Kanal

Adu Siasat Para Pencipta Raja, Siapa Antar ke Singasana

Menjelang pagelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dua tokoh besar perpolitikan tanah air Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketum Partai NasDem, Surya Paloh sedang dilanda kegusaran. Pekan lalu keduanya kompak menyuarakan hal itu yang sebab musabanya didasari pada kekhawatiran akan proses pertarungan demokrasi dalam pemilihan presiden (pilpres) nanti.

Saat perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-12 Partai Nasdem di Nasdem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta, Sabtu (11/11/2023), Surya Paloh secara terang benderang menganggap kondisi saat ini berada dalam situasi yang paling mencemaskan sepanjang sejarah republik berdiri.

“Saat ini kita berada di tanduk kerusakan yang paling mencemaskan sepanjang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita berharap semua pemimpin nasional dan rakyat tidak kehilangan kontrol,” ujar Paloh.

Dasar pemikirannya, Surya Paloh merasa ada potensi kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres yang dilakukan oleh golongan tertentu. Golongan yang disebut Paloh telah mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah ini, sedang berupaya menarik aparatur negara ke dalam politik praktis.

Pada kesempatan yang sama, Paloh juga berbicara tentang anaknya yang juga sempat didorong untuk maju sebagai calon wakil presiden (capres).  “kalau mungkin kalau anak saya berani bertanya, akan saya jawab tunggu dulu. Akan tiba saatnya,” kata Paloh.

Selang satu hari setelahnya, melalui sebuah video yang dirilis di akun Youtube PDIP, Minggu (12/11/2023), Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyampaikan kegusaran akan pelaksanaan Pilpres nanti.

Megawati menyampaikan keresahannya atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Ia menganggap putusan MK itu menunjukkan adanya manipulasi hukum akibat kekuasaan yang mengabaikan politik yang berdasar pada nurani dan kebenaran.

Mega lantas menyinggung kembali semangat pembentukan MK sebagai lembaga yudikatif yang dibentuk dari rahim reformasi, kini harus tercoreng akibat putusan soal usia capres-cawapres yang diwarnai sejumlah pelanggaran etik para hakim konsitusi.

Ia menilai bahwa putusan MK soal batas usia capres-cawapres yang memberikan jalan untuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto adalah rekayasa hukum.

“Hukum harus menjadi alat mewujudkan keadilan. Hukum harus menjadi alat mengayomi seluruh bangsa dan negara Indonesia…Rekayasa hukum, tidak boleh terjadi lagi,” kata Megawati.

Narasi yang dibangun keduanya bermuara pada satu titik, kegusaran diakibatkan dari majunya putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres nanti. Kekhawatiran akan jalannya pergantian kekuasaan tidak demokraktis menjadi bisa diterima. Biar bagaimanapun Jokowi membantah akan bersikap netral, hubungan darah dengan Gibran tidak bisa dipisahkan.

post-cover
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden memegang nomor urut peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (14/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Kerisauan juga bisa dibaca mengingat baik Mega maupun Paloh kini sama-sama sedang berperan sebagai atau pencipta raja atau king maker.

Megawati Soekarnoputri dengan kidigdayaan suara PDIP telah menunjuk Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai calon raja, sementara Surya Paloh memiliki peran penting dari terjalinnya koneksi antara Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar.

Kedua sekutu besar pada 2014 lalu, pada akhirnya kini harus bertempur di medan laga, pun dengan sosok yang mereka ‘ciptakan’ pada tahun itu, Jokowi.  

Oleh karenanya, isu kecurangan yang semarak saat ini, bisa juga kemudian dibaca sebagai gerakan politik dari strategi para king maker. Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad, ketika berbincang dengan inilah.com, memiliki keyakinan yang sama.

“Nah itu. Isu kecurangan pemilu kalau itu saya kira bagian dari strategi kampanye ya. Satu untuk meningkatkan visibilitas dari kandidat, kedua juga dimaksudkan untuk mendegradasi kredibilitas dari pihak-pihak yang dianggap sebagai kompetitor,” ujar Nyarwi.

Soal siapa beperan paling besar, tentu Jokowi. Sebab menurut Nyarwi, meskipun bukan pemimpin partai, Jokowi yang saat ini memegang tujuh partai pendukung pemerintah, memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan peta politik di Pilpres 2024.

“kalau kita lihat kan posisi Jokowi saat ini itu kan Ketua dari Ketua-ketua partai koalisi yang mendukung pemerintahannya. Dan di sana kan banyak sekali tokoh-tokoh partai yang boleh dibilang punya relasi struktural dengan Jokowi,” kata Nyarwi.

Posisi sebagai kepala negara saat pesta demokrasi juga menjadi keuntungan tersendiri bagi Jokowi.

“Jokowi kan tidak hanya di sana, tapi juga kepala negara, kepala pemerintahan yang kekuasaannya itu juga boleh dibilang dia juga panglima tertinggi TNI/Polri di situ, belum lagi berbagai sumber daya potensial yang dia bisa gunakan,” kata Nyarwi.

Kekuatan besar yang juga dipunyai Jokowi, yakni keberadaan barisan relawan yang terbukti ikut mengantarnya menjadi kepala negara pada pemilu 2014.

“Selain sumber daya yang terkait dengan pemerintahan dan aparat negara, mungkin juga sumber daya yang basisnya dari relawan, karena kan kita lihat Jokowi punya barisan relawan yang sangat aktif dan juga punya pengaruh,” kata Nyarwi.

Pun dengan Megawati. Sebagai pemegang komando partai dengan suara terbesar di Indonesia, menjadi pengaruh besar Mega sebagai king maker. Setegang apapun hubungannya dengan Jokowi, pada kenyataanya PDIP masih menjadi penopang utama roda pemerintahan Jokowi.

“Kita lihat partai ini (PDIP) kan juga partai yang menopang pemerintahan Jokowi dan kita lihat juga kekuasaan yang dimiliki partai ini, sampai hari ini juga masih cukup besar,” kata Nyarwi.

Selain itu, keberadaan Mahfud MD sebagai Menkopolhukam dan Kepala BIN Budi Gunawan juga disinggung Nyarwi membuat leluasa Mega mengatur strategi pemenangan.

post-cover
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri (kiri) dan Ketua Umum partai NasDem Surya Paloh (kanan). (Foto:Liputan6)

“Bahkan cawapresnya itu sendiri, pak Mahfud itu kan Menkopolhukam di situ, belum lagi yang konon dikabarkan misalnya Kepala BIN dekat lah, pernah menjadi ajudannya Bu Megawati,” kata Nyarwi.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah meyakini hal yang sama. Menurutnya, meski terdapat survei yang men-downgrade suara Mega, namun menurutnya keberadaan Mega justru terbukti berhasil mempertahankan elektabilitas dan juga mempertahankan eksistensi PDIP sebagai partai besar.

Ia mengaku tak sepakat bila dikatakan tingginya suara PDIP disebabkan oleh Jokowi. Sebab ia percaya, jika sekalipun Jokowi berpindah partai, PDIP tetap akan menjadi partai besar bersama Mega.

“(Hasil) lembaga-lembaga survei di bulan November, PDI Perjuangan tetap tertinggi. Itu faktor Megawati Soekarnoputri, bukan faktor yang lain. Kalau faktor yang lain misalnya, oh karena itu ada Jokowi misalnya mereka bisa menang di 2019, (misal) begitu Jokowi berpindah ke Gerindra seharusnya PDIP turun. Tapi kondisi hari ini tidak begitu. PDI tetap kuat,” kata Dedi kepada inilah.com

Sementara Surya Paloh, mesti memiliki kuasa terbatas, tapi tetap saja keberadaanya sebagai king maker masih cukup sentral dalam pertarungan politik pilpres. Justru menurutnya, baik Jokowi maupun Mega mesti hati-hati dengan langkah catur yang sedang dimainkan koalisi perubah, tentu dengan Surya Paloh sebagai pemegang komando.

Dedi mengatakan, Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) yang saat ini telah mengukuhkan sosok Eks Kepala Basarnas Marsekal Madya Muhammad Syaugi Alaydrus dengan Co-Capten Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada Kabinet Kerja dari 2014 hingga 2016, bukanlah representatif dari Surya Paloh.

“Saya termasuk yang tidak percaya bahwa Muhammad Syaugi dengan tim lainnya itu adalah tokoh yang secara utama diandalkan untuk membuat strategi pemenangan. Kenapa? Karena kalau kita sejajarkan antara apa yang ada di kelompoknya Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, ini orang-orang yang ada di Anies Baswedan jelas tertinggal. Dalam artian akses mereka terhadap kelompok-kelompok ekonom, akses mereka terhadap bagaimana strategi politik itu menghadapi persaingan yang cukup ketat, menghadapi timnya Arsjad dengan timnya Rosan saya kira cukup jauh tertinggal, dalam komposisi ketika kita melihat orang-orang itu,” kata Dedi.

Sehingga diyakini Dedi sesungguhnya terdapat tim lain yang juga disiapkan Surya Paloh. Tim yang sebenarnya sedang bekerja di belakang layar semua.

“Jadi Tim Nasional Anies-Muhaimin saya kira hanya untuk mengelabui Prabowo dan juga Ganjar. Sehingga orang-orang yang bekerja langsung (tim bayangan) dan pasti itu tidak terdeteksi oleh Ganjar maupun oleh Prabowo Subianto,” kata dia.

Siapa pihak itu? Dedi mempercayai salah satunya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebagai seseorang yang ‘menemukan’ Anies, Dedi menilai JK punya andil besar.

“Rasa-rasanya, Jusuf Kalla sebagai korporat, sebagai alumni HMI yang sama-sama kadernya juga diusung sebagai capres, yaitu Anies Baswedan, lalu beliau juga sebagai politisi, rasanya tidak akan mungkin kalau beliau tidak ikut campur,” kata Dedi.

post-cover
Presiden Joko Widodo santap siang bersama tiga calon presiden yang akan berpartisipasi pada pemilihan presiden 2024, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 30 Oktober 2023. (Foto:Inilah.com/HO-Setpres).

Bantahan JK tak akan terlibat dalam peta politik 2024, dianggap Dedi sebagai kamuflase untuk mengelabui lawan politik.“Sehingga mungkin mereka (kubu Ganjar dan Prabowo) tidak akan menelusuri aktivitas Jusuf Kalla. Dibalik itu mereka akan bergerak sangat cepat,” kata Dedi.

Memang dalam politik tidak ada yang namanya sebuah kebetulan. Segala sesuatunya sudah direncanakan sematang mungkin. Namun patut diingat pula, politik bersifat dinamis.

Bila saat ini publik disuguhkan ketegangan antara Mega dan Jokowi, bukan berarti dikemudian hari keduanya akan bertemu dititik kepentingan yang sama, kepentingan untuk melanjutkan warisan (legacy) pemerintahan.

Analisa ini, dari jauh hari sudah diungkapkan pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi. “Saya menduga, pada ujungnya keduanya itu bertemu pada kepentingan untuk melanjutkan legacy Presiden Jokowi dan meminimalisir munculnya capres yang dianggap sebagai antitesa Presiden Jokowi,” kata Burhanuddin beberapa waktu lalu.

Dengan demikian, menarik ditunggu siapkah yang kemudian mampu mengantar sang raja ke kursi singgasana  pada di pemilu 2024 nanti.

(Nebby/Diana/Vonita)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button