Market

Kasus Impor Emas Rp189 Triliun Seret Bea Cukai, Giliran Stafsus Menkeu Kena Tuding

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menduga ada yang tidak beres dari penjelasan Stafsus Menkeu, Yustinus Prastowo terkait temuan PPATK tentang dugaan TPPU di Bea Cukai sebesar Rp189 triliun.

“Yang dijelaskan Yustinus Prastowo adalah kasus ekspor, bukan kasus impor seperti yang dilaporkan PPATK pada 2017 (Rp180 triliun) dan 2020 (Rp189 triliun). Dia menjelaskan seolah-olah kedua kasus ini sama, sehingga putusan kasus ekspor dijadikan referensi hukum kasus impor,” papar Anthony, Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Singkat cerita, kata Anthony, kasus ekspor emas batangan yang diakui emas perhiasan ada kejanggalan. Pada persidangan di pengadilan negeri, eksportir dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan merupakan tindak pidana, putusan 14 Februari 2017.

Kemudian pihak Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) mengajukan kasasi, dan eksportir dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, putusan 20 November 2017. Eksportir kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dan dinyatakan tidak bersalah., putusan 17 Juli 2019.

Berdasarkan kasus hukum ekspor emas batangan yang diakui sebagai emas perhiasan tersebut, kata Anthony, DJBC kemudian berpendapat tidak ada tindak pidana atas kasus impor emas batangan yang dilaporkan PPATK pada 2020, senilai Rp189 triliun.

“Pertanyaannya, kenapa kasus hukum ekspor emas batangan, yang di dalam dokumen ekspor (PEB) diakui sebagai emas perhiasan, dijadikan referensi hukum untuk membebaskan tindak pidana kasus impor emas batangan (yang diakui sebagai emas mentah) seperti dilaporkan PPATK,” imbuhnya.

Referensi hukum tersebut sangat ganjil, sehingga penjelasan Yustinus Prastowo patut diduga untuk menyamarkan, atau mengandung unsur manipulatif, terhadap fakta kasus sebenarnya, yang seharusnya kasus impor disamarkan menjadi kasus ekspor. Nilai ekspor emas batangan ini sekitar 6,8 juta dolar AS, atau sekitar Rp102 miliar.

“Yustinus juga mengatakan eksportir kasus ekspor emas tersebut adalah PT Q. Sedangkan nama perusahaan eksportir kasus ekspor tersebut seharusnya adalah PT Tujuan Utama. Jadi mana yang benar,” imbuhnya.

Ketika dimintai tanggapannya, Yustinus mengatakan, penjelasan melalui akun twitter @prastow adalah untuk menjawab cuitan twitter @PartaiSocmed. “Saya kan merespon PartaiSocmed yg mengaitkan dg kasus impor emas dg HS Code berbeda. Itu kejadian 2021. Sedangkan kasus yg beririsan dg lap PPATK itu justru diketahui karena ada aktivitas ekspor mencurigakan. Yang membongkar DJBC sampai ke pengadilan dan diputus MA,” papar Prastowo kepada Inilah.com.

Mengingatkan saja, @prastow mencoba menjelaskan dugaan tindak pidana kepabeanan emas batangan di DJBC senilai Rp189 triliun. Agar terang, dia pun membuat thread atau utasan khusus.

“Bagaimana sih latar belakang kasus emas Rp 189 T yang menjadi kontroversi ini? Saya bahas dalam #utas berikut,” kata @prastow.

Dituliskan, persoalan bermula pada 2016. Di mana KPU Bea Cukai Soekarno-Hatta (Soetta) melakukan penindakan atas eksplorasi emas, melalui kargo yang dilakukan PT Q. Masalah ini kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan di bidang kepabeanan.

Saat itu, kata Yustinus, PT Q melakukan submit dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dengan pemberitahuan sebagai Scrap Jewellery. petugas KPU BC Soetta mendeteksi kejanggalan pada profil eksportir dan tampilan X-Ray, sehingga diterbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk mencegah pemuatan barang.

Saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor ditemukan emas batangan (ingot), alias tidak sesuai dengan dokumen PEB. “Saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor disaksikan oleh PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) dan perusahaan security transporter (DEF), ditemukan emas batangan (ingot) alias tidak sesuai dokumen PEB. Bahkan seharusnya ada persetujuan ekspor dari Kemendag (Kementerian Perdagangan),” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button