KabarRamadan

Dibanding Bantu Pemerintah Zalim, Abu Hanifah Lebih Pilih Masuk Bui (1)

Zaman gemilang Khulafa ar-Rasyidin selama 30 tahun tetap tercatat dalam sejarah umat manusia sebagai contoh pemerintahan demokratis yang paling berhasil di dunia.

Di masa itu, tidak ada perbedaan antara yang memerintah dan yang diperintah. Umar Agung adalah seorang kepala kerajaan yang paling berkuasa pada zamannya, namun ia menolak mengenyam gandum sebelum seluruh rakyat mendapat bagiannya dengan mudah.

Sayangnya, masa keemasan demokrasi Islam ini tidak berusia panjang. Selama pemerintahan para khalifah yang keras dan patut diteladani itu, yang juga dijuluki sebagai “Khalifah Besi”, kekuatan-kekuatan jahat memang bersembunyi dan tidak kuasa berkutik. Para keturunan luhur Nabi harus pula mengalami pengorbanan luar biasa di dalam sejarah, tanpa perbedaan, demi menegakkan panji-panji kebenaran dan kebajikan.

Pengejaran politik yang kasar terhadap para penentangnya, yang dimulai oleh Yazid, diteruskan tanpa ampun oleh tiran Hajjaj bin Yusuf. Bahkan tokoh mulia seperti Hasan Basri dan Anas bin Malik tidak luput dari angkara murka bani Umayyah yang memerintah dan kaki-tangannya.

Dua setengah tahun pemerintahan Umar bin Abdul Aziz hanyalah percikan dalam kesuraman kejahatan yang akhirnya berkuasa. Umar bin Abdul Aziz mencoba menghidupkan kembali kebiasaan kakeknya dari pihak ibu: Faruq al-Azam. Dalam suasana gelap demikian, lahirlah Imam Abu Hanifa, yang secara berani menentang pengejaran kaum yang memerintah, dan tidak pernah mengelak dari jalan yang benar.

Abu Hanifa al-Nu’man ibn Tabit, ahli terbesar hukum agama Islam, dilahirkan di Kufa pada 80 H (699 M) semasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia seorang non-Arab keturunan Persia. Kakeknya, Zauti, memeluk Islam, dan mengenalkan Tabit, anaknya, kepada Sayyidina Ali Yang mendoakan kegemilangan keluarga itu, dan akhirnya terwujud dalam sosok Imam Abu Hanifa.

Imam ini mengalami pemerintahan sepuluh khalifah Umayyah, termasuk Umar bin Abdul Aziz, yang bertahta ketika Sang Imam baru berusia 18 tahun. Beliau juga melihat dua khalifah Abbasiyah, Saffah, dan Mansur. Tiran Hajjaj bin Yusuf yang terkenal, penindas bengis kaum Muslimin itu, mati ketika Imam Abu Hanifa berusia 15 tahun.

Semasa kanak-kanaknya, Hajjaj adalah raja-muda Irak dari kaum Umayyah. Imam-imam dan para pemimpin agama yang dihormati dan mempunyai pengaruh besar pada golongan Arab dijadikan sasaran utama bengejarannya. Mulanya disibukkan oleh kegiatan dagangnya di masa Khalifah Walid, Imam tidak banyak memperhatikan pendidikan.

Semasa pemerintahan Sulaiman, ketika pendidikan menerima perlindungan negara, rakyat menunjukkan minat belajar. Abu Hanifah mengembangkan keinginan untuk mendapat pengetahuan agama. Suatu cerita yang menarik dituturkan mengenai awal masa belajarnya. Pada suatu hari, ketika ia melewati Bazaar, ia berjumpa dengan Imam Syebi, seorang ulama Kufa yang terkenal, yang lalu menanyakan kemajuan pengetahuan sastranya.

Waktu menerima jawaban yang negatif, Imam Syebi merasa sayang, dan menasihati Hanifa muda untuk menggunakan waktu belajarnya dengan sungguh-sungguh. Imam Abu Hanifa menerima nasihat itu dengan tulus, dan belajar dengan khusyuk. Ia segera menumpuk pengetahuan dalam ilmu ketuhanan dan ilmu umum. Pada waktu itu, sastra, Fiqh dan Hadis, merupakan mata pelajaran yang diajarkan. Pergaulan dengan orang-orang Pexz, Suriah, dan Mesir yang berilmu meluaskan cakrawala studi-studi Arab.

Filsafat dan Mantiq (Logika) memasuki bidang ajaran agama, yang diberi istilah “Kalam”. Abu Hanifa, yang dianugerahi ketajaman berpikir dan kecerdasan luar biasa menjadi sangat terkenal dalam menerjemahkan dan mengungkapkan ajaran-ajaran agama. Hammad adalah salah seorang imam terbesar masa itu, dan memiliki sekolah terbesar di Kufa. Abu Hanifa mengikuti sekolahnya ini. Hammad terkesan oleh kecerdasan, kerja pandangan, dan daya ingatnya yang luar biasa dari murid baru ini Ia segera menjadi murid kesayangan.

Karena rasa hormat yang sangat terhadap gurunya yang berilmu ini, Abu Hanifa tidak membuka perguruan sendiri selama Hammad masih hidup. Padahal, kedudukannya sebagai seorang ahli hukum khusus memungkinkan hal itu. Mekkah dan Madinah, Kufa dan Basrah adalah pusat-pusat terkenal tempat berguru masa itu. Para sahabat Nabi yang dimuliakan, dan Muslimin yang terhormat bermukim di kota-kota ini, dan membanggakan lingkungan sastra mereka. Kufa dibangun di masa Khalifah Umar, dan merupakan tempat perantauan orang-orang Arab. Ia juga disebut sebagai ibu kota Ali.

Di sini tinggal lebih dari 1.000 pengikut Nabi, termasuk 24 orang yang ambil bagian dalam Perang Badar. Kota ini berkembang menjadi pusat Hadits yang termasyhur, dan Imam Abu Hanifa mengambil kesempatan penuh dari kehadiran para Muhaddits — guru Hadis — termasyhur di kota itu.

Menurut Abul Mahasin Syifai, Imam Abu Hanifa mempelajari Hadis dari 93 guru. Ia mengikuti kuliah-kuliah Ata bin Ali Rabah dan Imam Akrama, yang termasyhur sebagai guru-guru Hadis. Sebaliknya, mereka menghargai tinggi Abu Hanifa.

Imam ini pergi ke Madinah pada tahun 102 H untuk melanjutkan menuntut ilmu pengetahuan, dan mengikuti pelajaran dari tujuh ahli ilmu ketuhanan yang tertinggi.

Imam Musa al-Kazim yang masyhur dan putranya yang terkenal, Imam Jafar Sadiq, keturunan Keluarga Nabi, adalah orang-orang penting dalam pelajaran Islam di masa mereka. Imam Abu Hanifa mengambil kesempatan penuh dari kebersamaan mereka di Madinah. Beliau sangat terkesan oleh kepandaian Imam Jafar Sadiq, yang diakuinya sebagai orang terpandai di dunia Islam.

Imam Abu Hanifa juga mengikuti ajaran Imam Malik, yang 13 tahun lebih muda dari dia. Untung baginya, Umar bin Abdul Aziz telah mengatur pendidikan penelitian dan mencatat Hadis atas dasar penyelidikan. Sebelum masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pencatatan Hadis didasarkan pada ingatan belaka.

Dalam suratnya yang ditujukan kepada kalangan terpelajar di Madinah, pada 101 H, beliau meminta untuk menyelamatkan Hadis dengan mencatatnya secara tertulis. Imam Zahri menyelesaikan kumpulan Hadis yang pertama. Pelajaran Hadis juga mengalami perubahan yang tuntas. Dari mimbarnya, guru yang berilmu itu mengupas dan membahas persoalan ini. Murid-muridnya mengelilingi dia dengan pena dan kertas, dan dengan teliti mereka mencatat keterangan-keterangannya.

Imam Abu Hanifa mempelajari Hadis dari lebih 4.000 orang. Adalah karena kepercayaan pada Imam Abu Hanifa, maka ia meninggalkan murid dalam jumlah yang terbesar di dunia Islam. Di antaranya terdapat Qadi Abu Yusuf, Imam Muhammad, Hafiz Abdur Razaq, Abdullah al-Mubarak, Abu Neem Fazal, dan Abu Asim, yang memperoleh kemasyhuran luas di masa mereka. Qadi Abu Yusuf menanjak menjadi Qadi Agung pada kekhalifahan Abbasiyah di masa Harun ar-Rasyid.

Imam Abu Hanifa sangat terkesan oleh buah pikiran pembaruan Umar bin Abdul Aziz, yang untuk masa yang panjang menghidupkan kembali kegemilangan Islam seperti pada masa semula.

Kesibukan terutama Imam Hanafi adalah berdagang, terutama kain dan bahan pakaian. Usaha ini berkembang maju, sebagian besar berkat kejujuran yang sungguh-sungguh dalam usahanya. Ia sangat dipercayai oleh semua orang. Bahkan yang bukan Muslim pun percaya mempertaruhkan hartanya di tangan beliau. Ia tidak yakin pada laba yang berlebihan. Ia tak pernah berkenan mendapatkan uang dengan cara yang tidak sah dan disangsikan. [Bersambung]

Dari : “Hundred Great Muslims” oleh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan 1984

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button