News

Gerindra Nilai Gugatan Masa Jabatan Ketum Parpol Keliru

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Fadli Zon, menegaskan masa jabatan ketum parpol sudah menjadi urusan internal setiap parpol. Ia pun menjelaskan, bahwa jabatan parpol dengan jabatan publik, tentu berbeda. Maka lucu bila digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi kalau kita lihat parpol adalah satu institusi yang bergerak di dalam aturan, yang disepakati oleh semua anggotanya dan pimpinannya,” jelas Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2023).

Mungkin anda suka

“Jadi saya kira agak berbeda dengan jabatan-jabatan publik, seperti jabatan presiden (yang) dibatasi dua periode begitu. Bahkan kalau kita lihat DPR saja tidak dibatasi, ya karena memang itu merupakan hak konstituen,” lanjutnya.

Fadli menyatakan bahwa tak ada batasan berapa periode pada anggota DPR, karena hal ini merupakan bagian dari aspirasi rakyat, begitu pula dengan ketum parpol. “Begitu juga dengan Ketum parpol, kalau masyarakatnya, anggotanya, atau yang menjadi pengikutnya, menginginkan ketumnya adalah si A, ya apa boleh buat ya, karena itu kan proses yang demokratis. Kalau dibatasi justru bisa tidak demokratis,” terangnya.

Lalu perihal dinasti politik yang seringkali disinggung dalam masa jabatan ketum parpol ini, Fadli hanya menyebut bahwa anggota perlu diedukasi terkait hal ini. “Masalahnya kita melihat bahwa proses dinasti itu bisa terjadi bisa tidak, termasuk di negara-negara yang paling demokratis sekalipun. Oleh karena itu, harus mengedukasi juga anggota bahwa pilihlah orang-orang terbaik untuk menjadi pemimpinnya kira-kira begitu,” pungkas Fadli.

Sebelumnya, warga Nias bernama Eliadi Hulu dan warga Yogyakarta bersama Saiful Salim, menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (parpol) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini belum diregistrasi secara resmi di MK, namun baru tercatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) per 21 Juni 2023 nomor 65/PUU/PAN.MK/AP3/06/2023.

Melalui berkas permohonannya, keduanya berharap agar MK dapat mencantumkan syarat masa jabatan ketum parpol, maksimal 2 periode dalam beleid itu. Karena selama ini, tidak ada pengaturan terkait hal ini dalam UU Parpol tersebut.

“Sebagaimana halnya kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh masa jabatan tertentu, demikian pula halnya dengan partai politik yang dibentuk atas dasar UU a quo dan juga merupakan peserta pemilu, sudah sepatutnya bagi siapa pun pemimpin partai politik untuk dibatasi masa jabatannya,” ucap penggugat melalui berkas permohonannya, dikutip dari situs resmi MK, pada Senin (26/6/2023).

Merkea menilai bahwa pembatasan masa jabatan ketum parpol diperlukan, agar tak ada pemanfaatan dalam melanggengkan kekuasaan. Mereka pun menggugat Pasal 23 ayat 1 yang berbunyi:

“Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.

diubah menjadi: “Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut”.

Keduanya pun memberi contoh PDIP dan Partai Demokrat sebagai bentuk dinasti politik di Indonesia, yaitu PDI Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat. Ketum PDIP sudah 24 tahun menjabat dan anaknya menjadi Ketua PDIP.

Sedangkan Partai Demokrat, dari Ketum SBY, jabatannya diturunkan kepada anaknya, AHY dan SBY bergeser menjadi Ketua Majelis Tinggi. Sedangkan anak kedua SBY, Edhie Baskoro atau Ibas, menjadi Waketum Partai Demokrat. “Hal ini telah membuktikan adanya dinasti dalam tubuh parpol,” imbuh penggugat.

Oleh karena itu, keduanya pun memohon MK menetapkan dengan tegas masa jabatan Ketum Parpol. “(Pembatasan) akan menghilangkan kekuasaan bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk melanggengkan kekuasaan,” tutupnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button