Kanal

Catatan Sejarah Kaum Muda, Dulu Heroik Kini Luruh Jiwa?

Sejarah mencatat, pasukan TNI berhasil melancarkan serangan di Kota Solo dan membuat penjajah Belanda kewalahan sehingga akhirnya menawarkan gencatan senjata. Belanda kemudian menyerahkan Kota Solo kepada TNI tanggal 12 November 1949. Saat acara penyerahan itulah jenderal Belanda terkejut luar biasa.

Betapa tidak, ketika berjabat tangan pada acara penyerahan Kota Solo itulah, Mayor Jendral F. Mollinger dan disaksikan Kolonel J.H.M.U.LE Ohl, baru tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang Letnan Kolonel TNI yang sangat muda bernama Slamet Riyadi. Para perwira Belanda itu baru sadar bahwa selama perang di kota itu, mereka bertempur dengan pasukan yang dipimpin anak muda berusia 22 tahun. 

Di usia mudanya itu Slamet Riyadi sudah menyandang pangkat Overste atau setingkat Letkol dan memimpin pasukan perang Resimen 26 di Surakarta. Ia sangat faham strategi perang, logistik tempur, menganalisa informasi intelijen tentang kekuatan musuh, merencanakan pertempuran, dan lain sebagainya. Terbukti ia berhasil membuat pasukan Belanda ketika itu porak poranda.

Kisah heroik kepahlawanan ini hanyalah sepenggal cerita sejarah tentang kaum muda spektakuler yang berperan penting dalam perkembangan negeri ini. Setiap zaman selalu ada tokoh muda di eranya yang berkiprah luar biasa dan ikut campur tangan dengan pikiran, ide-idenya maupun aksinya untuk perkembangan negeri ini.

Bangsa Indonesia pasti mengenal tokoh-tokoh hebat seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Ahmad Dahlan, Sultan Syahrir dan sederet nama anak muda lainnya menjadi pelopor pembaruan di negeri ini yang sudah tertindas selama berabad-abad. Puncak kebangkitan itu terjadi 95 tahun lalu atau pada 28 Okt0ber 1928 yakni pada Kongres Pemuda yang mendeklarasikan Sumpah Pemuda untuk Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.

Peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 yang terjadi di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat juga tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh muda. Seperti Chaerul Saleh dikenal sebagai pejuang dari kelompok pemuda di balik peristiwa Rengasdengklok. Chaerul memimpin rapat tersembunyi agar Soekarno dan Hatta segera membacakan proklamasi kemerdekaan.

Ada juga Wikana, berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Ada lagi Sayuti Melik yang berperan sebagai pengetik naskah proklamasi. Kemudian Sukarni, tokoh pemuda yang ikut aktif pada peristiwa Rengasdengklok dan mengusulkan agar teks proklamasi hanya ditanda-tangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Yang juga terkenal adalah tokoh Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) yang menjadi satu dari segelintir saksi perumusan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Maeda. BM Diah memiliki peran sangat penting karena berhasil menyelamatkan teks asli proklamasi yang ditulis tangan Soekarno. Sebab setelah teks itu diketik ulang oleh Sayuti Melik, teks dalam tulisan tangan lantas dibuang begitu saja ke tempat sampah. 

post-cover
Letnan Kolonel TNI Slamet Riyadi berjabat tangan dengan Perwira belanda Mayor Jendral F. Mollinger Mayor Jendral F. Mollinger dan disaksikan Kolonel J.H.M.U.LE Ohl. Peristiwa ini terjadi saat Belanda menyerahkan Kota Solo kepada TNI tanggal 12 November 1949. Ini juga menjadi sejarah sebab Slamet Riyadi yang ketika itu masih berusia 22 tahun mampu memimpin pasukan melawan Belanda.  (Foto: Sejarah-tni.mil.id)

Melihat peran penting kaum muda di setiap eranya ini, pantas Bung Karno sampai mengeluarkan pernyataan yang melegenda tentang potensi pemuda ini. “Berilah aku sepuluh pemuda niscaya aku akan guncangkan dunia,” ungkap Bung Karno.

Kaya Pengalaman dan Berpendidikan

Yang mesti diingat adalah para pemuda itu ikut berkontribusi membangun bangsa tak lepas dari latar belakang, usahanya yang keras untuk mengembangkan diri, pendidikan yang tinggi serta keberanian yang luar biasa bahkan siap mati membela negara.

Lihat saja, Dr. Soetomo yang lahir pada 1888 lulus Fakultas Kedokteran Belanda STOVIA di usia 23 tahun sudah lulus. Tak hanya sibuk mengejar ilmu kedokteran, ia juga sambil kuliah membangun organisasi pelajar yang memiliki cita-cita kemerdekaan yaitu Budi Utomo pada tahun 1908. 

Sejarah juga mencatat, Jenderal Soedirman sebagai Panglima Tentara dan Jenderal Republik Indonesia pertama dan termuda dalam sejarah. Pada umur 30 tahunan ia sudah keluar masuk hutan bersama para pejuang untuk bertempur melawan penjajah. Sementara Sutan Syahrir menjadi perdana menteri pertama Indonesia di usianya yang baru mencapai 36 tahun. 

Bung Hatta sebagai salah satu proklamator kemerdekaan sejak usia 25 tahun sudah aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Ia dikenal dunia dengan konsep ekonomi untuk mensejahterakan rakyat lewat lembaga yang kini dikenal sebagai koperasi sehingga sampai saat ini dikenal sebagai Bapak Koperasi.

Tokoh muda yang paling fenomenal adalah presiden pertama Bung Karno yang lahir 6 Juni 1901. Di usianya yang masih belia sudah masuk Hogere Burger School (HBS) pada 1915 di Surabaya. Ia juga banyak berguru tentang politik kepada HOS Tjokroaminoto serta aktif berdiskusi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker. 

Sebelum kuliah di ITB Bandung, ia sudah menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya. Di usia 26 tahun sudah mendirikan Algemeene Studie Club yang terinspirasi dari Indonesische Studie Club-nya Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal berdirinya organisasi politik yang digagasnya yakni Partai Nasional Indonesia atau PNI.

Kaum Muda di Era Kini

Apakah jejak sejarah tentang peran penting kaum muda ini masih berlangsung hingga kini? Adakah kawula muda sekarang memiliki jiwa pergerakan yang penuh heroik kenegarawanan? Ketika potensi makin berkembang, fasilitas serba ada, lingkungan kehidupan kian leluasa, dan segala daya dukung tersedia adakah jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur kaum muda bangkit demi mewujudkan Indonesia yang bersatu, maju, adil, makmur, dan berdaulat?

Pertanyaan ini menarik mengingat jangan-jangan kaum muda saat ini jiwa persatuannya retak parah akibat mekarnya ego kelompok, golongan, dan primordialisme yang menyala di tengah rebutan kepentingan yang bergelora. Luruh jiwa dan mental mereka terimbas budaya baru yang egois, manja, hedonis, jalan pintas, anarkisme media sosial dan destruktif. 

“Mereka jangan sampai menjadi generasi lemah jiwa-raganya karena dimakan anarkisme media sosial yang menjelma menjadi hegemoni budaya baru yang destruktif. Pada kaum muda yang masih genuine jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur kebangsaannya Indonesia masa depan sungguh dipertaruhkan,” kata Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dalam sebuah tulisannya di Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 28 Oktober 2017.

Kekhawatiran ini beralasan mengingat setelah orde lama, orde baru bahkan pasca reformasi, belum begitu banyak muncul anak muda berkualitas dengan pengalaman memimpin yang panjang dan teruji. Apalagi kepemimpinan gerontokrasi masih mendominasi sehingga lebih mengenyampingkan peran anak muda. Gerontokrasi merupakan sebuah bentuk pemerintahan oligarki di mana sebuah entitas diperintah oleh para pemimpin yang secara signifikan lebih tua ketimbang populasi dewasa.

post-cover
BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) membawa poster tolak politik dinasti dalam unjuk rasa di Jakarta, Jumat (20/10/2023). (FOTO: Antara/Asprilla Dwi Adha/foc)

Karena pengaruh gerontokrasi inilah, yang muncul adalah anak-anak muda karbitan yang sengaja dipoles demi kepentingan orang tuanya maupun oligarki. Ada anak bupati atau kepala daerah didorong menjadi penerus sang ayah. Menjadi pengurus partai atau kader organisasi karena privilege dan nama besar orang tuanya. Seperti yang saat ini ramai dibicarakan putra presiden bisa tiba-tiba ditunjuk sebagai ketua partai atau melenggang mulus menjadi bakal calon wakil presiden.

Mayoritas anak-anak muda yang tampil saat ini, menjadi pemimpin tanpa bekal pendidikan dan pengalaman yang cukup, tekad maupun semangat yang ‘sekadarnya’ serta tidak memiliki tujuan yang jelas terutama terkait dengan visi misi mensejahteraan orang banyak apalagi membawa kemajuan bangsa dan negara menjadi lebih baik.

Sudah bisa ditebak hasilnya. Sering kita dengar, sosok muda yang tiba-tiba namanya mencorong tak lama kemudian redup karena terjerat narkoba, korupsi atau tindakan tidak terpuji lainnya. Atau menjalankan organisasi maupun bisnis tanpa etika dan menghalalkan segala acara.

Ada satu adagium Arab yang populer tentang anak muda yakni ‘Syubbanul yaum, rijalul ghad’ yang diartikan bahwa orang muda hari ini adalah tokoh masa depan. Maknanya, jika ingin masa depan menjadi lebih baik tentu harus mempersiapkan anak muda untuk memimpin melalui pembekalan pengalaman yang cukup, serta mampu berkompetisi secara fair dan adil. Ini menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button