News

Banyak ‘Borok’ di Internal Kepolisian, Sistem Pengawasan Buruk

Publik dipertontonkan berbagai pembusukan alias ‘borok’ di internal kepolisian, beberapa waktu belakangan ini. Mulai dari kasus pembunuhan berencana Brigadir J oleh terdakwa Ferdy Sambo hingga kasus narkoba Teddy Minahasa.

Fenomena ini merupakan output yang buruk, mengindikasikan lemahnya sistem kontrol dan pengawasan di internal kepolisian. Di sisi lain, ‘borok’ di internal kepolisian juga membuktikan bahwa peraturan kapolri belum berjalan dengan baik dan benar.

“Mengapa sistem yang buruk ini? Salah satunya ya karena minimnya kontrol dan pengawasan. Kontrol menyangkut dengan aturan lain di internal, saya rasa di kepolisian kontrol ini sudah harus ditambah,” jelas pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto di Hotel Diradja, Jakarta Selatan, Selasa (20/12/2022).

Bambang menekankan kesalahan bukan berada dari personal masing-masing polisi, melainkan mereka terkontaminasi dari sistem yang buruk. Sehingga, sebanyak apapun polisi yang berhasil dicetak Akademi Kepolisian (Akpol), hasilnya akan tetap sama jika tidak ada perombakan sistem besar-besaran.

“Saya meyakini bahwa mereka dicetak di akademisi kepolisian itu menjadi dalam institusi pendidikan dengan kurikulum yang sangat baik,” sambungnya.

Lebih rinci dikatakan, awalnya Ferdy Sambo ataupun Teddy Minahasa, merupakan sosok yang baik. Hanya saja karena pengawasan kurang ketat, membuat mereka tergoda dan berakhir dengan melakukan pelanggaran.

Bambang mengaku sedih melihat kenyataan ini, pasalnya nama baik Korps Bhayangkara jadi tercoreng dari oleh ulah perwira tinggi yang tak tahan godaan. Ia meyakini, hal semacam ini tidak akan terjadi bila sistem pengawasan dapat dikelola dan dijalankan dengan baik.

“Awalnya mereka baik, tetapi ketika sejak masuk di institusi kepolisian yang terletak pada kontrol dan pengawasan yang ketat, yang memunculkan adalah potensi-potensi melakukan pelanggaran,” paparnya.

Selain adanya pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Kompolnas, maka diperlukan pula pengawasan partisipatif dari masyarakat.Ia menegaskan, selama ini masyarakat selalu diposisikan sebagai klien yang harus dilayani setiap membuat aduan.

Seharusnya, menurut Bambang, masyarakat dalam praktiknya diposisikan sebagai mitra kerja, yang bertugas mengingatkan para personel kepolisian, saat dirasa mulai keluar jalur.

“Maka itu perlu pengawasan partisipatif, menempatkan masyarakat sebagai aktor pendukung utama. Sistem keamanan yang baik selalu membutuhkan partisipasi masyarakat,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button