Kanal

Intimidasi Jelang Pemilu, Reformasi Rasa Orde Baru


Sejatinya, pemilu adalah pesta demokrasi yang semestinya menggembirakan rakyat. Namun bagaimana jika pesta tersebut malah memunculkan rasa takut?

… Ya, ya bagong namanya, pemilu kemarin besar jasanya.
Bagong ya bagong, tapi bagong sudah mati.
Pada suatu pagi, mayatnya ditemukan orang di tepi rel kereta api…. 
(Sajak Bagong)

… Di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh.
Terhisap dan menanggung utang.
Di sini, gali-gali, tukang becak, orang-orang kampung yang berjasa dalam setiap Pemilu.
Terbaring dan keadilan masih saja hanya janji.
(Kuburan Purwoloyo)

Penggalan dua puisi berjudul ‘Sajak Bagong’ dan ‘Kuburan Purwoloyo’ merupakan karya penyair, Wiji Thukul yang menceritakan keterkaitan antara pemilu, intimidasi, serta penembakan misterius (petrus) pada masa Orde Baru.

Kata ‘gali’ merupakan akronim dari gabungan anak liar, kerap diistilahkan sebagai preman ditugaskan untuk mengintimidasi warga agar memilih partai penguasa. Namun pada saat ‘gali’ menagih janji atas jasa-jasanya, penguasa justru melakukan pemberantasan gali.

Kemudian muncullah petrus, sebuah operasi rahasia untuk memberantas kejahatan. Sebagian orang yang dicap sebagai gali/preman di antaranya orang-orang bertato, pelaku kriminal, penjahat akhirnya tewas dibunuh tanpa pernah diadili, karena dianggap meresahkan masyarakat.

Hingga saat ini tragedi petrus masih dalam proses investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahkan Wiji Thukul yang ikut melawan penindasan rezim orde baru sejak tahun 1996, terpaksa hidup berpindah-pindah karena ancaman dari aparat.

Hingga pada 1998, Wiji Thukul tak lagi terdengar nasibnya. Bahkan makamnya pun tidak diketahui jika memang sudah meninggal dunia.

Wiji Thukul meninggalkan sejumlah puisi yang ditulis semasa hidupnya sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru.

Harapan Pemilu Jurdil di Era Reformasi

Meski era telah berganti menjadi Reformasi, namun publik menilai suasana Orde Baru kembali terasa saat Pemilu 2024.

Bahkan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) menilai proses Pemilu 2024 lebih buruk dari zaman Orde Baru. Dalam pengalamannya mengikuti pemilu, baru Pemilu 2024 ia melihat tekanan serta intimidasi begitu masif dilakukan.

Politikus senior Partai Golkar berusia 81 tahun itu menilai pemilu saat ini tak jauh berbeda dengan Orde Baru yang diakuinya ada pengarahan untuk memenangkan pihak tertentu.

“Ada, tapi tidak dengan ancaman seperti sekarang. Tidak Masif dari atas ke bawah. Tetapi sistemnya memang dikuasai,” kata JK pada 23 Januari 2024 lalu.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menjelaskan Undang-Undang Dasar (UUD) RI Tahun 1945 tidak membenarkan adanya intimidasi terhadap penyampaian pendapat.

“Kita negara demokrasi, orang punya kebebasan berpendapat kebebasan berekspresi, berorganisasi dan seterusnya,” ujarnya kepada Inilah.com.

Jika sejatinya pemilu memiliki asas langsung umum bebas rahasia (luber) dan jujur serta adil (jurdil) namun prinsip itu tidak berlaku di lapangan.

Belum lama ini ada upaya intimidasi terhadap sivitas akademika di sejumlah perguruan tinggi di tengah ramainya menolak kecurangan pemilu. Tercatat sejak akhir Januari hingga 7 Februari 2024 setidaknya ada 50 perguruan tinggi yang menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Jokowi.

Yang menjadi sorotan publik yakni pengakuan Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Kota Semarang, Ferdinandus Hindarto yang diperintah anggota Polda Jateng untuk membuat pernyataan ‘baik-baik’ mengenai kinerja Jokowi.

Begitu juga dengan intimidasi yang dialami mahasiswa Universitas Trilogi saat melakukan konsolidasi bertajuk ‘Pemilu Curang dan Pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi)’ pada Sabtu, 3 Februari 2024 lalu bersama mahasiswa perguruan tinggi lainnya.

Mereka didatangi belasan preman yang meminta penyelenggara acara segera mengubah tema konsolidasi seraya menghentikan rencana demonstrasi pemakzulan Presiden Jokowi. Sejumlah preman ini pun mengancam akan melakukan kekerasan jika rapat konsolidasi dan demonstrasi tetap dilanjutkan.

Djayadi menyayangkan intimidasi terhadap sivitas akademika yang terjadi menjelang Pemilu 2024. Padahal kritikan yang dilayangkan itu menurutnya, bagian dari upaya mendukung pemerintah.

Dirinya beralasan pemerintah yang merupakan penanggungjawab negara itu harus terus diawasi, yang pengawasannya dilakukan oleh DPR, media massa, pendidik, dan masyarakat.

“Jadi kalau ada cara-cara intimidasi, itu cara-cara negara-negara yang otoriter. Kalau ada upaya untuk mengritik, menyuarakan, itu bagian dari proses pengawasan. Supaya kita tetap berada dalam koridor yang dibenarkan,” ungkapnya.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus intimidasi yang dialami mahasiswa ketika membahas pemakzulan presiden. Karena pembicaraan mengenai pemakzulan presiden adalah bagian dari kebebasan berpendapat.

“Pemakzulan adalah hal yang sah dibicarakan karena itu diatur dalam konstitusi kita,” katanya.

Dirinya menjelaskan tiga alasan presiden kehilangan jabatannya yakni habisnya masa jabatan, pengunduran diri, atau pemakzulan sesuai dengan syarat-syarat impeachment dalam konstitusi.

Orde Baru Bungkam Mahasiswa

Apa yang dialami mahasiswa Trilogi tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru yang ketika itu tidak puas dengan pemerintahan Soeharto. Kelompok mahasiwa yang berseberangan dengan pemerintah akan terus mendapat tekanan bahkan dibungkam.

Dalam buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda, menceritakan mahasiswa kerap melancarkan kritik terhadap rezim Orde Baru pelaksanaan pemilihan umum tahun 1972 yang dinilai sarat manipulasi suara dan intimidasi militer.

Pada tahun yang sama, mahasiswa juga memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dianggapnya sebagai proyek penghamburan uang rakyat. Padahal, masyarakat masih menderita kemiskinan, namun pemerintah justru mengalihkan dananya untuk pembangunan wahana TMII.

Aksi demonstrasi terus terjadi hingga pecahnya peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Sejumlah mahasiswa yang dianggap sebagai dalang kerusuhan pun ditangkap.

Setelah peristiwa Malari, pemerintah melakukan konsolidasi ke sejumlah kampus membentuk tim dialog pada 24 Juni 1977. Karena mendapat penolakan dari mahasiswa, akhirnya militer pun menduduki sejumlah kampus.

Kemudian pada Oktober 1977, militer kembali menunjukkan kekuatannya dengan menyerbu kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Ketika itu 10 ribu mahasiswa menyerukan ‘Turunkan Soeharto’ di halaman kampus.

Aksi militer masuk kampus tidak hanya terjadi di Bandung, tapi juga di sejumlah kota lain seperti Makassar dan Surabaya. Inilah yang memicu pergerakan mahasiswa untuk terus menerus menuntut turunkan presiden pada masa itu.

Memperalat Aparat

Akhir Desember 2023 kemarin, TNI menjadi sorotan publik setelah peristiwa penganiayaan terhadap pendukung salah satu capres di depan Markas Kompi B Yonif Raider 408/Sbh Jl Perintis Kemerdekaan Boyolali, Jawa Tengah.

Peristiwa ini bermula dari sejumlah pendukung capres peserta Pemilu 2024 melintas di depan markas TNI tersebut menggunakan sepeda motor. Prajurit TNI yang berada di dalam markas merasa terganggu dengan bisingnya suara knalpot yang dipakai para simpatisan itu.

Beberapa prajurit TNI berpakaian sipil keluar dari sarangnya untuk menegur pengendara hingga berujung penganiayaan. Akibatnya tujuh orang mengalami luka-luka dan langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Mengenai hal ini, Pengamat Komunikasi Politik, Henri Subiakto menyayangkan aksi kekerasan itu terjadi saat pemilu. Sehingga mengingatkan dirinya seperti di era sebelum Reformasi.

“Kenapa harus ada kekerasan di saat politik sedang menghangat. Kok kejadian seperti ini kayak mengulang suasana di era Orde Baru dulu,” ujarnya.

Sejatinya, pemilu adalah pesta demokrasi yang semestinya membebaskan sekaligus menggembirakan masyarakat. Namun bagaimana jika pesta tersebut malah memunculkan rasa takut akan ancaman?

Aksi penganiayaan yang diduga dilakukan aparat juga sempat terjadi di Gunungkidul, DIY pada 30 Januari 2024. Ketika itu kunjungan Presiden Jokowi dikejutkan dengan aksi warga yang membentangkan spanduk dukungan kepada Ganjar Pranowo di pinggir jalan.

Secara tiba-tiba muncul dua orang pria berpakaian sipil yang langsung merebut paksa spanduk tersebut seraya mengamankan pria yang membawa spanduk ke pinggir jalan. Bahkan sempat terjadi aksi pemukulan di tengah ring satu pengamanan presiden. Namun Paspampres membantah aksi tersebut dilakukan oleh anggotanya.

Ketua Lembaga Penelitian dan Advokasi Independen Centra Initiative, Al Araf menilai kondisi Pemilu 2024 seperti kilas balik Orde Baru, salah satu khasnya yakni memperalat aparat.

Pegiat HAM itu menceritakan kepemimpinan Presiden Suharto, pemilu hanyalah sebatas formalitas. Menurutnya, pemilu ketika itu menjadi alat demokrasi untuk memindahkan kekuasaan, malah menjadi wadah untuk membentuk rezim otoriter.

Saat reformasi terjadi, Al mempercayai fenomena ini tidak akan terjadi lagi di Indonesia, tapi catatan sejarah pemilu 2004, 2009, dan 2014 mengatakan sebaliknya.

Bahkan semakin memburuk pada Pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengesahkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan kandidat cawapres berdasarkan usia.

“Kekuasaan memainkan tangannya untuk membajak pemilu dengan beragam cara dan segala cara, dan kontestasi kemenangannya. Ini (seperti) rezim pemerintahan Suharto yang memainkan pemilu untuk kemenangan dirinya dan dirinya lagi,” ucapnya.

Tak hanya itu, lanjutnya, kegiatan seperti mengumpulkan dan mengintimidasi kepala-kepala desa, serta pembagian bantuan sosial (bansos) saat proses pemilu juga menjadi contoh lain dari kilas Orde Baru di Pemilu 2024.

Perlunya Pengawasan

Djayadi Hanan yang juga dosen senior Universitas Paramadina Jakarta itu kembali mengingatkan perlunya pengawasan dari sejumlah pihak supaya Pemilu 2024 berjalan adil dan transparan.

Pengawasan tidak hanya dilakukan oleh akademisi, media massa, pemantau pemilu, serta dari masing-masing kandidat capres-cawapres termasuk partai politik.

“Dengan cara pengawasan-pengawasan itu, saya masih yakin pemilu bisa dilakukan secara jujur dan adil,” pungkasnya.

Jika pemilu berjalan secara jujur dan adil tentunya masyarakat akan berjalan dengan yakin menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pemimpin yang diusung.

Sehingga tidak ada lagi prinsip golput (golongan putih) dalam diri setiap warga negara Indonesia yang didasari atas ketidakpercayaan terhadap pemilu. 

(Harris Muda/Muhammad Hafiz Ibnu Marsal)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button