News

Kedaulatan di Tangan Rakyat, Mengubah Sistem Pemilu Artinya Melawan UUD 1945

Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menghasilkan sejumlah desain baru format kenegaraan Indonesia, salah satunya mengembalikan kedaulatan terhadap rakyat dalam memilih pemimpinnya. Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengingatkan Mahkamah Konsitusi (MK) bahwa kedaulatan tersebut hanya bisa diwujudkan melalui sistem pemilu proposional terbuka.

Margarito mengatakan sistem pemilu terbuka mencerminkan hakikat dan otonomi individu yang merdeka. Dia memberi contoh, anggota DPR tidak bergantung pada pimpinan tertinggi, melainkan pada rakyat, itu yang dinamakan hakekat pemilu. Jika sistem pemilu kembali pada proporsional tertutup, artinya kedaulatan sudah tidak berada di tangan rakyat.

“Sampai pada hari ini konstitusi tetap menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Maka kedaulatan rakyat itu hanya terwujud ketika sistemnya (pemilu) terbuka bukan tertutup,” ujar Margarito saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Ia berpendapat tidak mungkin MK dapat mengubah hakikat kedaulatan rakyat tersebut. Margarito mengatakan jika ingin mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, syaratnya MK harus menemukan fakta dan pemikiran baru. Selain itu, juga akan dinilai aneh bila MK nantinya memutuskan mengubah sistem pemilu terbuka menjadi tertutup, tapi UUD 1945 masih tetap tidak berubah juga.

“Semua alasan itu kalau dijadikan satu, saya memiliki keyakinan bahwa MK tidak mungkin menemukan fakta lain, dan tidak mungkin menemukan argumen lain selain yang sudah ada, plus tidak dapat mengubah hakikat dari kedaulatan rakyat. Dengan begitu saya yakin bahwa mereka akan memutuskan sistem pemilihan terbuka,” tandasnya.

Diketahui, saat ini uji materi yang ingin merubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup masih bergulir, MK baru saja menerima kesimpulan dari semua pihak terkait terhadap gugatan ini pada Rabu (31/5/2023). Seiring dengan itu, turut tersebar rumor, bahwa MK akan mengabulkan gugatan tersebut.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan berkas kesimpulan dari para pihak terkait tersebut akan jadi jadi bahan pertimbangan ketika hakim konstitusi membuat putusan atas perkara tersebut dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Lebih lanjut dia menjelaskan, terkait RPH, masih belum ditentukan jadwalnya. Namun ia yakin RPH tersebut akan terselenggara dalam waktu dekat karena MK ingin perkara ini segera tuntas. “Bahkan bisa jadi RPH dilakukan saat hari libur,” tutur dia di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Bila sudah dijadwalkan oleh panitera, sambung dia, RPH akan dilakukan di lantai 16 gedung MK, melibatkan sembilan hakim konstitusi dan beberapa pegawai yang disumpah untuk menjaga kerahasian putusan.

Dalam RPH tentu para hakim akan membahas berkas kesimpulan dan hasil pemeriksaan sepanjang jalannya persidangan selama ini. Perdebatan, tutur Fajar, sudah pasti terjadi karena masing-masing hakim konstitusi akan membuat legal opinion (LO) sebelum sampai pada kesimpulan putusan bersama.

“Pasti (terjadi perdebatan alot antara hakim) di dalam pembahasan-pembahasan perkara. Diskusi mendalam antara hakim itu selalu terjadi karena masing-masing hakim punya pendapat, punya legal opinion,” ujar Fajar.

Meski begitu ia tak bisa memastikan RPH akan memakan waktu berapa lama, sebab undang-undang tidak memberikan tenggat waktu kepada MK untuk memutuskan perkara. Fajar meminta publik bersabar, seraya memastikan tiga hari sebelum putusan, pihaknya akan mengumumkannya ke publik.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button