Kanal

Jokowi’s Inglorious Exit?


Majalah itu menyindir Jokowi, yang di awal kekuasaannya sempat menjanjikan harapan akan menyingkirkan benalu-benalu bagi negeri demokrasi terbesar ketiga ini. Harapan yang ternyata kosong—meski sempat menjadi cover majalah Time edisi Oktober 2014, dengan wajah Presiden dan banner “A New Hope”. “Namun alih-alih mengalahkan kekuasaan para calo tersebut, Jokowi malah ikut bergabung. But instead of beating the power brokers, Jokowi has joined them,”tulis Economist. 

Oleh    : Darmawan Sepriyossa

Kiriman seorang teman di satu grup WA, Senin (12/2) siang, segera membuat saya kaget. Postingan tersebut adalah sebuah tangkapan layar (screen-shot) op-ed dari The Economist, salah satu majalah berita terkemuka di dunia. Op-ed atau opinion-editorial mungkin bisa disejajarkan dengan rubrik Tajuk Rencana yang menegaskan sikap koran-koran harian di negeri ini, saat era media cetak berada di puncak kejayaannya. 

Gaya op-ed The Economist bahkan diadaptasi dengan baik oleh TEMPO, sejak majalah yang pernah mengalami pembredelan Orde Baru pada 1994 itu kembali terbit pada 1998. Bertahan hingga hari ini dengan nama rubrik “Opini”. 

Tentu saja yang membuat saya kaget adalah judul yang dipakai,“Jokowi’s inglorious exit” atau “Turunnya Jokowi Secara Memalukan”. Sama sekali tanpa membubuhkan tanda tanya. Tidak hanya itu, kata “inglorious” juga melemparkan ingatan saya yang “jurig bioskop” ini pada film kaliber Oscar hasil karya sutradara Quentin Tarantino, “Inglourious Basterds” (2009). Judul film itu tentu saja segera membersitkan pengertian peyoratif di kepala kita.  Tentu demikian pula judul artikel The Economist yang terbit 8 Februari 2024 itu. 

Menurut salah seorang guru menulis saya, wartawan kawakan Farid Gaban, buku gaya atau style guide The Economist dikembangkan dari Orwell’s Rules (aturan Orwell). Di Indonesia, Republika pada saat koran cetak tengah jaya-jayanya juga memakai judul “Buku Gaya Republika” untuk serangkai kesepakatan internal redaksi dalam hal gaya penulisan, ejaan, pemakaian dan pemilihan kata, koran tersebut. George Orwell sendiri adalah nama pena untuk penulis Eric Arthur Blair, yang merasa malu menerakan nama jelas untuk buku pertama yang ia terbitkan,” Down and Out in Paris and London” (1933), yang sedianya akan ia musnahkan. 

Orwell dikenal sebagai penulis yang memiliki gaya satire dan sering menulis tanpa tedeng aling-aling. Itu terutama terlihat pada dua karya yang seringkali dianggap sebagai magnum opus sang penulis, yakni “Animal Farm” (1945) dan “1984” (1949). Kedua buku yang di Indonesia pun telah diterbitkan berkali-kali oleh banyak penerbit. Oh ya, tentang Orwell’s Rules, para jurnalis umumnya hafal enam hal yang sangat diwanti-wanti Orwell, yakni:

– Jangan pernah gunakan metafora, simile, atau ungkapan yang terlalu biasa.

-Jangan pernah gunakan kata panjang jika bisa menggunakan kata pendek.

-Jika mungkin menghapus sebuah kata, hilangkanlah.

-Jangan pernah gunakan bentuk pasif ketika kita bisa memakai bentuk aktif.

-Jangan pernah gunakan frasa asing, istilah saintifik, atau jargon, jika kita bisa gunakan kata-kata yang akrab di keseharian.

-Langgarlah aturan-aturan itu daripada mengatakan sesuatu dengan cara barbar.

Mengingat latar belakang itu, saya pun maklum dengan judul The Economist dan cara mereka menulis op-ed tersebut. Misalnya, ketika majalah itu menyindir Jokowi, yang di awal kekuasaannya sempat menjanjikan harapan akan menyingkirkan benalu-benalu bagi negeri demokrasi terbesar ketiga ini. Harapan yang ternyata kosong—meski sempat menjadi cover majalah Time edisi Oktober 2014, dengan wajah Presiden dan banner “A New Hope”. “Namun alih-alih mengalahkan kekuasaan para calo tersebut, Jokowi malah ikut bergabung. But instead of beating the power brokers, Jokowi has joined them,”tulis Economist. 

Pun saat penulis The Economist mengulas urusan Mahkamah Konstitusi, yang pada Januari lalu sempat disebut Indonesianis kenamaan Bill Liddle sebagai “Tindakan paling berbahaya bagi demokrasi di Indonesia”. 

Tentu saja, bias sebagai majalah yang berbasis di negara kapitalis masih terasa dalam tulisan The Economist. Termasuk, misalnya, bagaimana majalah itu terkesan mendukung UU Ciptakerja yang disebutnya “paket reformasi yang disahkan tahun lalu (yang) meringankan pembatasan investasi asing (A package of reforms passed last year eased restrictions on foreign investment). Padahal kita tahu bagaimana aturan yang banyak menelikung hak-hak dan kesejahteraan pekerja itu ditolak di banyak wilayah. 

Yang jelas, mata The Economist tampaknya telah dan akan terus memelototi Indonesia selama proses kampanye hingga menjelang Pilpres Rabu ini. Dipastikan, demikian pula berbagai media internasional lainnya. Tidak sekadar karena negeri ini menjelang pesta demokrasi yakni Pilpres dan Pileg. Tetapi karena Pesta Demokrasi di negara demokratis ketiga terbesar di dunia ini sedang tersaput sekian banyak persoalan yang menodai kejujuran dan rasa keadilan publik. 

Ahad (11/2) lalu  Reuters menulis berita bertajuk “Indonesia Scraps Plan to Buy Mirage Fighter Jets from Qatar”. Warta dari kantor berita yang berpusat di London, Inggris, itu juga dimuat dan dikutip beberapa media luar negeri lainnya, antara lain US News, Times of India, South China Morning Post (Hong Kong), Al-Arabiya (UEA), dan The Star (Malaysia). Jelas, mata media massa dunia tengah tertuju ke Indonesia.

Persoalannya, kondisi demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal itu dikonfirmasi pernyataan keprihatinan kampus-kampus—area yang diasumsikan tempat paling jernih memandang kondisi sosial–yang terus bermunculan hampir setiap hari. 

Bill Liddle jauh-jauh hari sudah kuatir dan mewanti-wanti. The Economist di hari-hari ini menulis artikel dengan seolah tak lagi berasumsi: “Jokowi’s Inglorious Exit”. Artikel itu bahkan diakhiri kalimat yang bisa jadi membuat nyelekit hati. “Namun kegagalannya memperkuat demokrasi di Indonesia, bahkan ketika perekonomian diperkuat, ia pergi dengan meninggalkan bau busuk. But by failing to entrench Indonesia’s democracy, even as he has strengthened its economy, he leaves behind a rotten smell.”

Tentu saja, semua terpulang kepada kita semua. Juga, Presiden Indonesia yang mungkin saja masih sangat signifikan untuk mengubah kondisi dan suasana. Caranya? Entahlah, para bijak bestari yang lebih mungkin mengusulkannya. 

Namun semua itu bisa dimulai dengan menumbuhkan rasa malu di hati kita semua sebagai warga negeri yang kita cintai ini. Rasa malu kepada, terutama, anak-anak kita, juga para cucu-cicit  kita, kelak. Malu karena kita seperti tak punya malu menyia-nyiakan segala berkah yang ada, bahkan tumbuh di sini. 

Padahal, Nabi SAW sendiri pernah bersabda dan menyindir kita semua. “Jika engkau tak malu, lakukan apa pun sekehendak hatimu!” Sabda Nabi itu tak hanya terkumpul dalam kitab kumpulan hadits, Kanz Al-Ummal, tetapi juga diriwayatkan oleh  Imam Muslim melalui sahabat Abu Mas’ud Uqbah Al-Anshari dan ada dalam kitab “Al Arbai’n” karangan Imam An-Nawawi. 

Jangan lupa pula, masih ada sabda Nabi tentang malu. “Iman mempunyai enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Imam Al Bukhari No 9). Artinya, jika orang terkesan tak punya rasa malu, boleh jadi iman di hatinya pun layak dipertanyakan. [  ]

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button