Market

Kalau Ngotot Jalankan ERP, Pemprov DKI Tak Beda dengan Tukang ‘Palak’

Terkait ngototnya Pemprov DKI menerapkan aturan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) terhadap mobil dan motor di 25 ruas jalan ibu kota, dikritik keras kalangan pekerja dan buruh. Tak beda dengan tukang ‘palak’.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat mendesak Pemprov DKI Jakarta mencabut rencana penerapan ERP. Saat ini, penghasilan rakyat tidak naik, Pemprov DKI justru merencanakan aturan yang memberatkan warganya.

“Di saat kondisi ekonomi masyarakat yang tidak baik, kebijakan jalan berbayar hanya akan semakin membebani masyarakat,” kata Mirah, Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Mirah menyampaikan, pemberlakuan jalan berbayar yang alasannya untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, tidak akan efektif. Malah terkesan kuat, Pemprov DKI hanya ingin menarik dana dari masyarakat, secara cepat dan memaksa.  “Pengguna jalan seperti “dipalak” Pemprov DKI Jakarta,” tegas Mirah.

Kemacetan di DKI, menurutnya, memang sulit untuk dihindari. Karena, ruas jalan di Jakarta sangat terbatas. Tidak seimbang dengan jumlah kendaraan yang melintas. Penjabat (Pj) Gubernur DKI, Heru Budi Haetono telah menyusun Raperda Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE) yang didalamnya mengatur soal ERP.

“Dalam Raperda PPLE, kendaraan yang kebal ERP salah satunya adalah angkutan umum berpelat kuning. Artinya, ojek online (ojol) dan kendaraan kurir yang saat ini jumlahnya jutaan, akan terbebani biaya jalan berbayar,” ungkapnya.

Alhasil, kata dia, aplikator ojol atau jasa pengiriman (kurir) bisa membebankan tarif ERP ke konsumen. Namun tidak tertutup kemungkinan, mereka membebankan biaya ERP kepada pengemudi ojol atau kurir. “Lagi-lagi pekerja kecil yang kena. Kalau tarif naik, konsumen jadi turun maka penghasilan ojol dan kurir ikut turun dong. Demikian pula kalau ojol dan kurir harus menanggung biaya ERP, penghasilan mereka menjadi semakin kecil saja,” tandasnya.

Selanjutnya dia melontarkan kalimat pedas namun bijak: “Ketika pemerintah belum mampu memberikan lapangan pekerjaan yang luas dan banyak bagi masyarakat, sebaiknya jangan menambah beban hidup masyarakat.”

Saat ini, kata Mirah, Aspek Indonesia memiliki anggota pengemudi daring (ojol) dan kurir, yang telah menyampaikan aspirasi keberatannya. “Sekarang kewajiban kami untuk menyampaikannya kepada Pemprov DKI. Kasihan rakyat kecil. Beban hidupnya menjadi semakin berat,” kata Mirah.

Sebelumnya, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menyebut Pemprov DKI akan mendapat setoran hingga Rp60 miliar per hari dari penerapan ERP. Kalau sebulan bisa Rp1,8 triliun. Atau Rp21,6 triliun per tahun.

Djoko mengatakan, ERP mengatakan sistem jalan berbayar memang memberikan keuntungan besar buat DKI Jakarta. Selain macet bisa berkurang, Pemprov juga mendapatkan retribusi tambahan. Dia menyarankan uang yang diprediksi bakal besar itu digunakan untuk subsidi angkutan umum di Jakarta. “Untuk penerapan ERP, Pemprov DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi angkutan umum,” ungkap Djoko.

Selama ini, kata dia, kebijakan ganjil genap dan 3 in 1 yang digunakan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatur lalu lintas di Jakarta lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan dan penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap. Itu pun celah ketidakefektifannya masih sangat besar. Maka dari itu menurutnya kebijakan ERP akan sangat cocok diterapkan di DKI Jakarta.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button