News

Kapolri Ingatkan Kerusuhan Bawaslu dan DPR di 2019, Yuk Cek Kilas Baliknya?

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan kembali potensi-potensi kericuhan yang bisa terjadi pada Pemilu 2024. Ia berkaca pada peristiwa setelah Pemilu 2019 lalu ketika terjadi kericuhan di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Gedung DPR, Senayan Jakarta dan berlanjut ke beberapa tempat. Bagaimana kilas balik peristiwa itu?

“Berdasarkan pengalaman di 2019 pada saat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri tinggi, kita masih dihadapkan dengan kerusuhan-kerusuhan pasca-penghitungan, baik di Bawaslu, depan DPR/MPR,” ujar Kapolri di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta Selatan, Rabu (21/6/2023).

Listyo Sigit memaparkan, peristiwa serupa bukan tidak mungkin akan terulang kembali di tahun depan apabila tidak dipersiapkan antisipasi dengan baik. “Jadi terburuk kita akan mengalami hal yang sama, terburuk ya,” ujarnya.

Karenanya Listyo menekankan agar seluruh anggota Korps Bhayangkara dapat berfungsi sebagai cooling system di masyarakat yang mulai memanas jelang pesta demokrasi tersebut. Misalnya, dengan selalu mengimbau kepada calon pemimpin Indonesia agar tidak mengorbankan rakyat demi memperoleh suara. “Setiap saat kita bertemu dengan para calon-calon pemimpin nasional selalu kita ingatkan, jangan korbankan rakyat,” tuturnya.

Kilas balik peristiwa kelabu 2019

Demonstrasi dan kerusuhan terjadi di Jakarta, Indonesia, pada 21 dan 22 Mei 2019. Demonstrasi tersebut berkaitan dengan penolakan hasil penghitungan suara pemilihan Presiden Indonesia 2019. Aksi bermula dari unjuk rasa para pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno yang kalah dari pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di depan kantor Bawaslu, Sarinah, Jakarta Pusat.

Polri saat itu sudah memberlakukan status siaga satu mulai dari 21 hingga 25 Mei 2019 untuk pengamanan usai penyampaian hasil final rekapitulasi nasional Pemilu 2019. Langkah itu diambil sebagai antisipasi jika terjadi kekacauan para pendukung pasangan Capres-Cawapres terlibat dalam perseteruan hingga ke akar rumput.

Pada unjuk rasa 21 Mei itu, Polri mencatat lebih dari 1.300 orang datang dari berbagai provinsi di Indonesia yang akan mengikuti demonstrasi ini. Mengantisipasi banyaknya peserta yang turun ke jalan mengikuti aksi ini, lalu lintas Jalan MH Thamrin ditutup baik dari arah Jalan Sudirman ke Monumen Nasional maupun sebaliknya.

Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) sudah mempersiapkan rekayasa lalu lintas untuk mengantisipasi terjadinya penumpukan peserta yang lebih besar. Sejumlah koridor bus Transjakarta juga turut dialihkan untuk menghindari jalan yang ditutup itu.

Dalam kronologi Humas Polri disebutkan, Pukul 10.00 WIB, massa sudah melakukan demonstrasi di depan Bawaslu. Aksi berjalan dengan kondusif, kooperatif, dan damai. Bahkan koordinator lapangan aksi meminta kepada Kapolres Jakarta Pusat untuk diizinkan berbuka bersama yang dilanjutkan Shalat Magrib, Isya, dan Tarawih berjamaah.

Pukul 21.00 WIB, setelah Shalat Tawarih, petugas dari Polres Jakarta Pusat mengimbau untuk membubarkan diri. Dari beberapa imbauan, kooordinator aksi menyambut baik dan akhirnya membubarkan diri dengan tertib, kondusif, dan damai.

Pukul 23.000 WIB, tiba-tiba ada massa yang tidak tahu asalnya dari mana. Massa berulah anarkis dan provokatif. Mereka berusaha merusak security barrier dan memprovokasi petugas. Sesuai standard operation procedure (SOP), tak boleh ada lagi aksi sesudah larut malam. Petugas menghalau dengan mekanisme yang ada. Namun massa yang didorong polisi ke Jalan Sabang dan Wahid Hasyim malah menyerang. Bukan hanya dengan kata-kata tapi juga dengan batu, petasan ukuran besar ke arah petugas. Massa sangat brutal.

Imbauan untuk membubarkan diri dari kepolisian diberikan hampir lima jam atau hingga pukul 03.00 WIB. Karena tidak kooperatif, terpaksa massa itu didorong. Massa brutal itu terpecah ke arah Sabang dan ke beberapa gang-gang kecil.

Pukul 02.45 WIB, ada massa lain, yang bukan dari massa yang tadi. Ada 200 massa yang berkumpul di KS Tubun, Jakarta Barat. Diduga ini sudah disiapkan dan disetting. Namun seketika itu juga massa tersebut bergerak ke arah asrama Mabes Polri di Petamburan. Mereka menyerang asrama Brimob dengan batu, molotov, petasan, botol-botol. Mobil yang rusak berjumlah 11 unit, dengan kerusakan variasi kaca depan. Mobil terbakar ada 14 unit, yaitu truk dalmas, mobil dalmas, dan 11 unit mobil umum.

Dalam konferensi persnya, Muhammad Iqbal, yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Humas Polri menyatakan menangkap 442 orang beserta barang bukti senjata tajam dan molotov. Beberapa hari kemudian disampaikan ada 456 orang yang ditangkap. “Jadi, pada aksi massa 21-22 Mei itu ada dua segmen. Pertama, massa peserta aksi damai yang spontanitas. Kedua, massa perusuh yang sengaja menyusup untuk membuat rusuh,” kata Iqbal.

Sementara Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan ada 10 orang yang meninggal dunia. Sembilan di antaranya meninggal karena terkena peluru tajam. Kemudian ratusan orang luka-luka terdiri dari pendemo, jurnalis, tim medis, aparat kepolisian dan warga biasa. Komnas HAM juga menemukan, 4 dari 10 korban meninggal tersebut merupakan anak-anak.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button