News

Fatsun Hilang Korupsi Terbilang: Cacat Lahir Proyek “Tol Langit”

//Pada 1970 Indonesia pernah diramalkan mampu menjadi negara no 1 di Asia. Setengah abad bergulir, hal itu belum juga menjadi kenyataan. Korupsi, terutama korupsi politik, sepertinya menjadi biang keladi kegagalan tersebut.//

Kasus korupsi pembangunan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dengan aneka sarana pendukungnya, yang menyeret menteri dan politisi Partai NasDem, Johnny G Plate, barangkali bisa jadi ilustrasi betapa rendahnya kepedulian elit politik kita kepada rakyat. Bila tergetar dengan nasib rakyat, seperti sering didesakkan ke kognisi kita melalui serbaneka cara pencitraan, kecil kemungkinan mereka tega menggangsir dana bertujuan mulia itu: memerdekakan rakyat wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) dari kebodohan dan kemiskinan.

Pasalnya, seperti dijanjikan Jokowi sendiri, proyek yang diistilahkannya “Tol Langit” itu disiapkan pemerintah untuk menggenjot industri digital, terutama guna mewujudkan pemerataan akses telekomunikasi dan informasi di daerah 3T, serta melahirkan lebih banyak peluang usaha berbasis internet yang akan memberi harapan kemakmuran di masa depan. Artinya, proyek Badan Aksesibilitas Telekomunikasi atau BAKTI, perusahaan di bawah Kementerian Kominfo, melalui kerja sama dengan perusahaan operator seluler berlisensi untuk menyediakan layanan 4G di 7.904 desa terkategori 3T itu memiliki tujuan mulia demi kepentingan rakyat banyak.

“Kita bangun Palapa Ring, ini (upaya) tersambungnya backbone dengan broadband berkecepatan tinggi. Di Indonesia Barat kita sudah 100 persen. Di Indonesia Tengah selesai 100 persen, dan Indonesia Timur akan kita selesaikan,” kata Jokowi, pada 17 Februari 2019. Situs resmi BAKTI Kemenkominfo menyebut “Tol Langit” yang disebut Jokowi itu merujuk pada Palapa Ring; infrastruktur internet yang terdiri atas kabel optik, gelombang mikro, dan menara BTS 4G. Perkara yang kini tengah heboh jadi percakapan di media apapun. Tetapi tampaknya seperti biasa, sebelum ada isu lain yang menggantikannya.

Jadi isu politik

Tentu saja pemberitaan terkait kasus tersebut menimbulkan pula isu-isu lain sebagai aksesoris. Yang mencuat kuat adalah bahwa proses penyelidikan dan ‘pembukaan’ kasus itu ke publik, tak lain sebagai bagian dari upaya untuk menjegal langkah politik seseorang. Karena NasDem terlibat sangat kuat, parpol besutan Surya Paloh itu pun ikut menjadi target. Singkatnya, ini lebih ke permainan politik untuk menekan lawan yang berbeda kepentingan, dibanding upaya lugas penegakan hukum.

Imajinasi publik pun kian liar manakala di medsos bermunculan video, meme, dan segala produk digital yang memperlebar cakupan persoalan. Misalnya, bahwa ‘penikmat’ dana yang dimaling itu juga melibatkan tokoh-tokoh lingkaran dalam (inner circle) kekuasaan. Atau bahwa tak sekadar NasDem, tapi sekian parpol tertentu pun kecipratan dana haram itu.

“Butuh waktu empat bulan kami menaikkan (tahap) penyelidikan ke penyidikan, dan butuh waktu delapan bulan lagi kami baru menetapkan tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi. Ia menjelaskan, kasus itu sudah diselidiki Kejagung sejak Juli 2022. Baru pada Oktober 2022 penyidikan dimulai.

“Saya rasa dari hitungan waktu bisa kita simpulkan bahwa kami sama sekali tidak punya agenda atau keterkaitan dengan kegiatan politik,” kata Kuntadi dalam program bincang-bincang “Satu Meja The Forum” yang digelar Kompas Tv, Rabu, 17 Mei lalu.

Akan halnya kabar santer bahwa dana curian itu dinikmati tiga parpol besar, tidak hanya Menko Polhukam, Mahfud MD, yang menutup pintu penelusuran ke arah itu. Alasan Mahfud, semua itu hanya gossip politik. Di sisi lain, elit partai-partai yang cenderung berada dalam sasaran tudingan pun menampik.

“Saya tidak mendengar, saya tidak melihat, dan saya memastikan tidak ada merah (PDI-P) masuk di (proyek) BTS. Saya garansi soal itu,” kata Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/5) lalu.

“Pertama, kalau kita bicara soal hukum, yang harus kita jadikan dasar adalah fakta hukum yang valid dan teruji kebenarannya,” kata Ketua DPP Partai NasDem, Taufik Basari, Rabu (24/5) lalu. “Kita jangan berpijak pada narasi yang dikembangkan, yang belum ada dasar faktualnya.”

Pihak Gerindra pun membantah partainya kecipratan dana haram korupsi BTS. “Saya membantah soal dugaan adanya aliran dana ke partai Gerindra,”kata Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, Rabu (24/5). Ia dan para rekannya di Gerindra justru kaget mendengar tudingan adanya aliran dana tersebut. “Keterkaitannya dengan kami memang tidak ada sama sekali soal BTS itu.”

Namun tak kurang pula yang skeptis dengan bantahan tersebut. Mereka umumnya mengatakan dugaan aliran dana korupsi sampai ke parpol itu dikarenakan banyaknya komponen proyek yang jadi ‘mainan’. “Karena ada supplier barang yang diduga mahal, dan itu diduga juga (melibatkan) partai berbeda,” kata Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman kepada Inilah.com.

BTS 4G di daerah 3T (Foto kominfo) - inilah.com
BTS 4G di daerah 3T (Foto kominfo)

Malah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menyatakan haqqul yaqin soal adanya aliran dana tersebut. Menurut Uchok, biasanya parpol akan berdalih tidak mengetahui sumber uang yang diberikan kadernya yang terjerat korupsi. Hal itu merupakan salah satu cara untuk memutus mata rantai aliran uang hasil korupsi yang masuk ke partai.

“Itu bisa sumbangan pribadi, atau bisa riba (mungkin yang dimaksud uang haram—red). Jadi, bisa aja NasDem mengelak, “Ini bukan uang korupsi. Tapi, sumbangan pribadi Johnny G Plate”. Uang Plate kan bukan dari hasil korupsi saja, bisa macam-macam,” kata Uchok kepada Inilah.com. Dengan sekian banyak kegiatan yang harus dibiayai, banyak proposal yang harus diakomodasi, Uchok yakin hal degil pun terjadi. “Uangnya dari mana selama ini?” kata dia, retoris.

Bila proyek itu kemudian bermasalah, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Ketut Sumedana, mega proyek tersebut memang sudah cacat sejak awal. Hal yang segera mengingatkan kita akan korupsi E-KTP sekian tahun lalu, yang sering dikatakan mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

“Proyek itu sudah diatur terlebih dahulu. Artinya, pelelangan itu sudah tidak fair. Sudah bermasalah sejak awal (karena) sudah diatur siapa yang jadi pemenang, siapa yang jadi ini, itu, sudah diatur,” kata Ketut, saat Inilah.com menyambangi kantornya, Rabu (24/5) lalu.

Menurut Ketut, indikasi bermasalahnya proyek tersebut bahkan sudah dimulai dari studi kelayakan (FS). Untuk diketahui, studi kelayakan itu dibuat oleh tenaga ahli Human Development Universitas Indonesia, Yohan Suryanto, yang kini berstatus tersangka. Menurut Ketut, Yohan kepada penyidik mengaku mendapatkan pesanan untuk membuat riset abal-abal untuk kepentingan BAKTI Kominfo. Pernyataan Ketut itu seiring-sejalan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. BPK menemukan, pada tahap prakualifikasi atau penilaian kompetensi badan usaha pun sudah bermasalah, di mana tidak tercantum soal ruang lingkup dan batasan pelaksana pembangunan, termasuk tidak adanya persyaratan pengalaman pemba-ngunan BTS dan infrastruktur pendukungnya.

Yang juga diingatkan Ketut, Kejagung sampai saat ini hanya mendasarkan pada satu berjalan ditambah addendum, jadi dua tahun. “Kami hanya mengambil berdasarkan waktu pekerjaan. Berarti cuma satu tahun berjalan, ditambah dengan adendum jadi dua tahun. Sedangkan proyek ini, (dengan total anggaran) Rp 28 triliun itu untuk lima tahun berjalan,” kata Ketut. Artinya ada beberapa bagian yang belum dikerjakan atau dieksekusi. “Yang kami pakai (sidik) itu yang sudah diekseku-si,” kata Ketut.

Yang mengejutkan para penyidik, kata Ketut, proyek yang mestinya dikerjakan selama tiga tahun pun ternyata dirancang selesai hanya dalam satu tahun.”Ada pembelian-pembelian yang dilakukan dengan mark-up harga,” kata dia. Selain itu juga ditemukan indikasi manipulasi pertanggungjawaban progres proyek, di mana proyek yang belum selesai sudah dibayarkan 100 persen.

Itu pula yang membuat pemerintah gusar. Mahfud MD mengatakan, awal masalah proyek senilai Rp28 triliun itu terjadi ketika pemerintah mencairkan anggaran awal senilai Rp10 triliun pada 2020. “Namun pada Desember, saat laporan penggunaan dana harus dipertanggungjawabkan, hingga Desember 2021 hasil tower-nya tidak ada. Alasannya COVID-19,” kata Mahfud, Senin (22/5) lalu. Secara hukum, mestinya permintaan pengelola untuk perpanjangan sampai Maret 2022 itu tidak diluluskan, namun justru diberikan. Pada saat penyerahan laporan, Maret 2022, pengelola proyek mengaku telah mendirikan 1.100 dari target 4.200 menara BTS. Namun setelah diperiksa satelit, yang terdeteksi hanya 958.

BTS 4G di daerah 3T (Foto Antara) - inilah.com
BTS 4G di daerah 3T (Foto Antara)

Yang kebangetan, dalam laporan Kominfo yang termaktub di hasil pemeriksaan BPK nomor 68A/LHP/XVI/05/2022, dari 4.200 BTS yang rencananya dibangun pada 2021, hanya 32 BTS yang tuntas 100 persen, sisanya 4.168 BTS, belum selesai.

Tapi tentu saja bukan tak ada jawaban versi pengelola proyek. Handika Honggo Wongso, pengacara Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan, menyatakan perhitungan negara yang dilakukan BPKP itu parsial, tidak komprehensif. BPKP menurutnya hanya menghitung presentasi terbangunnya BTS berdasarkan cut of proses pembangunan BTS hingga Maret 2022.

“Kerugian Rp8,3 triliun itu karena BPKP cut of proses pembangunan BTS paket 1,2,3,4 dan 5 per maret 2022, dengan progres komulatif BTS terbangun sekitar 20 persen,” kata Handiko, beberapa waktu lalu.

Ia mengklaim, anggaran dengan nilai Rp8,32 triliun yang dianggap kerugian negara tersebut, 90 persennya diperuntukkan untuk belanja perangkat BTS, angkutan sampai lokasi dan kontruksi BTS hingga Desember 2022.

Soal progres terbangunnya tower pun menurut Handiko sudah mencapai 90 persen. Meski mengakui kalau progres tersebut belum dilaporkan di Berita Acara Serah Terima BTS dengan BAKTI, ia beralasan hal ini lantaran keburu disidik oleh Kejagung.”Akibatnya tidak diperhitungkan oleh BPKP dalam audit,” ujar Handika yang juga sempat menjadi pengacara mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.

Sedangkan pengacara tersangka Johnny G Plate, Ali Nurdin yang disodori pertanyaan oleh Inilah.com, mengaku belum bisa bersuara banyak.”Masih lagi bentuk tim,”ujar Ali kepada Inilah.com, Kamis (25/5), singkat.

Sejauh ini Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka, yakni Direktur Utama Bakti Kominfo, Anang Achmad Latif, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak, Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia, Yohan Suryanto, Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali, Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan, mantan Menkominfo Johnny G Plate dan Windi Purnama, orang kepercayaan Irwan Hermawan.

Korupsi Politik

Sejatinya wajar saja bila korupsi yang melibatkan menteri di kabinet itu sebagai tersangka maling itu menjadi isu politik. Seringkali bahkan korupsi jenis itu disebut “korupsi politik”.

Mantan Hakim Agung, alm Artidjo Alkostar, mendefinisikan korupsi politik seba-gai “korupsi yang dilakukan oleh presiden, kepala negara, ketua atau anggota parlemen dan pejabat tinggi pemerintahan”. Korupsi ini terjadi ketika pembuat keputusan politik menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaannya.

Artidjo juga mengatakan, bahaya korupsi politik jauh lebih dahsyat daripada korupsi biasa. Bagi Artidjo, korupsi politik adalah pelanggaran hak asasi rakyat, yang berdampak pada terenggutnya hak-hak strategis rakyat.

Parahnya, data KPK memperlihatkan maraknya korupsi politik ini di Indonesia. Sejak 2004 hingga 2022 saja, dari total 1.519 tersangka di KPK, ada 521 tersangka yang memiliki irisan dengan politik, mulai dari anggota legislatif (DPR RI dan DPRD) hingga kepala daerah (gubernur, wali kota, atau pun bupati). Sekali lagi, itu baru yang ditangani KPK, belum data Kejaksaan.

Artidjo benar ketika menyatakan bahwa korupsi memiliki bahaya yang dahsyat. Penelitian di 37 negara pada 1998 yang membuat Sanjeev Gupta, Hamid Davoodi dan Rosa Alonso menulis “Does Corruption Affect Income Inequality and Poverty?”, mendapati bahwa korupsi mempunyai dampak signifikan terhadap ketidaksetaraan sosial, baik dalam hal pendidikan, distribusi pertanahan dan pendapatan. Bahkan dampak korupsi terhadap pendapatan jauh lebih kuat.

Jhonny G Plate, Kejagung, Bakti Kominfo, Jakarta Selatan, Korupsi, Menkominfo, Tersangka, Jhonny G Plate, - inilah.com
Kejagung resmi menetapkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4 dan 5 Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo tahun 2020-2022. (Foto: Didik Setiawan/Inilah.com)

Pada negara, fenomena korupsi memberikan dampak buruk. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan salah satu dampak korupsi adalah memengaruhi persepsi. “Korupsi ini bisa mempengaruhi persepsi. Misalnya investor yang mau investasi ke Indonesia, tapi karena lihat ternyata tingkat korupsinya tinggi, ia tak jadi,” Ahmad Heri kepada Inilah.com.

Bagaimana persepsi orang luar kepada negeri ini? Perlu survey dari lembaga kredibel, tentu. Hanya, paling tidak selama pemerintahan Presiden Jokowi saja, setidaknya tujuh menteri atau ketua umum partai, tercatat terlibat korupsi. Mereka, antara lain, Ketua Umum Partai Golkar (saat itu), Setya Novanto yang terlibat dalam di kasus korupsi E-KTP dan divonis 15 tahun penjara. Setelah itu ada Romahurmuziy, ketua umum PPP yang divonis dua tahun penjara, Mensos Idrus Marham yang terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar; Menpora Imam Nahrawi yang dijatuhi tujuh tahun penjara, denda Rp 400 juta dan membayar uang pengganti senilai Rp 18.154.230.882; Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, yang dijatuhi hukuman penjara lima tahun; Mensos Juliari Batubara, yang mencuri bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19 dan divonis 12 tahun penjara; serta Johnny G Plate saat ini.

“Tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partai,”tulis mantan anggota DPR, Imam Anshori Saleh. “Yang ada, partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya juga tidak pernah mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya,” Imam melanjutkan artikel popular “Korupsi (Atas Nama) Partai,” yang dimuat Koran Tempo, Senin, 24 Oktober 2016 itu.

Korupsi pula, tampaknya, yang membuat negeri ini susah menjadi negara maju. Padahal, seorang diplomat terkemuka AS yang lama tinggal di Indonesia, Howard P. Jones, pada artikelnya di Reader’s Digest edisi Asia, April 1970, “Turnaround in Indonesia”, menulis: “Adapun untuk masa depan, berbagai pertanda adalah cemerlang. Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi bangsa Asia No. 1 dalam perkembangan ekonomi dalam 30 tahun mendatang, terkecuali Jepang dan barangkali Cina yang menjadi tanda tanya besar itu. Indonesia memiliki sumber daya alam, dan mempunyai rakyat [sumber daya manusia] berkualitas yang berakar dalam tradisi budaya yang vital.” Sayang, 50-an tahun berlalu, prediksi itu belum menjadi kenyataan. [dsy/Nebby/Rizky/Diana/Emirald]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button