Market

Jatam: Lingkungan Rusak, Sagea Dikuasai Tambang Nikel dan Karst

Sejak pertengahan Januari 2010, Desa Sagea di Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, yang kaya nikel dan karst diincar banyak industri tambang. Sekarang lingkungannya rusak.

Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM,) Muhammad Jamil, menyebut dua tambang nikel yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Yakni, PT First Pasific Mining (FPM) dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia mendapat izin dari Bupati Halteng, hingga 2014 untuk FPM dan hingga 2030 untuk Zhong Hai.

“Tak hanya tambang nikel yang mengintai Sagea namun juga tambang karst. Pada 2019, ada rencana eksplorasi PT Gamping Indonesia, yang tergiur membongkar cadangan karst di Sagea. Rencana ini ditolak warga,” kata dia, Jakarta, Sabtu (2/9/2023).

Selain itu, lanjutnya, wilayah Sagea diincar sebagai wilayah penunjang kawasan industri. Dalam dokumen perencanaan kementerian ATR/BPN terkait RDTR Kawasan Industri Teluk Weda, akan dijadikan wilayah pemukiman dan pertanian.

“Rencananya kawasan ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja PT IWIP. Warga Sagea yang bertetangga dengan IWIP dan sehari-hari menyaksikan sendiri kerusakan di wilayah sekitar IWIP, tak ingin kerusakan serupa terjadi di kampung halaman mereka,” papar Jamil.

Namun, kata dia, warga Sagea tak ingin keindahan dan potensi wisata di kampung. Dirusak dengan kehadiran tambang. Selain berkebun pala, cengkeh, kelapa yang telah menyejahterakan mereka. “Warga juga memanfaatkan potensi wisata Gua Bokimoruru dan Sungai Sageyen yang pendapatan retribusi masuk gua saja mencapai ratusan juta rupiah,” imbuh Jamil.

“Kerusakan lingkungan, akibat aktivitas tambang dan pembabatan hutan, meluas puluhan kilo meter, hingga kampung Sagea, yang jaraknya dari operasi IWIP sekitar 10 kilometerm,” ungkap Jamil.

“Jelang peringatan 5 tahun Operasi IWIP, pertengahan Agustus lalu, sungai Sagea menguning dan tercemar karena hulunya telah ditambang oleh PT Weda Bay Nikel yang menyuplai bahan mentah ke smelter-smelter IWIP,” tandasnya.

Pegiat Geowisata, Deddy Arif mengatakan, yang dibutuhkan saat ini, adalah pembentukan tim investigasi independen yang bergerak secara objektif dan saintis. Tim investigasi tersebut nantinya harus melibatkan seluruh kalangan seperti pegiat lingkungan, warga asli Desa Sagea, pemerintah pusat dan daerah, pemerhati geowisata, serta peneliti dari berbagai lembaga.

Sebab, kata dia, sejauh ini, belum terdapat data terkait kualitas air Sungai Sagea.

“Satu keyakinan yang kita gunakan adalah dengan sedimentasi setebal saat ini di Sungai Sagea, tidak akan mungkin hanya gara-gara faktor lain yang berkembang dari dalam. Kalau melihat dari warna, ketebalan material dalam sedimen, bisa dipastikan ada aktivitas penambangan,” ucapnya.

“Bahkan, saya agak pesimis untuk mengembalikan Sungai Sagea seperti kondisi sebelum tercemar, karena sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan satu sungai di konsesi tambang yang bisa kembali pulih seperti harapan kita bersama,” tegas Deddy.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button