Market

Ekonom CORE Indonesia: Nasib Orang Miskin Semakin Apes

Kenaikan harga komoditas ternyata hanya menguntungkan kelompok masyarakat atas. Untuk kelompok bawah atau orang miskin justru semakin apes. Upah riil mereka yang turun akibat pandemi COVID-19 diperparah dengan kenaikan inflasi.

“Inflasi menggerus rata-rata nilai upah riil kelas menengah bawah. Yang miskin menjadi lebih miskin dan yang sudah semkin miskin menjadi jatuh ke bawah garis kemiskinan. Jadi, orang miskin nasibnya semakin buruk,” kata Muhammad Ishak Razak, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia.

Mungkin anda suka

Ishak menyampaikan hal tersebut dalam webinar ‘Quarterly Review 2022: Menghadang Inflasi Menuju Kondisi Pra-Pandemi’ di Jakarta, Selasa (19/4/2022).

Ia menjelaskan, tingkat konsumsi masyarakat saat ini belum mengalami pemulihan ke level sebelum pandemi COVID-19.

Ekonom CORE Indonesia: Nasib Orang Miskin Semakin Apes - inilah.com
Dok: CORE Indonesia

“Salah satu faktor belum pulinya tingkat konsumsi adalah karena masih ada 2 juta orang yang belum kembali bekerja. Akibatnya, daya beli mereka rendah dan menyebabkan penurunan tingkat konsumsi,” ungkap dia.

Kondisi tersebut, lanjut dia, juga terekam oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan jumlah orang miskin bertambah sebanyak 1,5 juta orang ketimbang sebelum pandemi. “Terus kalau kita lihat di industri pengolahan, menunjukkan sebanyak 500 ribu orang belum kembali bekerja,” tuturnya.

Orang Miskin Terpaksa Kerja Serabutan

Hingga kuartal I-2022, lanjut Ishak, pekerja sektor formal memang mengalami pertumbuhan sebesar 5%. “Akan tetapi, angka ini belum dapat mengonvensasi pertumbuhan tenaga kerja sektor formal sebelum pandemi Covid-19 di level 10%,” timpal dia.

Sejauh ini, jumlah tenaga kerja berkembang ke sektor informal. “Hal ini bisa dilihat dari jumlah orang yang kerja serabutan, angkanya naik 6%,” ungkap dia.

Turunnya daya beli yang berakibat pada penurunan konsumsi, menurut Ishak juga karena penurunan rata-rata upah. Angkanya turun dari rata-rata Rp2,8 juta hinga Rp3 juta per bulan sebelum pandemi menjadi Rp2,7 juta pascapandemi.

Ia menegaskan, jumlah pekerjaan baru memang bertambah di sektor formal tapi upahnya mengalami penurunan. “Kalau kita lihat yang belum pulih itu di sektor akomodasi, konstruksi dan perdagangan,” papar Ishak.

Kenaikan harga komoditas yang memicu inflasi, lanjut dia, menggerus daya beli petani non-perkebunan kelapa sawit. “Upah mereka flat, karena upahnya tidak berubah tapi di lain sisi harga-harga atau inflasinya naik,” ucapnya.

Yang diuntungkan dari kenaikan harga komoditas adalah petani perkebunan crude palm oil (CPO) karena harga komoditasnya yang mengalami kenaikan. “Jadi, kalangan menengah atas dan korporasi yang mengalami keuntungan dari kenaikan harga komoditas CPO ini,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button