News

Imbas LGBT di Polri dan TNI

Masihkah bisa mengingat remah-remah info yang sempat tersiar lebih dari satu dekade lalu, manakala ahli forensik Mun’im Idries bilang bahwa ada kelainan pada dubur gembong teroris Noordin M Top? Noordin, yang terbunuh dalam baku tembak dengan polisi di Kampung Kepohsari, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, pada September 2009 itu, disebutnya punya kelainan yang berhubungan dengan penyimpangan seksual.

“Ada bentuk corong di duburnya,”kata Mun’im. Menurut dia, tanda-tanda seperti itu mencirikan seseorang yang sering disodomi. Boleh jadi apa yang mendiang Mun’im katakan itu benar. Bisa juga sekadar kampanye negatif atau bahkan black campaign alias hoaks belaka. Untuk apa, tak bisa kita tanyakan juga karena Muním sendiri meninggal 2013 lalu.

Masihkah ingat bahwa dalam kasus Ferdy Sambo, salah satu kuasa hukum Brigadir Yosua, Jhonson Panjaitan, pernah meminta agar kemaluan dan dubur mendiang Yosua turut diperiksa? Menurut Johnson saat itu, selain bagian kemaluan, dubur juga penting untuk diperiksa. Ia tak pernah tegas menyatakan alasannya, namun permintaannya itu seiring dengan munculnya isu LGBT dalam kasus tersebut.

Sebaliknya, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, justru mendesak Polri untuk memeriksa dubur Irjen Ferdy Sambo, setelah menguatnya isu LGBT tersebut. Kita tahu, tampaknya pemeriksaan tersebut, baik kepada jasad Brigadir Yosua atau pun kepada Ferdy, tak pernah dilakukan.

Meski kedua kasus–baik yang ditudingkan kepada Noordin maupun dalam kasus FS, tak bisa diverifikasi, setidaknya hal tersebut menjelaskan betapa tak pernah bisa kita saat ini membayangkan seorang LGBT selalu kemayu kewanita-wanitaan. Bila benar ia seorang LGBT, tak sedikit pun profil Noordin M Top menampakkan sisi feminin sebagaimana gambaran umum public tentang LGBT.

Seberapa luas LGBT telah menjadi pilihan jatidiri para penduduk dunia saat ini? Februari 2022 lalu, sebuah survey dari lembaga jajak pendapat Gallup terhadap 12.416 menyatakan, persentase orang dewasa AS yang mengidentifikasi diri mereka sebagai lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) atau seksualitas lain selain heteroseksual, telah meningkat ke angka tertinggi baru, sebesar 7,1 persen. Jajak pendapat terbaru soal LGBT itu mengidentifikasi bahwa LGBT saat ini dua kali lipat persentase pada tahun 2012, ketika Gallup pertama kali mengukurnya.

Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar imbasnya terhadap mereka yang tergabung dalam militer dan Kepolisian? Menurut mantan ketua IPW, mendiang Neta S Pane, fenomena LGBT bukanlah isu baru di lingkungan TNI-Polri. Hanya saja, hingga kini berbagai persoalan menyangkut penyimpangan orientasi seksual itu tidak pernah diungkap secara terbuka.

Pada 2020, Neta pernah meminta TNI-Polri menyikapi secara tegas terkait fenomena LGBT tersebut. Menurut Neta, di tubuh TNI terdapat 20 kasus prajurit LGBT yang dibebastugaskan majelis hakim pengadilan militer. Prajurit tersebut berasal dari Makassar, Bali, Medan, Jakarta.

Di tubuh Polri, Neta melihat ada belasan polisi diduga LGBT, termasuk seorang perwira tinggi berinisial E yang berpangkat brigadir jenderal, ditahan dan diproses Propam Polri. Kasus itu terungkap saat Jenderal Idham Azis baru menjabat sebagai Kapolri. Saying, menurut Neta, kelanjutan kasus di Propam Polri itu kemudian hanya menjadi misteri karena tiadanya transparansi atas kelanjutan kasus tersebut.

“Sementara, dalam kasus LGBT di TNI  bisa dijelaskan secara transparan bahwa terdapat 20 berkas perkara yang masuk ke peradilan militer,”kata Neta.

Berita terbaru soal ini, pada Juni lalu Mahkamah Agung (MA) memecat dan memenjarakan kapten berinisial A, yang terbukti melakukan hubungan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), sebagaimana keputusan dua pengadilan di bawahnya. Kapten A terbukti melakukannya dengan sesama prajurit TNI.

Hal itu tertuang dalam putusan MA yang dilansir website MA, Kamis (9/6/2022) lalu. Diceritakan di berkas itu, Kapten A bergabung dengan TNI saat mengikuti pendidikan AAU pada 2009. Hingga diadili di Pengadilan Militer, A berpangkat kapten. Kasus bermula saat Kapten A (saat itu masih letda) bertemu dengan bawahannya yang berpangkat sertu di kantin kantor pada 2010. Dari perkenalan itu, mereka bertukar nomor HP dan PIN BBM. Hubungan itu menjadi hubungan terlarang karena berlanjut ke perbuatan homoseksual di kontrakan Kapten A. Hubungan sesama jenis itu berulang di berbagai tempat.

“Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi,” demikian putus majelis kasasi yang diketok oleh hakim agung Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan dengan anggota hakim agung Brigjen TNI (Purn) Hidayat Manao dan hakim agung Brigjen TNI (Purn) Sugeng Sutrisno.

Neta benar tentang lebih terbukanya tentara dalam urusan ini, disbanding Polri. [Tim Inilah.com]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button