News

Harap-harap Cemas ‘Pengusaha Pemilu’ Menanti Putusan MK

Ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membuat omzet miliaran rupiah melayang, para ‘pengusaha pemilu’ terancam gigit jari bila para pengadil konstitusi gegabah memutuskan perkara.

Polemik sistem proporsional tertutup vs sistem proporsional terbuka, menggantung nasib 300 ribuan calon anggota legislatif (caleg) yang akan berlaga dalam kontestasi Pemilu 2024.

Saat ini uji materi yang ingin merubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup masih berlangsung, belum ada putusan final. Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menerima kesimpulan dari semua pihak terkait terhadap gugatan ini pada Rabu (31/5/2023). Seiring dengan itu, turut tersebar rumor, bahwa MK akan mengabulkan gugatan tersebut.

Bila rumor ini menjadi kenyataan, kemudian MK memutus sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024, tentu akan membawa banyak perubahan. Sebab, nantinya pemilih hanya disajikan gambar partai untuk dicoblos di bilik suara, siapa yang akan menjadi wakil rakyatnya, partai yang menentukan bukan lagi kehendak rakyat.

Bukan saja sistem coblos yang berubah, para caleg yang sudah memiliki basis di dapilnya selama ini, terancam kehilangan suara pendukung loyalnya. Nomor urut yang dimiliki juga berpotensi dikocok ulang, mungkin bagi caleg senior yang sudah punya kedekatan dengan elite partai masih bisa menemukan cara untuk mengakali situasi ini.

Tapi lain ceritanya bagi para caleg junior atau pendatang baru, tentu kecil peluang mereka mendapatkan nomor urut teratas, maka nyaris sirna juga harapan mereka untuk bisa menduduki kursi empuk anggota dewan, bila sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup.

Selain caleg, para ‘pengusaha pemilu’ yang notabene adalah pelaku usaha percetakan atau sablon atribut partai, konveksi kaus kampanye caleg hingga penyedia jasa konsultan politik pun saat ini juga sedang harap-harap cemas, menanti kepastian apakah sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan atau tidak. Mengapa demikian?

Gelaran pesta demokrasi sejatinya juga merupakan momentum meraup untung bagi para ‘pengusaha pemilu’. Mari kita lakukan hitung-hitungan kasar. Saat ini di pasaran, ongkos mencetak satu kaus partai untuk keperluan kampanye ada di kisaran Rp12.000-Rp17.000 per kaus. Minimal pemesan untuk satu orang caleg, di kisaran 1.000 pcs, dan bisa lebih dari jumlah itu, sesuai kebutuhan kampanye.

Setidaknya seorang caleg untuk lolos—misalnya tingkat DPRD—membutuhkan sekitar 5.000-8.000 suara, berarti untuk kegiatan promosi dalam kampanye, caleg tersebut harus mengeluarkan biaya minimal Rp60 juta untuk mencetak kaus partai, belum termasuk biaya cetak atribut kampanye lainnya.

Sudah bisa dibayangkan, berapa kisaran omzet yang akan diterima oleh para pelaku usaha sablon dan konveksi bila mendapatkan orderan di musim kampanye. “Orang tuh sekalinya order bisa ratusan juta, bahkan bisa miliaran,” tutur Elly Asmar, pemilik toko Azella di Pasar Senen, kepada Inilah.com, dikutip Minggu (4/6/2023).

Wanita berusia 45 tahun yang akrab disapa Sherly ini menjelaskan, omzet miliaran yang ia sebut sebelumnya bukan isapan jempol semata. Ia mengklaim, pada gelaran pemilu 2014 saja, tokonya mampu meraup omzet hingga Rp6 miliar. Bahkan, tambah Sherly, saat ini sudah ada sejumlah caleg yang mengorder kaus kampanye untuk Pemilu 2024.

“Karena mereka gini loh, satu saja kita pegang semuanya itu ikut. Misalnya satu daerah nih, apalagi kita pegang ketua DPW atau DPC minimal lah ya, nah mereka itu pada ikut (order) anak buahnya yang maju caleg, ikut dengan arahan ketua DPW atau DPC,” tutur Sherly.

Ia pun berharap MK sebagai pengadilan konstitusi bisa memberikan putusan yang adil, tidak hanya memperhatikan dari sisi hukum dan politik semata, tapi juga mempertimbangkan nasib kelangsungan usahanya. “Sedih juga sih kalau pakai sistem pemilu tertutup, otomatis kita pedagang ini tidak dapat orderan lagi dari para caleg,” harap dia.

Begitupun dengan Andi Saputra, pemilik toko Kencana di pasar Poncol, Jakarta Pusat, yang mengaku bisa kehilangan omzet sebesar 70 persen jika sistem pemilu diubah menjadi tertutup.

“Bisa 70 persen lah turunnya, jauh, karena yang beli hanya partai saja. Kita kan ramai karena calon legislatif, perorangan, kalau terutup kan coblosnya partai, ya otomatis yang belanja ketua-ketuanya saja,” kata Andi kepada Inilah.com, di Jakarta, dikutip Minggu (4/6/2023).

Menurut dia, bila keputusan para hakim MK mengabulkan gugatan, tentu akan sangat merugikan para UMKM konveksi spesialis menerima pesanan atribut partai politik. Andi mengungkapkan, biasanya saat musim kampanye, dirinya bisa mendapatkan untung 10-20 persen dari pesanan para caleg.

“Bisa Rp2 miliar lah kotornya per tahun ya, karena kalau untuk partai ini untungnya enggak banyak, kalau untuk caleg omzet memang lumayan banyak ya, untung bisa 10 persen, paling banyak 20 persen lah dari omzet,” ujar dia.

Selain level UMKM seperti pengusaha sablon dan konveksi kaus, putusan MK juga bisa mengganggu pemasukan sejumlah lembaga survei. Eits, tunggu dulu! Jangan diartikan bahwa lembaga survei atau hasil survei bisa dibeli, bukan itu maksudnya!

Terdapat beberapa lembaga survei yang memang menyediakan jasa konsultan, biasanya mereka menerima orderan dari caleg yang membutuhkan konsultasi atau nasihat politik agar bisa memenangkan persaingan kontestasi politik lima tahunan. Info dari berbagai sumber mengatakan untuk setiap satu orang caleg yang ingin menggunakan jasa konsultan ini, harus merogoh kocek antara Rp400 juta hingga Rp1 miliar. Benarkah?

Beberapa lembaga survei yang dikonfirmasi oleh Inilah.com, menolak menyebut angka pasti soal biaya konsultasi politik. Namun mereka membenarkan bahwa keputusan sistem pemilu bisa memberikan dampak bagi pemasukan lembaga survei yang memiliki divisi konsultasi politik di dalam organisasinya.

“LSI Denny JA sudah banyak punya klien yang dimenangkan baik di pileg, pilkada maupun pilpres, sudah lebih dari 30 gubernur seluruh Indonesia dan hampir 100 wali kota atau bupati dan tak jarang sudah juga 4 kali berturut-turut order ke kami. Tentu ada dampaknya dari itu (sistem pemilu diubah) tapi tak signifikan,” jelas peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah di Jakarta, dikutip Minggu (4/6/2023).

Nasib para ‘pengusaha pemilu’ di bidang jasa konsultasi politik, ternyata masih jauh lebih beruntung ketimbang pelaku usaha sablon dan konveksi. Karena, mereka masih memiliki pasar pilkada dan pilpres, untuk menjadi alternatif pemasukan bila benar nantinya sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup.

“Sehingga kerja para lembaga survei akan berkurang di pileg ya, tapi di pilkada dan pilpres mereka masih dibutuhkan. Saya pikir kalau (sistem pemilu) tertutup kan itu hanya di tingkat legislatif ya, kalau pilpres dan pilkada masih ada pasarnya,” ungkap peneliti Lembaga Survei Lintas Nusantara, Emrus Sihombing di Jakarta, dikutip Minggu (4/6/2023).

MK segera memutus sistem pemilu

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima berkas kesimpulan dari 10 Pihak Terkait dalam gugatan uji materi sistem proporsional terbuka pada hari ini, Rabu (31/5/2023). MK akan segera menentukan putusan apakah sistem Pemilu 2024 tetap proporsional terbuka atau diubah menjadi tertutup.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, berkas kesimpulan telah diserahkan oleh Pemohon, Pemerintah, dan delapan Pihak Terkait. “Dokumen kompilasi itu akan jadi bahan pertimbangan ketika hakim konstitusi membuat putusan atas perkara tersebut dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH),” ujarnya di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (31/5/2023).

Lebih lanjut dia menjelaskan, terkait RPH, masih belum ditentukan jadwalnya. Namun ia yakin RPH tersebut akan terselenggara dalam waktu dekat karena MK ingin perkara ini segera tuntas. “Bahkan bisa jadi RPH dilakukan saat hari libur,” tutur dia.

Bila sudah dijadwalkan oleh panitera, sambung dia, RPH akan dilakukan di lantai 16 gedung MK, melibatkan sembilan hakim konstitusi dan beberapa pegawai yang disumpah untuk menjaga kerahasian putusan.

Dalam RPH tentu para hakim akan membahas berkas kesimpulan dan hasil pemeriksaan sepanjang jalannya persidangan selama ini. Perdebatan, tutur Fajar, sudah pasti terjadi karena masing-masing hakim konstitusi akan membuat legal opinion (LO) sebelum sampai pada kesimpulan putusan bersama.

“Pasti (terjadi perdebatan alot antara hakim) di dalam pembahasan-pembahasan perkara. Diskusi mendalam antara hakim itu selalu terjadi karena masing-masing hakim punya pendapat, punya legal opinion,” ujar Fajar.

Meski begitu ia tak bisa memastikan RPH akan memakan waktu berapa lama, sebab undang-undang tidak memberikan tenggat waktu kepada MK untuk memutuskan perkara. Fajar meminta publik bersabar, seraya memastikan tiga hari sebelum putusan, pihaknya akan mengumumkannya ke publik. [Reyhaanah/Reza]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button