News

Jakarta Terancam Tenggelam 2050, LPBI PBNU Soroti Pentingnya Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim

Penurunan muka tanah di Jakarta mencapai 12-18 cm per tahun, sebuah ancaman yang jika diabaikan dapat menyebabkan sebagian Jakarta tenggelam pada tahun 2050. Fakta ini menjadi titik perhatian dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Penanggulangan Bencana Indonesia (LPBI) Nahdlatul Ulama (NU) DKI Jakarta, Jumat (4/08/23).

Diskusi yang membahas Pro dan Kontra Pergub DKI Jakarta No. 93 Tahun 2021 Zona Bebas Air Tanah ini dihadiri oleh berbagai narasumber terkemuka. Ketua Bidang Lingkungan LPBI PBNU Muh Arief Rosyid Hasan, MKM, Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi D Syarif dari Fraksi Partai Gerindra, dan perwakilan dari PAM Jaya dan Dinas SDA DKI Jakarta turut hadir dalam diskusi ini.

Arief Rosyid Hasan menyatakan bahwa ekstraksi berlebih air tanah adalah penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta.

“Bukan hanya itu saja, Kementerian PUPR juga menyebutkan, beberapa wilayah di pesisir Jakarta diprediksi akan tenggelam,” ujar Arief, menambahkan daerah-daerah seperti Kamal Muara, Tanjungan, Pluit, Gunung Sahari, Ancol, Marunda, dan Cilincing.

Anggota DPRD DKI Jakarta Syarif menyuarakan kritik tajam terhadap Pergub 93, mengatakan bahwa peraturan itu “ompong” dan harus diubah total. “Pergub tersebut tidak ada partisipasi masyarakat, oleh sebab itu harus dicabut dan dikeluarkan Pergub baru,” katanya.

Syarif menekankan bahwa penggunaan air di Jakarta lebih banyak digunakan oleh sektor komersil, dan penggunaan air tanah berisiko tinggi bagi Jakarta.

Ketua LPBI NU DKI Jakarta Laode Kamaludin mengusulkan revisi pada Pasal 2 Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah.

“Jakarta bukan daerah pertambangan melainkan daerah industri dan usaha kota. Maka, tidak ada kompromi bagi para pelaku usaha bisnis dan industri yang berdomisili di Jakarta; semua wajib untuk berhenti memakai air tanah,” tandas Kamaludin.

Dalam menyikapi isu ini, langkah kongkret dan partisipasi aktif dari masyarakat, pemerintah, dan sektor industri sangat dibutuhkan. Diskusi ini menggambarkan urgensi dalam menghadapi masalah lingkungan yang serius ini, dan membangkitkan kesadaran bahwa jika kita diam, Jakarta akan tenggelam.

Sebagai bentuk apresiasi, Arief Rosyid menegaskan tanggung jawab agama dalam mitigasi bencana dan perubahan iklim, termasuk krisis air. “Tugas manusia adalah menjaga keselarasan dan keseimbangan ekosistem secara mutlak,” katanya, menegaskan posisi manusia sebagai khalifah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button