News

Demokrasi Semu Pemerintah, Buka Ruang Aspirasi Tolak Akomodasi Desakan Publik

demokrasi-semu-pemerintah,-buka-ruang-aspirasi-tolak-akomodasi-desakan-publik

Rabu, 07 Des 2022 – 18:20 WIB

Anomali Demokrasi Digital - inilah.com

Demokrasi yang dilaksanakan pemerintah semu. Akses informasi dan bersuara dibuka, namun pemerintah enggan menyerap aspirasi warga yang disuarakan melalui platform digital. (Foto: Ilustrasi/Arsip)

Pelaksanaan demokrasi oleh pemerintah dianggap semu. Publik diberi ruang untuk menyalurkan aspirasi namun desakan yang disuarakan tidak diserap. Hal ini dapat dibaca dari penelitian yang dilakukan Kedai Kopi.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedai Kopi, Kunto Adi Wibowo menyebutkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan memonitor cuitan dalam platform Twitter, pemerintah bisa mengakomodasi desakan publik yang aktual terjadi namun untuk urusan yang substansial tidak didengar. Misalnya, tagar penolakan terhadap undang-undang (UU) Omnibus Law, revisi UU KPK, penyelenggara sistem elektronik (PSE) Kominfo, hingga pengesahan Rancangan KUHP.

“Hipotesisnya adalah berarti ini bukan viral based policy making. Nah, pemerintah tidak semata-mata menarik kebijakan berdasarkan viralitasnya di media sosial tapi pemerintah punya peta kebijakan,” kata Kunto dalam diskusi bertajuk “Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna” di Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Sedangkan untuk aspirasi publik terkait tingginya harga tiket masuk Pulau Komodo yang diperbincangkan di Twitter sebanyak 20 ribu kali dalam satu hari, didengar. Padahal secara hitung-hitungan, jumlah perbincangan untuk urusan yang substansial menyangkut penyusunan kebijakan melalui mekanisme legislasi, lebih tinggi dibanding cuitan tingginya harga tiket masuk Pulau Komodo.

“Walaupun mungkin secara perbincangan di media sosial sangat tinggi tapi pemerintah enggak akan kasih itu, so, ini bukan viral based policy lagi,” tutur Kunto.

Dengan begitu, dia menyimpulkan, pemerintah seolah memberikan ruang bagi publik untuk menyuarakan keresahaannya melalui media sosial dan memberi harapan untuk diserap, namun untuk urusan yang substansial, hal itu tidak berlaku. “Kecenderungan penguasa hari ini untuk menyusutkan ruang sipil membuat apa yang kita lakukan di ruang sipil dalam partisipasi-partisipasi digital yang tidak berisiko itu sudah tidak bermakna lagi,” tandas Kunto.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button