di mana pada malam hari kami bisa ‘shalawatan’ dan ‘istighosahan’, siangnya kami berjuang menghidupkan ‘tajdid’ di berbagai amal usaha. Padahal sebenarnya lebih sederhana: Malamnya yang laki-laki sarungan, siangnya pakai celana. Hehehe.

Tahun ini di rumah keluarga kami sepertinya akan ada dua lebaran lagi. Bagi kami, ini bukan tentang perbedaan, tetapi artinya akan ada dua keberkahan, dua kali kebahagiaan, dua kali sungkeman. Tahun ini lebaran akan makin seru dengan dua kali opor ayam buatan Nenek!

Apakah ada pembahasan atau debat soal ‘hisab’ dan ‘rukyat’ di antara kami? Biasanya tidak. Kami sudah sama-sama tahu dan mengerti. Baik ‘hisab’ atau ‘rukyat’ keduanya punya argumentasi fiqh yang kuat. Tidak ada saling sindir juga, tidak ada yang merasa siapa paling benar. Kami dilatih untuk beragama secara merdeka dan bertanggung jawab. Yang penting nanti kami janjian ketemu di pertigaan atau perempatan menuju pintu surga. Insya Allah.

Di Indonesia, tahun ini akan terjadi dua kali panggung besar Idul Fitri. Ini sudah pasti. Maka berhentilah berdebat, berhentilah merasa paling ahli apalagi merasa paling benar. Kita tinggal berlebaran saja, ‘nafsi-nafsi’, saling menghargai satu sama lain. Bukankah indah ada dua lebaran di satu negeri?

Bayangkan mulai Jumat (21/4) besok, jutaan warga Muhammadiyah berpakaian putih memenuhi lapangan-lapangan di berbagai penjuru untuk melaksanakan salat Ied. Ada orkestra akbar di sana, takbir menggema di seantero negeri, jutaan hati berbahagia. Bayangkan mereka berdiri, mengangkat tangan untuk bertakbir, lalu serentak rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud, tahiyat, hingga salam.

Seandainya kita bisa melihat seluruh adegan itu dari langit, betapa pertunjukan akbar itu indah belaka dipandang mata. Ketika mukminin dan mukminat bergerak bersama secara kolosal, malaikat rahmat mengangkat doa-doa mereka ke Arasy dan mengirimkan kasih sayang Allah berupa kebahagiaan ke kampung-kampung negeri.

“Besok kita bertugas lagi!” Seandainya para malaikat itu manusia seperti kita, mungkin mereka akan mengatakan ini. Ada ‘shift’ kedua besok hari. Di mana gelombang warga Nahdliyin akan melakukan takbir dan salat Idul Fitri di hari Sabtu (22/4) pagi. Indonesia diganjar dua kali keberkahan akbar, dua kali rahmat akbar, dua kali kebahagiaan akbar. Seandainya kita tidak sibuk bertengkar, berdebat, nyinyir dan merasa paling benar. Betapa luar biasa kita diizinkan menjalani dua Idul Fitri di satu negeri.

Di tengah debat dan polemik media sosial yang memuakkan tentang perbedaan penetapan Idul Fitri tahun ini, yang benar sesungguhnya adalah hati para ibu yang sedang rindu menanti kedatangan anak-anaknya. Kakek yang cemas menanti ‘hilal’ kedatangan cucu-cucunya, sambil berkal-kali mata tertuju ke ujung jalan memastikan yang datang adalah orang-orang yang dicintainya. Juga kita semua yang rela bermacet-macet ria, sambil memutar shalawat atau lagu nostalgia di mobil, mentadaruskan makna pulang.

“Opor enjing tos siap!” Kata ibu saya di Grup WhatsApp. Opor ayam besok sudah siap. Lamat-lamat takbir terdengar berkumandang dari kejauhan. Hati sudah berlebaran.

“Hore!”

“Allahu Akbar!”

FAHD PAHDEPIE — CEO inilah.com

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button