Market

Kebijakan Bansos Dadakan Jokowi Pintu Masuk Pemakzulan, Sri Mulyani Terseret


Main-main dengan program bantuan sosial (bansos), Presiden Jokowi diduga melanggar undang-undang. sehingga layak untuk dimakzulkan.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan punya rekam jejak Jokowi yang diduga melanggar konstitusi, sehingga layak dimakzulkan.

Dalam rilis yang diterima Inilah.com, Sabtu (10/2/2024), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 disahkan DPR pada 21 September 2023, dan diundangkan pada 16 Oktober 2023 (UU No 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024).

“Pada hari yang sama (16/10/2023), Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi batas usia minimum capres dan cawapres, menjadi paling rendah 40 tahun, atau pernah/sedang menjabat kepala daerah. Putusan MK ini meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden, mendampingi Prabowo,” kata Anthony.

Selanjutnya, kata Anthony, pasangan calon Prabowo-Gibran mendaftar ke KPU pada hari terakhir pendaftaran capres-cawapres, yakni tanggal 25 Oktober 2023. Keesokan harinya, duet Prabowo-Gibran lulus tes kesehatan.

Selanjutnya pada 6 November 2023, lanjut Anthony, dalam sebuah rapat kabinet, Jokowi tiba-tiba memperpanjang pemberian bansos hingga Juni 2024. Padahal, bansos itu seharusnya berakhir pada November 2023.

Keputusan perpanjangan bansos secara dadakan ini, kata Anthony, terindikasi kuat melanggar UU Keuangan Negara dan UU APBN 2024. Karena, anggaran bantuan sosial dadakan Jokowi ini, tidak ada dalam APBN 2024 yang diundangkan 16 Oktober 2023. “Memberikan bantuan sosial tanpa ada mata anggaran melanggar UU APBN,” kata Anthony.

Di sisi lain, lanjutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba ‘memanipulasi’ anggaran. Caranya dengan mengambil menyunat anggaran kementerian dan lembaga untuk bansos. Caranya, dengan pemblokiran anggaran atau automatic adjustment senilai Rp50,2 triliun.

“Sri Mulyani mengaku, ‘manipulasi’ anggaran bantuan sosial dadakan ini sesuai arahan, atau atas instruksi, Presiden Jokowi,” kata Anthony.

Cara realokasi anggaran kementerian dan lembaga untuk bansos ala Sri Mulyani, terindikasi melanggar Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara (No 17/2003), yang berbunyi: “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja,” kata dia.

Menurutnya, UU tentang APBN yang sudah disetujui DPR, tidak boleh diubah pihak manapun, termasuk Presiden Jokowi. Termasuk melalui pemblokiran automatic adjustment. APBN hanya dapat diubah melalui mekanisme Perubahan APBN yang disetujui DPR.

“Arahan atau instruksi Presiden Jokowi untuk memblokir anggaran kementerian dan lembaga juga melanggar UU anti KKN, dan penyalahgunaan kekuasaan presiden,” kata Anthony.

Karena itu, lanjutnya, Jokowi terindikasi kuat melanggar Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN: “setiap penyelenggara negara wajib untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Menurut definisi Pasal 1 angka 5, Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pemberian bantuan sosial dadakan Joko Widodo termasuk perbuatan melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya, anaknya, dan kroninya.

Presiden Joko Widodo juga diduga keras melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaannya, dengan memaksakan memberi bantuan sosial sampai Juni 2024 tanpa ada mata anggaran di dalam APBN 2024.

Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat setahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000,” kata dia.

Terakhir, pemberian bantuan sosial oleh presiden dan menteri lainnya, tanpa melibatkan kementerian sosial, melanggar tugas pokok kementerian, dan termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Karena, pemberian bantuan sosial dadakan tersebut dapat dipastikan tidak tepat sasaran, karena dibagikan di tengah kerumunan massa, tanpa ada data penerima bantuan. Karena data tersebut berada di Kementerian Sosial.

“Melihat dugaan pelanggaran yang serius ini, DPR harus panggil Sri Mulyani untuk menyelidiki dari mana anggaran bantuan sosial dadakan arahan dari Presiden Joko Widodo tersebut diperoleh, berapa besar, siapa penyelenggara negara yang menyalurkan bantuan sosial, dan siapa penerima bantuan sosial tersebut,” kata Anthony.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button